Hobi mama saya adalah menonton film di bioskop dan hobi itu dijalankan dengan tekun sewaktu beliau mengandung saya. Seumur hidup saya jadi suka menonton film, di televisi maupun di bioskop, dan hobi itu saya tuaikan sepenuh hati juga waktu mengandung anak pertama dan kedua. Mama saya sudah mengajak menonton sejak akhir pekan lalu, dan kemarin saya cek film Justice League tayang perdana jam 11.30 di Cinemaxx terdekat (pas dengan jam anak-anak sekolah), jadi kami pun cuss meluncur ke sana.
Film ini sudah saya tunggu-tunggu sejak tahun lalu karena ada 3 tokoh baru: The Flash, Cyborg, dan Aquaman. Tapi sejak saya menonton Wonder Woman di pertengahan tahun ini saya jadi pesimis apakah filmnya akan sebagus dan segelap Batmas vs Superman yang notabene lebih menyegarkan untuk penonton dewasa dibandingkan film-film superhero standar buatan Marvel. Sebelum menonton film ini saya sudah menebak: banyak tokoh = banyak plot cerita = kemungkinan besar satu plot tidak digarap secara detail = perasaan tidak puas seusai menonton; dan ternyata tebakan saya ini bener banget.
Seperti saya tulis di post sebelumnya setiap cerita fiksi punya tujuan akhir/pertanyaan besar yang harus dijawab, dan saya sungguh bingung dengan tujuan akhir/pertanyaan besar dari film ini. Apakah untuk:
- memusnahkan Steppenwolf?
- menjaga 3 kotak supaya tetap terpisah?
- menghidupkan Superman kembali?
Lagi-lagi saya dibikin terkesima dengan ketidaklogisan ide cerita dan cara berpikir hampir semua film superhero. Mengenai tiga kotak yang harus dipisahkan supaya bumi tetap aman-tenteram, ide itu tidak baru sama sekali dan sudah dipakai oleh banyak sekali film pendahulunya, seperti Transformers: The Last Knight dan The Mummy versi Tom Cruise dari tahun ini saja.
Dan setiap kali selesai menonton film-film yang memakai ide/tema ini, kening saya berkerut seribu kali lebih banyak karena saya jadi bertanya-tanya: yang sebenarnya disebut sebagai dewa yang punya sifat ketuhanan yang tidak terbatas itu siapa sih? Karena di dalam semua film itu ada manusia-manusia yang berjuang supaya si dewa-dewa jahat itu tidak merusak bumi, dengan cara memisahkan kotak, menyembunyikan pedang, dll. dsb. Kalau memang yang disebut dewa itu begitu kuat dan berkuasa, pasti semua usaha manusia untuk memberantas dewa dan niat jahat mereka bisa digagalkan dengan mudah, bukan?
Nyatanya, seperti di dalam film Transformers dewi pencipta planet Cybertron pun bisa dikalahkan oleh Optimus Prime dan gengnya. Jadi sifat kedewian dan ketuhanannya ada di mana? Dewa-dewa di film superhero sama saja levelnya dengan manusia biasa. Ide basi dan membosankan begini kok digarap berkali-kali?
Dan pertanyaan kedua adalah: apakah bumi hanya berpusat di Amerika Serikat dan ras kaukasia (dan sedikit ras negroid untuk mewakili orang Afrika-Amerika yang berdiam di USA)? Karena setiap kali superhero bilang, "We have to save the world", saya jadi sebel. Huh, dunia? Dunia yang mana? Dunia yang isinya cuma USA? Terus, kamu superhero ge-er banget berasa diangkat jadi polisi untuk menjaga perdamaian dunia (persis kelakuan USA di dunia nyata)? Bahkan selipan lokasi selain USA seperti Rusia di akhir film Justice League ini tidak memberikan kesan bahwa yang terancam bukan cuma USA. Dunia superhero memang cuma selebar daun kelor yang bertempat di benua Amerika bagian utara.
Karakter-karakter baru di film Justice League sebenarnya menarik semua. Sebut saja Aquaman yang katanya berayah manusia dan beribu Ratu Atlanta. Walaupun dia kelihatan keren, gagah, khas superhero material, tapi latar belakang kehidupannya sebelum dia ditemukan oleh Bruce Wayne tidak dikupas mendalam. Adegan yang menurut saya menggantung banget adalah waktu dia kembali ke Atlantis dan meminta sesuatu dari penghuni Atlantis yang baru dikalahkan oleh Steppenwolf. Ternyata dia minta trisula, yang tidak dijelaskan apa fungsinya, dan bikin Aquaman tampil seperti Dewa Poseidon.Â
Karakter The Flash/Barry Allen terlalu mengingatkan saya pada Spiderman/Peter Parker di dalam film Spiderman: Homecoming. Kemunculan Bruce Wayne di dalam hidup Barry Allen sama persis dengan kemunculan Tony Stark di dalam hidup Peter Parker: seorang kaya yang mengangkat seorang superhero muda dan belum berpengalaman untuk menjadi anggota tim dan anak didiknya.
Banyaknya komentar aneh dan banyolan dari The Flash (dan karakter lain) membuat saya bingung, ini film Marvel atau DC ya? Yah, inilah akibat dari pergantian sutradara di tengah proses pembuatan film, dari Zack Snyder yang sukses menggarap film-film DC yang gelap ke Joss Whedon yang sangat tipikal dengan film-film Marvel semacam The Avengers yang bisa ditonton tanpa perlu berpikir. Dialog dan leluconnya terlalu khas superhero Marvel: terlalu ringan, terlalu random, tanpa tujuan, dan selesai begitu saja.
Batman, Wonder Woman, Superman. Apa yang baru dari mereka? Walaupun sempat tersirat kalau Bruce/Batman naksir Diana/Wonder Woman, tapi "kemungkinan" itu tidak dieksplorasi lebih lanjut. Superman yang bangkit dari kubur pun tidak menunjukkan dendam yang gimana gitu sama Batman yang membunuhnya di film sebelum ini; angkara murkanya ditunjukkan sama ke semua anggota kelompok Batman. Kesedihan Lois Lane karena ditinggal mati Clark ditunjukkan sebentar banget, apalagi kegembiraan dan kelegaannya setelah dia mendapati Clark hidup kembali. Aghh ...me want some romance there.
Wonder Woman tetap jadi wanita yang cool dan sesekali bercanda dengan Cyborg dan menjadi penengah waktu Cyborg dan Aquaman bersitegang. Yang paling aneh adalah scene di mana Aquaman tiba-tiba curcol tentang perasaan dia yang sesungguhnya setelah bergabung dengan Justice League. Ternyata dia bisa curhat dengan jujur setelah ditali diam-diam oleh Wonder Woman.
Ya elah, adegan apa sih itu? Tempelan banget. Tapi tidak ada yang mengalahkan kekonyolan scene paling paling akhir sebelum closing credits, di mana Superman dan The Flash berlomba lari (?) dengan taruhan menraktir brunch untuk semua anggota Justice League. PENTING BANGET YA? Di situ saya berharap saya punya bazoka untuk melempar tomat ke layar.
Walaupun superhero-superhero itu punya senjata masing-masing, di tiga puluh menit terakhir kelihatan kalau senjata yang paling ampuh dan paling sering digunakan adalah tangan kosong. Yap, mulai dari Wonder Woman yang katanya sakti sampai Batman yang manusia biasa ujung-ujungnya pake bogem mentah. Mama saya terlalu lelah dengan semua adegan pertarungan itu sampai dia memutuskan untuk meninggalkan bioskop sejenak. Setelah film selesai saya tanya beliau apa menurutnya film ini bagus, kata mama saya dia bosan dengan film yang terlalu bergantung pada efek komputer dan CGI.
Mama saya pengen menonton film yang layak ditonton karena ceritanya yang bagus dan bermakna. Ah, saya juga pengen menonton film seperti itu. Justice League menurut saya adalah penyia-nyiaan bakat dari seorang Ben Affleck. Saya tarik omongan saya kalau Affleck cocok jadi Batman; Affleck clueless sebagai Batman. Sayang sekali kemampuan akting dia yang bagus seperti di film Pearl Harbor dan Argo harus go down the drain gara-gara Batman.
Saya belum pernah menonton film lain yang dibintangi Gal Gadot, tapi saya yakin dia cuma cocok sebagai Wonder Woman. Film lain yang dibintangi Henry Cavill (Superman) yang saya tonton adalah Man from U.N.C.L.E (2015), sebuah film spionase di mana karakter Henry Cavill kelihatan sangat berkiblat pada James Bond (mungkin dia sedang mempersiapkan diri menjadi pengganti Daniel Craig, haha). Dan dalam film ini saya baru pertama kali melihat aktor-aktor yang memainkan karakter The Flash, Aquaman, dan Cyborg, jadi saya tidak bisa mengomentari kemampuan akting mereka.
Di perjalanan pulang mama saya bertanya apa yang berkesan dari film ini buat saya. Saya bilang, "Kok Batman gendut? Kok Superman punya bulu dada?"
Jawaban saya kontan membuat mama saya terpingkal-pingkal; sebuah akhir yang menyenangkan dari kencan menonton film dadakan saya dan mama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H