Mohon tunggu...
rijal miftah
rijal miftah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Saya seorang mhasiswa UIN SunanGunung Djati Bandung yang megambil salah satu jurusan sejarah peradaban islam, dan asal saya di Cicalengka, hobi saya membaca buku dan berenang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hikayat dan Kronik (Manakib)

28 Juni 2024   07:18 Diperbarui: 28 Juni 2024   08:12 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hikayat Amir Hamza, terdiri dari 2.000 halaman yang isinya men- ceritakan nasab paman Nabi dan Nabi Muhammad secara geneologi hingga menyambung sampai ke nasab para raja yang berkuasa di Me- layu. Kedua hikayat di atas menceritakan epos kepahlawanan yang ori- entasinya sudah berubah dari Hindu ke Islam.

2. Kronik

Kronik berasal dari kata kronos (Latin) artinya waktu, yaitu bentuk penulisan sejarah berdasarkan urutan peristiwa secara kronologis da- lam masa lampau. Biasanya unsur yang paling esensial adalah geneologi atau silsilah, sehingga mencerminkan urutan generasi dari satu masa ke masa berikutnya (Sartono, 1993: 33). Kronik hampir sama dengan An- sab dalam historiografi Islam awal bahkan ada unsur Tobaqot. Kronik Banjar Masin, Kronik Wajo dan kronik Kutai termasuk dalam kategori ini. Dalam kronik kesadaran waktu dan tempat kejadian sudah mulai kelihatan. Kesadaran geneologi dan urutan waktu kejadian yang ter- dapat dalam hikayat dan kronik menunjukkan pergeseran makna yang signifikan dalam sejarah. Pergeseran dari orientasi kosmo sentris da- lam babad-babad menuju kesadaran antroposentris dalam hikayat dan kronik. Dalam konteks kehidupan beragama pergeseran ini merupakan revolusi nilai yang membawa akibat pada tampilan budaya dan pera- daban umat manusia. Perbedaan yang paling menonjol antara hikayat dan kronik adalah kronik sudah menunjukkan waktu kejadian peristiwa dengan jelas sedangkan dalam hikayat sering tidak jelas.

Weltanschauung kosmosentris menuju antroposentris akan sangat tampak bila kita bandingkan antara babad Jawa awal dan hikayat Islam Melayu. Babad awal Jawa belum ada catatan waktu sedangkan hikayat

dan kronik sudah ada catatan waktu. Kesadaran nasab (faktor manusia) belum terdapat pada babad Jawa kuno, sedangkan dalam hikayat nasab merupakan bahasan yang paling utama. Oleh karena itulah mitos babad adalah mitos para dewa, sedangkan mitos hikayat adalah mitos para raja. Amalagamasi antara mitos, eskatologis dan kesadaran kosmosentris yang membentuk sintesis holistik yang tergambar dalam sejarah yang bulat dengan tidak berawal dan berakhir inilah yang jadi paradigma babad. Sementara hikayat dan kronik didasarkan pada sin- tesis antara mitos, eskatologis dan kesadaran antropo raja-raja yang tergambar dalam sejarah yang bulat dengan kesadaran pada awal dan akhir terjadinya peristiwa. Nilai-nilai Islam terutama yang berkaitan dengan ketuhanan dijadikan oleh hikayat sebagai orientasi eksistensi- nya. Dengan penjelasan di atas, maka kita menemukan benang merah perbedaan antara babad dan hikayat serta kronik, yaitu babad berpusat pada lingkaran ekuilibrium dewa, alam dan manusia, sedangkan hikayat dan kronik berpusat pada lingkaran ekuilibrium antara manusia dan Tuhannya (Allah SWT). Pergeseran juga terjadi pada Tuhan naturalis menuju ke Tuhan antropolis.

Epos kepahlawanan yang ada pada babad adalah epos dewa-dewa Hindu-Buddha, sementara epos pada hikayat dan kronik adalah epos kepahlawanan para nabi dan raja-raja Islam. Namun pada perjalanan terahir terdapat persamaan epos dalam babad dan hikayat, terutama setelah penetrasi Islam mencapai puncaknya di Pulau Jawa hal ini ditandai dengan hadirnya babad para wali Islam. Setelah ajaran sufisme sampai ke Indonesia hikayat tentang ajaran tasawuf juga lahir di bumi Nusantara, seperti hikayat syair Ikan Tongkol.

Revolusi historiografi Indonesia dari babad menuju hikayat, dari Tuhan naturalis menuju ke Tuhan antropolis, menghasilkan perubah- an kultural yang sangat besar. Tatanan sosial berubah dari feodalistik kasta menuju ke egaliter populis. Atau dengan kata lain proses demo- kratisasi sesuai dengan ajaran Islam berjalan di kepulauan Nusantara. Namun sayang seribu kali sayang ketika proses demokratisasi berjalan datanglah intervensi Eropa ke bumi Nusantara. Yang menjadi perta- nyaan berikutnya adalah apakah Barat (Belanda, Inggris, dan Portu- gis) menghambat atau mempercepat proses yang sedang berlangsung. Proses elitisme menuju egaliterisme, sebagian juga disebabkan oleh ti- dak ada kelas kependetaan dalam Islam di satu sisi dan lainnya adalah banyak tokoh Islam (ulama) yang berprofesi sebagai pedagang. Seperti yang ditunjukkan oleh Hikayat Haji Purwo (haji pertama di Cirebon), seorang ulama dan saudagar yang kaya raya, tidak mau diangkat menjadi wedana tetapi justru malah mendirikan pesantren di Desa (Y, Is- kandar dkk, 2000: 31-45). Cerita di atas merupakan jiwa populis pak Kiai untuk membimbing masyarakat kebanyakan dan ia bersikap begitu karena ia meyakini ajaran Islam yang populis. Boleh jadi sikap sema- cam Haji Purwolah yang menjadi rahasia perkembangan Islam di bumi Nusantara sehingga sekarang dan sejak beberapa abad yang lalu Islam menjadi agama terbesar di dunia. Fakta di atas membenarkan premis Al-Qur'an dalam surah al-Quraisy, bahwa kebiasaan berdagang suku Quraisy mempercepat proses islamisasi di mana pun dan mempercepat kemajuan sebuah peradaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun