Mohon tunggu...
Rihad Wiranto
Rihad Wiranto Mohon Tunggu... Penulis - Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Saat ini menjadi penulis buku dan konten media baik online maupun cetak. Berpengalaman sebagai wartawan di beberapa media seperti Warta Ekonomi, Tempo, Gatra, Jurnal Nasional, dan Cek and Ricek.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Saya Menjadi Penulis Buku

20 Oktober 2022   16:06 Diperbarui: 20 Oktober 2022   16:09 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penulis sedang bekerja (Dokpri)

Saya termasuk wartawan yang mengalami guncangan akibat datangnya media online. Tapi akhirnya saya tetap eksis karena mau menyesuaikan diri. Tidak mudah bagi saya untuk menghadapi guncangan industri pers yang bergeser dari media cetak ke online. Pada saat saya sedang enak-enaknya jadi wartawan cetak saat itu, ternyata iklim kerja berubah drastis.

Saya menjadi wartawan mulai tahun 1992 di Majalah Tempo yang pada masa itu mengetik komputer juga masih perlu kursus tiga bulan. Saya kemudian pindah ke Majalah Gatra.

Kemudian menjelang 200-an sudah muncul media online. Waktu itu masih ada keraguan apakah media cetak akan mati? Dalam berbagai diskusi selalu terjadi dua kubu, mereka yang meramal media cetak akan mati dan sisi lain merasa akan tetap bertahan.

Singkat cerita, perlahan tapi pasti bisnis media cetak pingsan bergeser ke online yang terus tumbuh. Tidak mudah wartawan generasi lama seperti saya untuk  beralih ke online. 

Bahkan untuk hal mendasar, seperti cara mengupload berita pun tidak semua wartawan senior bisa melakukannya. Karena tidak bisa dipaksa, akhirnya perusahaan media menyediakan petugas yang kerjanya hanya upload berita yang ditulis wartawan senior. 

Alur kerjanya, artikel yang ditulis oleh penulis tua diserahkan kepada petugas khusus upload yang masih muda. Pekerjaan seperti mengupload, memasang foto, memberi deskripsi, menulis keyword, ternyata menjadi pekerjaan yang sulit untuk wartawan generasi tua.

Saya agak beruntung, karena semasa masih kerja di media cetak saya sudah mulai menulis blog. Waktu itu hanya untuk iseng-iseng saja. Tapi setelah saya benar-benar harus beralih ke online, saya sudah setengah siap. Saya hanya perlu penyesuaian sedikit untuk menulis, lalu mengupload ke dashboard. Itu pun pada masa awal masih ada fotografer yang memasukan foto ke dashboard.

Ketika saya kerja di media online sendiri, semua aspek dalam manajemen media seperti menulis, memilih foto, mengupload, mengisi, deskripsi, keyword dan seterusnya saya sendiri. Saya juga mempelajari google analytic untuk mengetahui kinerja web.

Saya senang bisa melakukan itu semua. Ini menunjukkan saya bisa menyesuaikan diri di tengah perubahan yang terus terjadi. Dari segi pengelolaan berita online, bisa dibilang saya cukup menguasai. Bidang yang tak saya pelajari secara detail adalah soal IT. Saya hanya belajar prinsip-prinsipnya saja. Teknis IT saya serahkan ke pihak lain.

Menulis Buku

Pada akhirnya media online kini begitu banyak, merebak seperti jamur di musim hujan. Kompetisinya tajam, dan untuk wartawan senior seperti saya mulai kedodoran dalam kecepatan. Mungkin seperti Ronaldo yang sudah menurun performanya karena usianya sudah senja di dunia sepakbola.

Pada akhirnya saya perlu memilih bidang yang lebih optimal yakni menulis buku. Meski saya memiliki media online, menulis buku atau majalah lebih cocok karena ritmenya lebih lambat dibandingkan menulis berita online.

Saya mulai berlatih menulis buku di wattpad untuk menularkan ilmu tentang jurnalistik. Kemudian, saya mulai terlibat menulis  buku yang diterbitkan Kementerian. Saya berkolaborasi dengan kawan-kawan untuk menulis berbagai buku. 

Menulis buku di usia tua lebih cocok untuk saya.Iramanya lebih lambat, dan penulisannya cenderung lebih mendalam dibandingkan menulis berita online. Ketika menulis buku, saya memikirkan tema dan meramunya untuk menjadi bacaan yang utuh, tidak terpotong-potong.

Saya juga akhirnya menyadari bahwa di luar sana banyak ide-ide cemerlang yang bisa ditampung dalam sebuah buku tapi kurang menarik sebagai konten media online atau konten medsos.

Puluhan kali saya mewawancarai sumber-sumber di daerah dalam pengumpulan bahan untuk menulis buku. Para guru, kepala sekolah banyak yang memiliki ide, dan kreativitas yang bisa diangkat untuk menjadi contoh orang lain. Ide mereka bukan yang heboh atau viral tapi sangat berarti.

Saya juga melihat banyak profil di daerah yang pantas untuk ditulis dalam sebuah buku untuk menjadi warisan anak cucu. Jika ide dan gagasan serta karya mereka ditulis dalam sebuah buku, maka akan lahir ribuan buku. 

Banyak sekali karya-karya tulis para dosen dan doktor yang bisa ditulis secara sederhana agar bisa ditangkap oleh orang pada umumnya. 

Jika kita menggunakan pendekatan komersial, tidak akan banyak orang bersedia menulis dan menerbitkan buku seperti itu. 

Beberapa buku yang saya tulis memang tidak murah. Buku-buku itu ditulis atas anggaran kementerian. Tali tidak semua kementerian menempatkan penulisan buku sebagai prioritas. Padahal di Kementerian banyak ide, karya yang pantas ditulis dengan bentuk yang populer agar bisa dibaca orang awam. Bukan dalam bentuk laporan proyek yang sulit ditangkap hikmahnya.  

Menurut saya perlu kolaborasi negara dan swasta untuk menerbitkan buku berisi karya-karya nyata dari anak bangsa di seluruh Indonesia. Kolaborasi adalah kuncinya. 

Sebagian anak bangsa  yang terjebak ke pemikiran ekstrim adalah hasil salah baca. Sikap dalam berkomunikasi yang kasar dan tidak beradab yang kita temui di medsos adalah cerminan orang jarang baca, atau salah sumber bacaan.

Proyek intelektual dengan menerbitkan buku sebanyak-banyaknya adalah bagian penting dari perjalanan kehidupan bangsa Indonesia yang kemerdekaannya akan berumur 100 tahun pada 2045. 

Anggaran CSR perusahaan bisa berkolaborasi dengan penganggaran pemerintah untuk menghasilkan buku-buku yang berkualitas sekaligus disebarkan secara luas ke masyarakat. Teknisnya bisa dalam bentuk cetak maupun online tergantung wilayah masing-masing.

Itu baru ide dasar yang saya usulkan. Menurut saya bisa langkah ini perlu idealisme. Jika menggunakan pendekatan dagang mungkin tidak masuk karena cost proyek ini berupa uang, tetapi benefitnya tidak dalam bentuk uang. Benefitnya berupa pencerahan anak bangsa yang akan terlihat dari tindak-tanduknya. Mungkin bukan sekarang dirasakan, tapi beberapa tahun kemudian.

Jika ada yang ingin menulis buku, saya bersedia membantu tentu saja. Tetap semangat. ****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun