Dalam satu dekade terakhir ini Laut Natuna kerap menjadi isu panas dan menarik dalam hubungan Indonesia dan China, yaitu mengenai klaim China bahwa laut ini merupakan bagian dari wilayah perairannya "Nine-Dash Line" yang secara historis merupakan kawasan tradisional penangkapan ikan masyarkat China dahulu, klaim ini juga turut tumpang tindih dengan dengan kedaulatan wilayah negara lain seperti, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam yang turut dilewati oleh nine-dash line (Rantau Itasari & Sudika Mangku, 2020). Terbaru ini, dalam "Peta Standar China 2023", China juga melebarkan klaim nya dengan memasukan wilayah laut bagian timur Taiwan, sehingga menambah satu garis putus yang kemudian menjadi 10 garis putus-putus atau "Ten-Dash Line" (BBC News Indonesia, 2023). Karena double claim khususnya antara Indonesia dan China inilah yang kemudian Laut Natuna juga dikenal sebagai Laut China Selatan.Â
Indonesia tentunya tidak mengafirmasi klaim sepihak tersebut karena bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang termaktub dalam UNCLOS 1982 yang mana baik Indonesia dan China sebagai pihak yang menandatanganinya. Sehingga dengan ini Indonesia menegaskan Laut Natuna atau Laut China Selatan merupakan wilayah kedaulatan negara yang berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.Â
Kepulauan Natuna dan  Laut China Selatan (LCS)
Mengapa Laut Natuna diklaim China sebagai wilayah perairannya? Hal ini dapat dilihat dari letak geografis Laut Natuna Utara sebagai bagian dari Kepulauan Natuna yang terletak di Kepulauan Riau. Di samping itu letaknya yang cukup strategis sebagai jalur pelayaran Internasional Sea LInes of Trade (SLOT) dan Sea LInes of Communication (SLOC) sebagai penghubung Samudra Hindia dan Pasifik sehingga berdampak besar terhadap kondisi geopolitik, pertahanan dan keamanan yang kaya akan flora, fauna dan sumber daya alamnya yang melimpah. Hal ini tentunya turut menjadi bagian kekuatan kedaulatan Indonesia.Â
Dalam hal geopolitik, kepulauan Natuna tentunya memiliki pengaruh yang besar karena menjadi titik temu China dengan negara tetangga Asia Tenggara lainnya. Namun hal ini juga yang menjadikan wilayah Natuna diperebutkan dan menjadi penyebab sengketa antara Indonesia dan China, walaupun secara hukum internasional Natuna merupakan wilayah kedaulatan penuh Indonesia (Prayuda & Angelil, 2020).Â
Beberapa analisis berpendapat bahwa klaim sepihak China ini didasari oleh kepentingan ekonomi China terhadap wilayah LCS yang menyimpan banyak sumber daya alam. Data menurut Council for Foreign Policy, setidaknya terdapat sekitar 900 triliun kaki kubik gas alam, 7,7 miliar cadangan minyak bumi. Melihat sangat strategis dan banyaknya benefit dari kawasan ini tentunya China tidak akan dengan suka rela melepaskan klaim sepihak ini kepada negara-negara yang dilalui ten dash line. Sehingga perlu diadakannya resolusi dan negara-negara lainnya untuk meredam eskalasi sengketa ini agar tidak menjadi lebih luas lagi.
Kepentingan Ekonomi Indonesia Vs. Kedaulatan Laut Natuna
Sudah tidak diragukan lagi bahwa hubungan Indonesia dengan China terjalin dalam berbagai sektor terlebih dalam hal ekonomi terlebih sejak diresmikannya jalur sutra Belt Road Initiative (BRI) yang menciptakan kemitraan strategis komprehensif China dan Indonesia menjadi lebih erat. Peningkatan ekspansi ekonomi di kedua negara juga telah menarik minat masyarakat dari kedua pihak dalam berbagai sektor seperti perdagangan, investasi, pariwisata hingga ilmu pengetahuan.Â
Tercatat nilai investasi China di Indonesia mengalami lonjakan pada 2022 dengan realisasinya mencapai US$5,18 miliar, angka ini melonjak 63,92% dari tahun sebelumnya dan merupakan yang tertinggi dalam satu dekade ini, adapun jumlah proyek yang terealisasikan sebanyak 1.584 proyek investasi (Annur, 2023). Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo mengedepankan pembangunan infrastruktur di Indonesia dan China merupakan rekan yang cocok untuk itu. Â Karena kepentingan pembangunan ini juga tentunya membutuhkan modal yang memadai dan investasi sebagai pemasukan, dan hal tersebut didapatkan dari China dalam Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) investasi ini juga didapatkan atas keikutsertaan Indonesia dalam (BRI) (Andika & Aisyah, 2017). Hal ini tentunya merupakan aji mumpung yang tidak akan dilewatkan Presiden Jokowi.
Disamping semakin mesranya hubungan ekonomi China dan Indonesia, sengketa konflik LCS turut menjadi perhatian khusus, mengapa indonesia bisa tetap mempertahankan kedaulatan teritorialnya terhadap klaim China. Beberapa kali kapal nelayan China memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin, pada tahun 2016 Kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) setidaknya menangkap tiga kapal nelayan ilegal China yang mencuri ikan di perairan Natuna.
Pelanggaran berulang kali yang dilakukan kapal-kapal nelayan China di perairan Natuna mendapatkan tanggapan tegas dari Presiden Jokowi. Pada 23 Juni 2016, Presiden Jokowi mengadakan rapat di atas KRI Imam Bonjol-383, dalam kesempatan ini Jokowi juga sembari melakukan patroli di wilayah yang sering dijadikan lokasi pencurian ikan oleh nelayan China. Pemerintah Indonesia menilai bahwa masalah penangkapan ikan secara ilegal memiliki dampak signifikan terhadap kedaulatan negara. Oleh karena itu, Indonesia bersikap sangat tegas terhadap segala bentuk pelanggaran di perairannya, termasuk di wilayah Natuna yang berbatasan dengan klaim China di Laut China Selatan.