Tunggu dulu.
Kenapa ya saat kita mencoba mengerti maksud pidato beliau kita jadi melihat pertentangan yang dimunculkan antara kelompok A dan yang bukan kelompok A ya? Kita tadi melihat istilah 'pribumi' dijentikkan begitu rupa dengan istilah 'nonpribumi' yang tersirat di dalamnya. Jika kata 'pribumi' diganti menjadi kata WNI dan ditambah embel-embel ancaman kolonialisme dari unsur asing, muncul pertentangan baru antara WNI dan WNA.Â
Apakah kita akan dengan mudahnya diperdayai oleh kalimat-kalimat bersayap yang tidak punya keberanian untuk mengatakan 'ya' untuk 'ya', dan 'tidak' untuk 'tidak', kalimat-kalimat bersayap yang khas seorang politikus? Apakah kita akan membentuk kubu-kubu dan membenci siapa pun yang berbeda dari kita hanya karena kita mendengar kalimat-kalimat retorika yang digembor-gemborkan tanpa kejelasan maksud dan tujuan?
Saya harap tidak.
Politik (dan kekuasaan yang ingin diraih melalui politik) bisa menjadi alat kebaikan atau alat kejahatan. Dia seperti pedang yang bermata satu, bukan bermata dua, yang bisa dipakai untuk membunuh manusia atau membunuh singa yang akan menyerang manusia. Yang harus diwaspadai adalah pemegang pedang itu sendiri, apakah hatinya mengarah pada kebaikan atau kejahatan.Â
Satu hal yang saya sadari bahwa politik itu culas, dan hanya mengutamakan kepentingan sekelompok orang. Oleh karena itu saya, dan semua yang membaca post ini, sebaiknya selalu waspada supaya kita tidak salah menggunakan hak politik kita, supaya kita tidak salah memilih orang, dan supaya kita tidak menempatkan pedang itu di tangan orang yang motivasinya bukan untuk melayani orang lain.
Sekarang nasi sudah menjadi nasi uduk. Selamat menikmati kalimat-kalimat bersayap selama lima tahun ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H