Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Wajibkah Pemerintah Menyediakan Lapangan Kerja?

30 April 2018   15:07 Diperbarui: 30 April 2018   20:06 2805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: digitallearning.eletsonline.com

Penyelenggaraan administrasi suatu negara melibatkan berbagai macam jenis pekerjaan dengan beragam job description. Jika negara perlu militer untuk melindungi wilayahnya, maka pemerintah memerlukan tentara. Orang-orang direkrut, diberikan pendidikan dan pelatihan supaya memenuhi job specification seorang tentara. 

Jika negara perlu orang-orang untuk mengawasi perlintasan barang antar negara, maka pemerintah merekrut orang-orang untuk bekerja di bea cukai. Pemerintah bahkan merasa perlu mendirikan sekolah khusus untuk menghasilkan lulusan yang langsung siap dan sigap bekerja di bidang bea cukai. 

Jika menilik aktivitas pemerintah sekarang yang sedang giat membangun infrastruktur, maka wajar ada banyak lapangan kerja yang tercipta, mulai dari supplier yang menyediakan material sampai dengan pekerja konstruksi di lapangan.

Lapangan kerja yang sudah saya contohkan di atas, mulai dari tentara, petugas bea cukai, supplier dan pekerja infrastruktur dibuat karena ada kebutuhan, bukan karena pemerintah mencari-cari cara untuk membuat lapangan kerja. Lapangan kerja adalah suatu akibat dari sebab yang jelas, bahwa pemerintah menjalankan amanat yang diembannya untuk memfasilitasi kehidupan rakyat di wilayahnya. Lapangan kerja muncul bukan karena pemerintah wajib menyediakannya; dia adalah suatu akibat dari tindak-tanduk pemerintah untuk menyediakan kebutuhan rakyatnya.

Pertanyaan lanjutannya adalah, siapakah yang wajib menyediakan lapangan kerja? Pemerintah atau rakyat? Ada pekerjaan-pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah karena ada kebutuhan akan pekerja untuk melangsungkan administrasi negara, namun rakyat perlu berpikir dan bertindak kreatif dalam mencari penghidupannya. Dalam hal lapangan kerja yang diciptakan oleh pemerintah atau rakyat, pemerintah bertindak sebagai regulator yang membuat Undang-undang, Peraturan, dan Keputusan-keputusan lain sebagainya yang mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif dan menyatakan kewajiban dan melindungi hak pekerja.

Sulitkah berpikir dan bertindak kreatif untuk menciptakan lapangan kerja?

Saya lahir di tahun 80-an dengan orang tua yang bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta. Lingkungan bertetangga saat itu di Bandung bisa dikatakan homogen, kelas menengah-cukup dengan suami-istri yang bekerja sebagai pegawai negeri atau pegawai swasta. Saat itu adalah masa pemerintahan Orde Baru dimana kebebasan berserikat dan berpendapat sangat dikekang oleh pemerintah. Satu-satunya serikat pekerja yang ada di berbagai pabrik adalah SPSI, yang tentu saja merupakan bentukan pemerintah. Demo buruh menuntut perbaikan kesejahteraan bisa dibilang tidak ada, apalagi pernyataan bahwa pemerintah wajib menyediakan lapangan kerja.

Yang saya lihat dari angkatan orang tua saya adalah kemauan dan kemampuan mereka untuk menciptakan lapangan kerja mereka sendiri. Ayah saya adalah seorang pengacara. Di saat tidak ada klien, yang artinya tidak ada pemasukan, dia memberi les bahasa Inggris pada anak SMA. Ketika itu tidak ada serikat pengacara yang bisa menuntut pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja; satu-satunya jalan untuk menambah penghasilan adalah dengan melakukan pekerjaan lain. 

Ibu saya adalah seorang dosen bahasa asing di sebuah perguruan tinggi negeri dengan take home pay yang sangat bergantung pada golongan pegawai negeri (mengurus kenaikan golongan pegawai negeri bukanlah hal yang mudah). Di saat kebutuhan hidup bertambah karena biaya sekolah anak-anak yang bertambah, beliau rela bekerja ekstra memberikan les bahasa Jerman mulai pukul lima sore sampai pukul sembilan malam dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu supaya bisa mengirimkan kami ke sekolah swasta yang bermutu.

Tetangga kami adalah seorang pegawai di PT Dirgantara Indonesia (dulu dikenal sebagai Nurtanio) yang hidup sangat berkecukupan. Mereka adalah orang pertama yang memiliki mobil di kompleks perumahan kami. Saat Nurtanio bangkrut dan terjadi pemecatan massal, bapak itu menggunakan uang pesangonnya yang tidak seberapa untuk membeli angkot dan membuka warung kelontong. Awalnya dia menarik sendiri angkotnya sampai lama-lama dia bisa mempekerjakan sopir dan menambah armada angkot, dan tentu saja jumlah sopir. 

Posisi terakhir bapak itu di Nurtanio adalah manager, tapi beliau tidak ngotot pemerintah harus mencarikan pekerjaan lain untuknya, memberikan solusi keuangan supaya dia bisa tetap membiayai sekolah ketiga anaknya dan mempertahankan gaya hidup yang sudah terlanjur tinggi. Bapak itu bergerak maju dengan apa yang ada, mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Hidupnya mungkin tidak senyaman dulu, tapi rasa tanggung jawabnya yang besar terhadap keluarga membuat dia berpikir dan bertindak kreatif. Bahkan di usianya yang kepala enam, seperti kedua orang tua saya sekarang, bapak itu dan istrinya tetap tekun berwirausaha karena mereka ingin mandiri secara finansial di masa tua mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun