Mohon tunggu...
Riiskina Putri Ramahdani
Riiskina Putri Ramahdani Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa FEB

Riskina putri ramadani mahasiswa ekonomi pembangunan 19

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Isu Perdagangan Internasional di Masa Pandemi

29 Januari 2021   19:48 Diperbarui: 29 Januari 2021   20:01 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak awal tahun 2020, merebaknya virus corona yang berasal dari Tiongkok telah menghebohkan dunia. Virus korona menimbulkan kepanikan di China dan menewaskan ribuan warga China. Akibat lainnya, banyak perusahaan kecil, menengah, dan besar yang terpaksa menutup sementara usahanya. Tak hanya tutup, ribuan gerai makanan / minuman juga terpaksa tutup

Hingga awal tahun 2020, perekonomian Tiongkok sedang bergejolak, karena selama ini perekonomian Tiongkok ditopang oleh UKM. Sekitar 30 juta usaha kecil dan menengah menyumbang lebih dari 60% dari produk domestik bruto (PDB) China. Selain itu, Shanghai Stock Exchange juga sempat turun menjadi 9%, kinerja terparah sejak Agustus 2015 (merdeka.com., 18 Februari 2020).

Berfokus pada situasi ekonomi Tiongkok saat ini, Volume 19. XII, No.4 / II / Puslit / Februari 2020 / Banyak analis memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi China dapat turun hingga hampir 5% pada tahun 2020. Industri yang paling terpengaruh adalah manufaktur dan pariwisata. Seperti kita ketahui bersama, Wuhan tempat virus corona merebak merupakan pusat industri otomotif China. Kontribusi Wuhan terhadap perekonomian Tiongkok mencapai 1,6% (katadata.co.id, 7 Februari 2020).

Organisasi Kesehatan Dunia telah menentukan keadaan darurat global untuk wabah virus corona. Seluruh dunia sadar akan merebaknya virus ini. Tidak hanya harus mewaspadai penyebaran penyakit, tetapi juga kemungkinan dampaknya terhadap perekonomian dunia. Kristalina Georgieva, Managing Director International Monetary Fund, menilai perekonomian global dalam jangka pendek akan melambat (katadata.co.id, 5 Februari 2020). Tulisan ini bertujuan untuk memahami dampak virus corona terhadap perekonomian Indonesia (khususnya di bidang perdagangan dan pariwisata) serta bagaimana pemerintah mengantisipasi atau mengatasinya.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia kemungkinan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi China. Jika perekonomian Tiongkok melambat sebesar 1-2%, maka akan berdampak pada penurunan perekonomian Indonesia yang setara dengan 0,1-0,3% perekonomian Indonesia (katadata.co.id, 7 Februari 2020). Akibat terjangkitnya virus corona, pembatasan keluar masuk barang yang keluar-masuk China dan banyaknya perusahaan atau pabrik yang tutup telah mengganggu perekonomian China. Mengingat China merupakan negara yang memiliki pengaruh besar dalam perekonomian dunia, hal ini tentunya akan berdampak pada perekonomian negara lain (salah satunya Indonesia) sebagai mitra dagang.

China adalah mitra dagang utama Indonesia dan negara sumber dan tujuan ekspor nonmigas terbesar Indonesia. Pada 2019, total ekspor ke China mencapai US $ 25,85 miliar, sedangkan impor mencapai US $ 44,58 miliar (Coid, disebutkan pada 7 Februari 2020).

Namun menurut data yang dirilis BPS, ekspor nonmigas pada Januari 2020 turun dibandingkan dengan Desember 2019. Penurunan tersebut terjadi di sebagian besar negara tujuan utama, salah satunya adalah China yang mencapai US $ 211,9 juta atau turun 9,15%. Di saat yang sama, nilai impor nonmigas pada Januari 2020 juga mengalami penurunan. Total impor nonmigas Januari 2020 sebesar 9,67 miliar dollar AS, turun 3,135% dan turun 3,135% dari Desember 2019. Hal ini disebabkan penurunan impor nonmigas. Impor gas alam dari beberapa negara besar, salah satunya China, turun dari 4,07 miliar dolar AS menjadi 3,94 miliar dolar AS, turun 3,08%.

Diduga wabah virus Corona di China juga telah mempengaruhi 20 jenis perdagangan pertanian di Indonesia. Selama ini ekspor minyak sawit merupakan salah satu sumber ekspor terbesar China. Namun pada Februari 2020, volume realisasi baru mencapai 84.000 ton. Angka ini jauh berbeda dengan pencapaian bulan lalu, yakni 487.000 ton pada Januari 2020 dan 371.000 ton pada periode yang sama tahun 2019 (finance.detik.com, 17 Februari 2020).

Dari sisi impor pangan, Indonesia yang mengandalkan bawang putih China hanya bisa mengimpor 23.000 ton bawang putih dari China pada Februari 2020. Dibandingkan dengan volume impor tahun sebelumnya yang sebesar 583.000 ton, angka ini juga turun tajam (Finance.detik.com, 17 Februari 2020). Pada Februari 2020, penurunan impor terbesar dari China juga terlihat pada komoditas buah-buahan. Impor komoditas buah-buahan turun 78,88%, dari US $ 160,4 juta menjadi US $ 33,9 juta (katadata.co.id, 17 Februari 2020).

Sepanjang 2019, jumlah wisman yang masuk ke Indonesia mencapai 16,11 juta, meningkat 1,88% dari 15,81 juta pada periode yang sama tahun 2018. Mayoritas kunjungan wisatawan ke Indonesia pada 2019 berasal dari Malaysia mencapai 2,98 juta (18,51%), disusul China mencapai 2,07 juta (12,86%) (cnbcindonesia.com, 3 Februari 2020)

Sejak merebaknya virus corona, selain menerapkan kebijakan pembatasan impor hewan hidup dari China, pemerintah juga telah menangguhkan penerbangan ke dan dari China mulai 5 Februari 2020. Hal ini tentunya juga akan mempengaruhi industri pariwisata Indonesia. Banyak perjalanan dan maskapai penerbangan mengalami kerugian akibat penangguhan penerbangan ke dan dari China.

Sejak diberlakukan, jumlah wisatawan China yang berkunjung ke Bali mengalami penurunan. Pada 2019, dari 6,3 juta wisman, 1.185.519 wisman atau 18,2% berasal dari China. Namun, antara Januari hingga pertengahan Februari 2020, 22.000 turis Tiongkok membatalkan perjalanannya ke Bali (tribunnews.com, 14 Februari 2020). Hal tersebut sangat mempengaruhi perekonomian Provinsi Bali.

Menurut pengamat pariwisata Herry Angligan, industri pariwisata Bali terancam karena ketergantungan pada wisatawan China. Dua perusahaan atraksi air di Bali tutup karena 100% tamunya adalah turis China. Turis non-China juga mengalami penurunan, karena turis dari banyak negara lain membatalkan niatnya untuk berwisata ke Bali akibat kedekatan hubungan antara China dan Indonesia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan penurunan jumlah wisatawan di Bali telah mencapai 50% (voaindonesia.com, 12 Februari 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun