Penyimpangan Larik Puisi Sajak Transmigran II Karya F. Rahardi
Syamsul Rijal
Apa yang terjadi dalam masyarakat sering kali dijawab oleh karya sastra baik lewat cerpen, novel, maupun puisi (Erfanda, 2008:131). Pendapat pun bermunculan dari beberapa pakar sastra. Ada yang mengatakan bahwa sastra adalah cerminan dari masyarakat. Apa yang dikemukakan dalam sebuah karya sastra merupakan kenyataan yang pernah terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu, sastra adalah refresentasi dari masyarakat itu sendiri.
Ada pula yang berpendapat bahwa sastra adalah sebuah pencerahan bagi masyarakat karena selalu berangkat dari kenyataan. Banyak orang setelah membaca atau menonton sebuah karya sastra merasa lega karena apa digambarkan dalam karya sastra itu seolah-olah mewakili diri pribadi pembaca atau penonton. Hal tersebut biasanya dikatakan katarsis dalam istilah sastra (Sudjiman, 1990:41)
Selain itu, banyak juga yang kadang-kadang tidak senang atau tidak menerima dengan kehadiran sebuah karya sastra karena dalam benak pembaca atau penonton tidak ada referen tentang hal yang dikemukakan dalam karya sastra itu. Dengan demikian, kondisi yang terakhir dituliskan juga adalah kenyataan dari hal yang diungkapkan oleh karya sastra itu sendiri. Dalam hal ini pembaca tidak mendapatkan pencerahan dari kehadiran karya sastra itu tetapi hal itu dapat berterima jika suatu saat pembaca atau penonton telah menemukan kondisi yang serupa dalam karya sastra tersebut.
Semua karya sastra yang dikemukakan di atas baik yang berterima maupun yang tidak berterima dalam masyarakat pasti menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya. Kita mencoba meninggalkan teori-teori sastra yang sebagian dibahas di atas dan beralih serta berfokus pada pembahasan karya sastra yang dilihat dari segi bahasanya. Dalam hal ini, melihat karya sastra dengan menggunakan kacamata linguistik sebagai pendekatan pengkajiannya.
Linguistik sebagai ilmu tentu terlalu luas jika untuk digunakan sebagai sebuah pendekatan pengkajian. Oleh karena itu, penulis mencoba memfokuskan kajian linguistik ini pada ilmu stilistika sebagai ilmu yang mempelajari gaya dan keindahan dalam penggunaan bahasa. Tentu dalam hal ini yang dimaksud adalah penggunaan gaya tertentu dalam penulisan puisi.
Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang banyak diminati masyarakat. Hanya saja kadang-kadang ada puisi yang sukar dipahami maknanya oleh pembaca sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh penulis biasanya tidak ditangkap secara efektif. Kehadiran stilistika di sini sebagai salah satu cabang ilmu linguistik merupakan jawaban yang dapat digunakan untuk mengkaji puisi. Pengamatan terhadap puisi melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis stilistika (Widdowson dalam Hanna, 2009). Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati,memahami,dan menghayati sistem tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang (Irsan, 2009).
Verdonk dalam bukunya Stylistics (2001) menyatakan bahwa puisi memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik tersebut dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.
“…, sebuah teks atau aliran kesusastraan dalam karya sastra mempunyai karakteristik seperti berikut: puisi sering mengandung arti yang ambigu dan kadang-kadang sukar dipahami; puisi melanggar aturan-aturan tatabahasa; puisi mempunyai bentuk bunyi yang khas; puisi disusun dalam bait; puisi sering mengungkapkan pola bagian depan yang sama bunyinya, kosakatanya, tatabahasanya, atau sintaksisnya; dan puisi sering mengandung referensi yang bersifat tidak langsung terhadap teks yang lain (Verdonk, 2001:11).”
Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Alwi, dkk, 2003:322), dijelaskan bahwa ada enam pola kalimat dasar bahasa Indonesia. Pola-pola tersebut adalah sebagai berikut ini.
1.Subjek + predikat = (Saya mahasiswa).
2.Subjek + predikat + objek = (Rani mendapat hadiah).
3.Subjek + predikat + pelengkap = (Beliau menjadi ketua koperasi).
4.Subjek + pelengkap + keterangan = (Kami tinggal di Makassar).
5.Subjek + predikat + objek + pelengkap = (Dia mengirimi ibunya uang).
6.Subjek + predikat + objek + keterangan = (Beliau memperlakukan kami dengan baik).
Keenam pola kalimat dasar bahasa Indonesia di atas dapat digunakan untuk mengkaji penyimpangan penulisan larik puisi yang telah dipilih sebagai objek kajian makalah ini. Sintaksis atau tata kalimat bahasa Indonesia selalu menempatkan predikat sebagai salah satu fungsi yang wajib hadir dalam setiap kalimat. Fungsi predikat biasanya diisi oleh kategori verba sebagai tindakan yang dialami oleh pelaku. Sementara puisi yang ditulis oleh F. Rahardi ini ditulis tanpa menghadirkan kategori verba predikat sebagai aktivitas yang dilakukan oleh pelaku atau agentif.
Sajak Transmigran II
dia selalu singkong
dan terus-menerus singkong
hari ini singkong
tadi malam singkong
besok mungkin singkong
besoknya lagi juga singkong
di rumah sepotong singkong
di ladang seikat singkong
di pasar segerobak singkong
di rumah tetangga sepiring singkong
enam bulan lagi tetap singkong
setahun lagi tetap singkong
sepuluh tahun masih singkong
dua puluh tahun makin singkong
dan limapuluh tahun kemudian
transmigran beruban
sakit-sakitan
mati
lalu dikubur di ladang singkong
Bentuk-bentuk Penyimpangan Penulisan Larik Puisi
Ada beberapa bentuk penyimpangan pada penulisan puisi F. Rahardi di atas. Penyimpangan tersebut berupa tatakalimat dan tatabentuk atau tipografi yang tidak sesuai dengan pembentukan kata. Adapun bentuk-bentuk penyimpangan penulisan tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
(1)dia selalu singkong
Larik pertama ini merupakan suatu kalimat yang tidak dilengkapi dengan predikat. Seharusnya setelah kata selalu ditambah dengan predikat verba makan sehingga berbunyi dia selalu makan singkong. Dengan demikian, pembaca dengan mudah memahami makna larik pertama puisi ini.
(2)dan terus-menerus singkong
Sama halnya dengan larik pertama, larik kedua ini juga merupakan kalimat yang tidak lengkap. Seharusnya setelah kata terus-menerus ditambah dengan kata makan sebagai predikat sehingga lariknya berbunyi dan terus-menerus makan singkong. Pembaca pun dengan cepat menangkap maknanya jika kalimatnya diubah seperti itu.
(3)hari ini singkong
Larik ketiga ini juga demikian. Susunannya masih sama dengan larik pertama di atas. Seharusnya ditambah dengan verba makan sehingga makna kalimatnya dapat jelas dipahami oleh pembaca. Lariknya setelah ditambah kata makan menjadi hari ini makan singkong.
(4)tadi malam singkong
Larik keempat ini persis bentuknya dengan larik ketiga di atas. Unsur-unsur yang ada hanya keterangan waktu dan objek tetapi tidak dilengkapi dengan predikat. Seharusnya ada kata makan di antara kata malam dan singkong.
(5)besok mungkin singkong
Sama halnya dengan larik sebelumnya, larik kelima ini juga seharusnya ditambah dengan kata makan sebagai verba. Lariknya akan menjadi besok mungkin makan singkong.
(6)besoknya lagi juga singkong
Demikian juga dengan larik keenam ini, seharusnya ditambah dengan kata makan setelah kata juga sehingga lariknya berbunyi besoknya lagi juga makan singkong.
(7)di rumah sepotong singkong
Larik ketujuh ini seharusnya ditambah dengan kata ada di antara kata rumah dan sepotong sebagai predikat sehingga lariknya berbunyi di rumah ada sepotong singkong.
(8)di ladang seikat singkong
Larik kedelapan ini juga tidak dilengkapi dengan predikat verba ada. Seharusnya di situ ditulis di ladang ada seikat singkong.
(9)di pasar segerobak singkong
Sama halnya dengan larik sebelumnya, larik kesembilan ini juga tidak dilengkapi dengan predikat ada di antara kata pasar dan gerobak. Seharusnya ditambah dengan kata ada sehingga bunyi lariknya menjadi di pasar ada segerobak singkong sehingga pembaca dengan mudah menangkap maknanya.
(10)di rumah tetangga sepiring singkong
Setelah kata tetangga seharusnya ditambah dengan kata ada sebagai predikat sehingga larik itu dapat menjadi kalimat lengkap dan mudah dipahami sehingga berbunyi di rumah tetangga ada sepiring singkong.
(11)enam bulan lagi tetap singkong
Larik kesebelas ini juga seharusnya ditambah dengan kata makan sebagai predikat kalimatnya sehingga berbunyi enam bulan lagi tetap makan singkong.
(12)setahun lagi tetap singkong
Begitu pula larik kedua belas ini, seharusnya ditambah dengan kata makan setelah kata tetap sebagai predikat kalimat sehingga bunyi lariknya menjadi setahun lagi tetap makan singkong.
(13)sepuluh tahun masih singkong
Larik ketiga belas ini juga seharusnya ditambah dengan kata makan sebagai predikat. Dengan demikian, lariknya akan berbunyi sepuluh tahun masih makan singkong.
(14)dua puluh tahun makin singkong
Sama halnya dengan larik di atasnya, larik ini akan menjadi kalimat yang baik jika ditambah dengan kata makan setelah kata makin. Oleh karena itu, lariknya akan berbunyi dua puluh tahun makin makan singkong.
(15)transmigran beruban
Larik ini akan semakin jelas seandainya ditambah dengan kata telah atau sudah sebelum kata beruban sehingga lariknya berbunyi transmigran telah beruban.
(16)sakit-sakitan
Larik ini hanya ada satu kata, yaitu sifat sakit-sakitan sehingga maknanya kurang jelas. Sebaiknya ditambah dengan kata penghubung dan atau tanda koma (,) karena masih merupakan lanjutan dari kalimat sebelumnya.
(17)mati
Seharusnya diberikan kata penghubung dan atau kemudian sehingga makna yang ingin disampaikan semakin jelas.
Secara tipografi, puisi yang berjudul Sajak Transmigran II ini menampilkan gaya atau bentuk yang berbeda dengan bentuk penulisan puisi pada angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Aturan spasinya acak-acakan dan tidak seperti bentuk puisi-puisi biasanya.
Setelah puisi tersebut dikaji secara stilistika linguistik, kita dapat melihat beberapa atau penyimpangan tatabahasa. Sepertinya penyair (F. Rahardi) dengan sengaja menghilangkan predikat atau kata kerja pada setiap larik puisinya. Kita dapat melihat setiap larik itu seharusnya dilengkapi dengan kata makan. Namun, hal itu disengaja oleh penyair untuk memberi efek-efek tertentu pada puisinya. Hal itu terjadi bukan berarti penyair tidak memahami penggunaan unsur-unsur pembentuk kalimat melainkan demi keunikan sebuah karya sebagai ciri khasnya.
Selain itu, predikat atau kata ada sebagai verba pada beberapa larik juga ditiadakan. Hal itu semakin membuktikan bahwa memang penyair dengan sengaja menghilangkan semua predikat larik itu sebagai suatu kalimat untuk menampakkan kesan tersendiri pada puisinya.
Jika kita mencermati lebih jauh lagi, puisi ini memberikan kritikan pada salah satu program kerja pemerintah, yakni transmigrasi yang tidak berhasil mengubah nasib penduduk. Jika dihubungkan dengan bentuk penulisannya yang banyak menghilangkan predikat sebagai inti kalimat, mungkin saja penyair mencoba melesapkan kata makan supaya maknanya tidak langsung dipahami secara polos. Dengan demikian, puisi tersebut menjadi unik dengan bungkusan gaya penghilangan predikat setiap larik kalimatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H