Oleh: Rijan Purba S.H
Arus gelombang globalisasi membawa perubahan pada sebagian besar sektor kehidupan masyarakat. Perkembangan teknologi dan informasi yang sangat cepat tentu membawa dampak positif maupun juga dampak negatif dalam segala sisi kehidupan masyarakat. Terlebih lagi pada dunia usaha.Â
Semakin hari jenis ataupun bentuk usaha baru banyak menghiasi dunia bisnis, tentu juga bersamaan dengan inovasi yang baru sesuai dengan kebutuhan pasar. Pada akhirnya tidak sedikit usaha lama yang tergerus dan digantikan oleh pemain baru akibat kurangnya inovasi.Â
Sebut saja perusahaan taksi express yang telah menjual sebagian asetnya akibat tekanan utang, ataupun ojek-ojek pangkalan biasa yang kini telah digantikan oleh beberapa perusahaan besar berbasis pada teknologi. Grab, Gojek, Shope, Lazada, Gopay dan lain sebagainya adalah buktinya nyata dari dahsyatnya disrupsi teknologi. Bagi sebagian pihak hal tersebut menjadi sebuah bencana. Sedangkan bagi pihak lain justru menjadi momentum untuk mengembangkan usahanya.
Konstelasi persaingan dunia industri dan persaingan kerja semakin penuh warna setelah adanya perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok. Posisi ini jelas saja tidak telalu mengenakan bagi Indonesia sebagai mitra dagang dari kedua negara tersebut. Pelemahan ekonomi diantara  Amerika Serikat dan Tiongkok akan beriringan juga dengan melemahnya ekonomi Indonesia.  Apalagi setelah hadirnya bencana pandemi covid-19 di akhir tahun 2019 lalu.
Bencana pandemi covid-19 semakin memperkeruh kondisi perekonomian Indonesia. Bukan hanya sektor industri, sektor lain juga turut terpengaruh seperti halnya pendidikan, sosial dan lain sebagainya. Tidak ada yang dapat memperkirakan sebelumnya tatanan hidup akan mengalami banyak perubahan. Pola tatanan lama sudah tergantikan dengan pola baru dan hampir di seluruh sektor. Yang paling terdampak tentunya adalah sektor industri dan jasa.Â
Masyarakat yang hidup di daerah pariwisata dengan mengandalkan jasa dan akomodasi sebagai sumber penghasilan misalnya, mengalami depresiasi. Juga ada begitu banyak perusahaan-perusahaan yang gulung tikar, akibatnya juga terjadi pemutusan hubungan kerja yang jumlahnya juga tidak sedikit. Berdasarkan hasil survei BPS (Badan Pusat Statistik) pada pertengahan September 2020, setidaknya 10,1 % UMK atau biasa disebut Usaha Menengah Kecil tutup, sementara sekitar 5 % UMB yang sering disebut Usaha Menengah Besar berhenti beroperasional  karena terdampak covid-19.
Hanya sekitar 59,8 % UMK (Usaha Kecil Menengah) dan 49,4 % UMB (Usaha Menengah Besar) yang masih tetap dapat beroperasi secara normal. Setidaknya  sekitar 24-28 % baik UMK maupun telah mengurangi kapasitas kerjanya. Sementara angka penangguran di Indonesia akibat pandemi covid-19 mengalami peningkatan mencapai 2,6 juta orang. Sehingga berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) angka pengangguran menjadi 9,7 juta secara nasional[1].Â
Tantangan ini tentunya cukup berat mengingat juga sebagian besar kualitas sumberdaya manusia rakyat Indonesia masih dibawah angka ideal. Pandemi covid-19 juga memaksa transformasi ketenagakerjaan lebih cepat dan adaptif lagi. Bagi sebagian kalangan yang dapat beradaptasi dalam menggunakan teknologi tidak terlalu mengkhawatirkan sebab mereka dapat bekerja dari rumah dengan memanfaatkan teknologi. Sedangkan bagi mereka yang tidak dapat beradaptasi, harus menanggung resiko yakni tetap bekerja seperti biasa tetapi ancaman kesehatan dan keselamatan jiwa juga ada pada mereka. Â Â Â Â Â Â
Sebagian sektor dan kalangan memang mendapatkan berkah tersendiri dari adanya pandemi covid-19. Seperti halnya dengan dunia kesehatan dengan tingginya permintaan terhadap alat alat medis seperti masker, hand sanitizer, sumplemen, vaksin dan lain-lain.Â
Penggunaan aplikasi seperti uang digital juga meningkat ditandai dengan meningkatnya user baru hingga puluhan persen. Sektor jasa lifestyle juga cenderung mengalami peningkatan.[2] Masyarakat cenderung lebih memilih untuk melakukan belanja secara online tanpa perlu ke toko/gerai secara lansung. Dampak positif lainnya bagi pencari pekerja adalah juga banyaknya perusahaan yang membuka recruitment bagi para pencari pekerja yang terimbas pada pandemi covid-19, juga untuk lulusan baru dari Sekolah Menengah Atas maupun fresh graduate dari Perguruan Tinggi.Â
 Lalu Bagaimana Dengan Peluang Dan Tantangan Para Lulusan Sarjana Hukum?
Jumlah program studi ilmu hukum yang ada di Indonesia hingga tahun 2020, setidaknya ada sekitar 737 di berbagai universitas maupun sekolah tinggi, dengan jumlah mahasiswa sebanyak 128.944 orang, sementara untuk lulusan di tahun 2020 ada sebanyak 25.789 orang.[3] Angka tersebut bukanlah sekadar angka, dan tidak juga jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan program studi lain yang ada di Indonesia.
 Ada tren peningkatan peminat program studi ilmu hukum di berbagai perguruan tinggi setidaknya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Dengan jumlah mahasiswa maupun lulusan hukum yang begitu besar, lahir harapan tersendiri dalam upaya perbaikan citra untuk dunia hukum Indonesia di mata masyarakat. Artinya semakin banyak orang yang konsen dengan hukum, maka setidaknya orang yang peduli dan mau memperbaiki tatanan hukum Indonesia semakin bertambah juga.Â
Potensi lulusan Sarjana Hukum pada era disrupsi dan ditengah pandemi covid-19 untuk memasuki dunia kerja sebenarnya cukup terbuka lebar. Begitu banyak tempat bekerja yang dapat dimasuki oleh para lulusan Sarjana Hukum. Lulusan Sarjana Hukum kini tidak hanya dapat berprofesi sebagai advokat ataupun notaris saja, bukan juga hanya terpaku pada posisi di lembaga-lembaga negara seperti kehakiman, kejaksaan maupun lembaga pemerintah lainnya.Â
Tetapi juga dalam dunia industri juga punya peluang besar. Perusahaan-perusahaan besar seperti perbankan, industri otomotif, Â NGO, startup dan lain sebagainya juga sangat membutuhkan jasa para lulusan Sarjana Hukum untuk mengembangkan usahanya. Peluang tersebut akan juga sekaligus menjadi tantangan. Jikalau para lulusan mampu menguasai teknologi maka akan menjadi sebuah peluang. Justru sebaliknya, akan menjadi bumerang.
Profesi hukum dalam hal ini advokat maupun notaris tidak akan dapat tergantikan dan masih akan terus eksis, sepanjang dunia industri masih tetap ada. Peluang akan justru semakin besar ketika pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha semakin meningkat.Â
Karena semua urusan akan bertumpu pada aturan yang berlaku, dan yang mengurusnya tentu adalah advokat maupun para lulusan Sarjana Hukum. Tetapi lagi-lagi perkembangan teknologi dan informasi harus dijadikan sebagai instrumen. Dalam menangani perkara di pengadilan misalnya tidak perlu untuk hadir secara fisik ke lokasi persidangan cukup hanya menggunakan media online, ataupun melakukan rapat/konsultasi dengan klien cukup dengan gadget.
Hukum dan masyarakat adalah dua hal yang selalu berdampingan. Masyarakat tidak dapat hidup tanpa ada hukum yang mengatur. Namun pada prakteknya, hukum selalu saja mengalami ketertinggalan dari pola hidup masyarakat. Ketidaksesuaian antara hukum yang dicita-citakan (dass sollen) dan juga realita yang terjadi di masyarakat (dass sein) lah yang kemudian membuat para lulusan Sarjana Hukum terlebih advokat tidak akan dapat tergantikan posisinya termasuk oleh teknologi. Sekali lagi teknologi hanya dapat dijadikan sebagai instrumen terutama dalam penegakan hukum. Hal itulah yang menjadi peluang bagi para lulusan Sarjana Hukum. Â
Sisi lain tantangannya adalah mampu tidak para lulusan Sarjana Hukum untuk bersaing dengan sesama lulusan Sarjana Hukum. Mengingat begitu banyak kuantitas lulusan Sarjana Hukum yang tersebar diseluruh tanah air. Semua akan terjawab apabila punya kapabilitas yang mumpuni dengan persiapan yang matang.Â
Begitu banyak hal yang perlu dipersiapkan para Sarjana Hukum agar mampu survive dalam persaingan dunia kerja. Beberapa hal yang harus dimiliki para lulusan Sarjana Hukum agar selalu relevan dengan perubahan dan pasca covid-19 :Â
- Self Discovery. Para Sarjana Hukum harus memahami dirinya sendiri dan memiliki prinsip hidup yang konsisten. Ketika lulus kuliah biasanya para fresh graduate bingung kemana akan mengembangkan kariernya. Pentingnya untuk memahami passion juga akan mempengaruhi lulusan Sarjana Hukum ketika bekerja.
- Problem Solving Skill. Adalah hal yang sangat wajar dan akan sering dihadapi oleh para Sarjana Hukum suatu masalah terlebih dari klien ataupun perusahaan tempatnya bekerja. Disini lah diminta peran dari lulusan Sarjana Hukum agar dapat menyelesaikannya melalui pemecahan masalah yang terukur. Sehingga diperlukan daya nalar yang kritis dan logika yang baik dari para Sarjana Hukum. Pemahaman teori-teori hukum tidak boleh dikesampingkan karena akan menjadi landasan pada saat praktik.
- Communication skill. Bertemu dengan orang baru dan memiliki banyak jejaring merupakan hal yang harus di miliki oleh para Sarjana Hukum. Tanpa hal tersebut akan sangat susah bagi para lulusan Sarjana Hukum terlebih advokat untuk mendapatkan klien. Olehkarenanya para Sarjana Hukum dituntut untuk ikut aktif dan terlibat dalam komunitas-komunitas maupun organisasi tertentu supaya terbiasa berhadapan dengan orang lain, mengingat juga dalam pemecahan masalah para Sarjana Hukum harus mampu bernegosisasi dengan baik agar para klien ataupun perusahaannya tidak mengalami kerugian.
- Self Management Skill. Ada begitu banyak para Sarjana Hukum yang hidupnya berkahir di balik jeruji besi (penjara) karena keserakahan dan ketamakan. Penyebabnya adalah tidak mampu mengontrol diri dari hawa nafsu dan godaan pekerjaan. Tantangan para Sarjana Hukum juga ada pada dirinya sendiri. Supaya hal tersebut tidak terjadi, maka penting pengendalian diri, integritas, disiplin yang kuat.
- Digital Skill. Teknologi adalah instrumen pendukung dalam pengembangan karier para Sarjana Hukum. Sehingga penguasaan teknologi saat ini tidak dapat di tawar lagi oleh para Sarjana Hukum apabila ingin survive di dunia kerja.
Setiap zaman pasti memiliki tantangan sendiri. Mampu tidaknya menghadapi tatangan tersebut tergantung pada orangnya. Setidaknya untuk saat ini  beberapa hal tersebut diatas dapat dijadikan sebagai modal kedepan yang akan memberikan ruang dan peluang bagi para lulusan Sarjana Hukum dalam menghadapi segala tantangan di era disrupsi dan ditengah pandemi covid-19. Persiapan diri yang matang, berdamai dengan perkembangan teknologi dan informasi akan membawa lulusan Sarjana Hukum tetap mampu survive meskipun dengan realita pada saat ini ada begitu banyak usaha yang harus gulung tikar dan juga lahirnya pengangguran-pengangguran baru.
Â
 *Penulis adalah seorang Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia dan Junior Lawyer di Jakarta    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H