Beberapa saat setelah saya meng-upload post berjudul Dikotomi Pribumi dan Nonpribumi, seorang pembaca post saya di aplikasi wordpress.com mengirimkan pesan yang isinya kurang lebih sebagai berikut:
Saya sudah baca pidato gubernur anies dan kata pribumi yang dia pakai tidak menunjuk suku apa pun. Mungkin ga pribumi yang dia maksud adalah WNI?
Sejujurnya, pemikiran itu sempat terlintas di benak saya sebelum saya menulis post tersebut. Kita perlu ingat, orang yang menyampaikan pidato politik sebagai pembuka masa jabatannya ini adalah seseorang yang terkenal lihai dengan kata-katanya. Sejak masa beliau menginisiasi Indonesia Mengajar dan menjadi juru bicara kampanye untuk Presiden Jokowi, beliau sudah terkenal dengan kalimat-kalimat yang catchy, bermakna, dan tepat sasaran. Kalimat favorit saya sendiri adalah 'Lawan debat adalah teman berpikir.'; sebuah frase yang sangat mengena, bukan? Terlepas dari kiprahnya sebagai mantan menteri dan keberhasilannya menjadi Gubernur DKI untuk masa bakti 2017-2022, kekuatan natural beliau memang terletak pada kemampuannya untuk bertutur secara lisan.
Saya menulis post tersebut setelah saya: 1) membaca berbagai berita di media online tentang pidato gubernur baru (yang tentu saja memakai tagline yang membuat penasaran untuk mengundang klik), dan 2) membaca transkrip pidato beliau. Menurut hemat saya, tidak mungkin beliau tidak menyadari jika kata 'pribumi' yang dia lontarkan akan mengundang kontroversi. Tidak bisa dipungkiri bahwa penyebutan kata 'pribumi' (dan 'kolonialisme') akan membangkitkan sentimen tertentu dari orang-orang yang mendengar secara langsung atau membaca teks pidato tersebut.Â
Tidak, kita tidak akan teringat pada jaman Belanda menjajah Indonesia yang sudah berabad-abad dari tahun 2017, tapi kita akan teringat pada kerusuhan Mei 1998 yang mengoyak Jakarta (dan termasuk Bandung, kota tempat saya tinggal waktu itu) dan membawa bangsa ini dari satu kekacauan yang melibatkan darah dan air mata kepada suatu orde yang sangat berbeda dari Orde Baru yang sudah memerintah selama 32 tahun.
Oleh karena itu dengan cerdasnya beliau tidak mengaitkan kata 'pribumi' dengan suku bangsa tertentu dalam teks pidatonya. Beliau tidak mengatakan langsung bahwa pribumi yang dia maksud adalah penduduk asli Indonesia, yang suku bangsanya menduduki suatu wilayah di negara Indonesia selama bergenerasi-generasi.
 Beliau tahu bahwa dirinya akan diserang jika kata 'pribumi' didefinisikan demikian, karena semua orang tahu bahwa dia akan termasuk sebagai nonpribumi akibat asal keluarga beliau yang bukan dari salah satu daerah di tanah air kita. Secara alam bawah sadar, manusia akan memikirkan antonim dari suatu kata yang baru didengarnya. Jadi tidak heran kalau kata 'nonpribumi' akan tersirat dari dalam pidato yang dengan gagahnya meminta pribumi untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
Siapakah nonpribumi itu? Setiap orang yang sudah pernah melalui tahun 1998 pasti ingat bahwa nonpribumi merujuk pada etnis Tionghoa. Padahal waktu Belanda pertama kali mengemukakan istilah 'pribumi' dan 'nonpribumi' untuk mengelompokkan suku bangsa-suku bangsa di bawah jajahannya, mereka juga memasukkan etnis Arab, etnis India, orang-orang Eropa, dan bukan hanya etnis Tionghoa sebagai kelompok nonpribumi.Â
Kata 'pribumi' dan 'nonpribumi' ketika itu dibuat oleh penjajah untuk membedakan kelas sosial seseorang (semacam kasta) yang akan menentukan bagaimana seseorang menerima pelayanan dan diperlakukan di dalam masyarakat. Apakah kita akan kembali kepada masa itu padahal kita sudah 72 tahun merdeka sebagai negara yang berdaulat di tengah negara-negara lain di dunia, padahal sebagai negara kita sudah memiliki 260 juta warga yang diberi identitas sebagai Warga Negara Indonesia.
Pidato bapak gubernur serta-merta menuai caci-maki di dunia nyata dan di dunia maya dan dituduh sebagai pidato yang menekankan rasisme. Padahal jika dicermati, pidato beliau sangat mengambang dan tidak mengkonfirmasi apa pun. Beliau bisa berkilah bahwa kata 'pribumi' yang dia usung maksudnya adalah WNI, penduduk asli Indonesia; sebuah pengertian yang kurang lebih sejalan dengan arti kata 'pribumi' berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).Â
Coba saja kita ganti kalimat beliau menjadi WNI harus menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, dan sangkutkan kata 'kolonialisme' di belakangnya. Tentu saja seruan ini menjadi ampuh untuk membangkitkan gelora semangat nasionalisme, karena 'seakan-akan' ada keadaan darurat bahwa kita ini sedang dalam proses ditaklukkan dan akan dikuasai oleh pihak asing.
Tunggu dulu.
Kenapa ya saat kita mencoba mengerti maksud pidato beliau kita jadi melihat pertentangan yang dimunculkan antara kelompok A dan yang bukan kelompok A ya? Kita tadi melihat istilah 'pribumi' dijentikkan begitu rupa dengan istilah 'nonpribumi' yang tersirat di dalamnya. Jika kata 'pribumi' diganti menjadi kata WNI dan ditambah embel-embel ancaman kolonialisme dari unsur asing, muncul pertentangan baru antara WNI dan WNA.Â
Apakah kita akan dengan mudahnya diperdayai oleh kalimat-kalimat bersayap yang tidak punya keberanian untuk mengatakan 'ya' untuk 'ya', dan 'tidak' untuk 'tidak', kalimat-kalimat bersayap yang khas seorang politikus? Apakah kita akan membentuk kubu-kubu dan membenci siapa pun yang berbeda dari kita hanya karena kita mendengar kalimat-kalimat retorika yang digembor-gemborkan tanpa kejelasan maksud dan tujuan?
Saya harap tidak.
Politik (dan kekuasaan yang ingin diraih melalui politik) bisa menjadi alat kebaikan atau alat kejahatan. Dia seperti pedang yang bermata satu, bukan bermata dua, yang bisa dipakai untuk membunuh manusia atau membunuh singa yang akan menyerang manusia. Yang harus diwaspadai adalah pemegang pedang itu sendiri, apakah hatinya mengarah pada kebaikan atau kejahatan.Â
Satu hal yang saya sadari bahwa politik itu culas, dan hanya mengutamakan kepentingan sekelompok orang. Oleh karena itu saya, dan semua yang membaca post ini, sebaiknya selalu waspada supaya kita tidak salah menggunakan hak politik kita, supaya kita tidak salah memilih orang, dan supaya kita tidak menempatkan pedang itu di tangan orang yang motivasinya bukan untuk melayani orang lain.
Sekarang nasi sudah menjadi nasi uduk. Selamat menikmati kalimat-kalimat bersayap selama lima tahun ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H