Proses sertifikasi guru merupakan program mulia pemerintah agar para guru memiliki kompetensi yang tinggi. Harapannya, mutu pendidikan akan meningkat setelah guru mendapat sertifikat sebagai pendidik.
Program sertifikasi ini juga menjadi syarat agar guru mendapat tunjangan yang akan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Perlu diketahui, program sertifikasi dilaksanakan sudah sejak lama. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Seperti ditulis dalam buku berjudul "Satu Dekade Sertifikasi Buku" (2020), program sertifikasi guru diharapkan tuntas 10 tahun sejak peraturan diundangkan, atau tahun 2015. Dalam hal ini yang dimaksud adalah program sertifikasi untuk mereka yang sudah menjadi guru.
Nyatanya kini sudah 2022, ternyata masih banyak guru yang belum lulus sertifikasi. Menurut data Kemendikbudristek masih ada 1,6 juta guru yang belum lulus sertifikasi. Hal itu disampaikan oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, Iwan Syahril kepada wartawan, 29 Agustus 2022 lewat zoom.
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan pada semester ganjil 2022/ 2023 jumlah total guru mencapai 4.095.896 orang. Artinya masih banyak guru yang belum memiliki sertifikasi.
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 15 menyebutkan; "Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian".Â
Tapi ketika program sertifikasi akan dilaksanakan pada 2005, saat itu belum ada PPG. Karen itu, ketika program ini diluncurkan munculÂ
Perdebatan apakah semua guru akan ikut pendidikan untuk mendapatkan sertifikat?
Jika cara itu dilaksanakan, maka akan terjadi kekurangan guru di sekolah. Hal itu terjadi karena guru ramai-ramai ikut pendidikan.
Karena itu kemudian dicari pola untuk menyelenggarakan sertifikasi guru yang tepat sesuai kondisi. Saat itu, untuk menggodok konsep sertifikasi yang tepat maka dibentuk Tim Sertifikasi Guru.
Konsep sertifikasi guru disusun dengan landasan berpikir sebagai berikut:
(1) bekerja pada dasarnya juga belajar. Jadi guru yang sudah sekian lama mengajar pada dasarnya juga belajar; (2) guru sudah mengikuti pembinaan dan/atau pengembangan diri melalui berbagai pelatihan; (3) ada P4TK dan Balai Penataran Guru yang secara khusus bertugas membina guru.Â
Berdasarkan konsep tersebut, untuk memperoleh sertifikat pendidik, guru dapat langsung ikut ujian. Jika lulus mereka berhak mendapatkan sertifikat pendidik.Â
Guru yang akan mendapat sertifikat harus mengikuti ujian. Pertama, uji tulis untuk membuktikan penguasaan teori. Kedua, uji kinerja untuk membuktikan keterampilan menerapkan teori tersebut di kelas.Â
Penyusunan materi uji melibatkan banyak pakar. Mereka menyusun standar kompetensi guru untuk setiap mata pelajaran yang mengacu pada UU Guru dan Dosen dan Naskah Akademik Sertifikasi Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, yang disusun Ditjen Dikti (2004).
Ada tiga macam penilaian yang harus diikuti guru, yakni melalui tes tertulis, tes kinerja dan portofolio, Materi tes tulis mencakup kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional.
Sedangkan tes kinerja berbentuk penilaian guru dalam mengelola pembelajaran, yang mencakup keempat kompetensi secara terintegrasi.
Sedangkan portofolio merupakan penilaian terhadap kegiatan dan prestasi guru di sekolah, di kegiatan profesional maupun di masyarakat. Dengan tiga cara tersebut, diharapkan penilaian kompetensi guru dilakukan secara komprehensif.
Namun pola sertifikasi dengan penilaian langsung di kelas tidak disetujui oleh Komisi X DPR. Anggota parlemen berargumen sertifikasi yang dikehendaki UU Guru dan Dosen adalah alat untuk meningkatkan kesejahteraan.Â
Setelah diskusi panjang disepakati jalan tengah, yakni pembuktian penguasaan tidak melalui ujian tetapi dengan portofolio. Jika portofolio tidak memenuhi syarat (tidak lulus), peserta mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) yang diakhiri dengan uji kompetensi.
Pola portofolio dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada guru-guru berprestasi dan/atau guru berpendidikan S-2/S-3 dan/atau guru berpengalaman dapat lulus sertifikasi tanpa mengikuti PLPG.Â
Pola portofolio dan PLPG itulah yang dipakai pada pelaksanaan sertifikasi mulai tahun 2007 hingga 2015. Secara ringkas perjalanan proses sertifikasi guru dapat digambarkan sebagai berikut:Â
Tahun 2007 lahir Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan yang ditandatangani pada 4 Mei 2007.Â
Pada tahun 2007 mulai dilaksanakan sertifikasi bagi 200.450 guru melalui sistem portofolio dan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Untuk mendukung pelaksanaannya ditetapkan 31 rayon Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Penyelenggara Sertifikasi Guru dalam jangka waktu dua tahun.
Pada tahun 2008 sertifikasi dilanjutkan dengan kuota 200.000 guru dengan pengetatan dalam penilaian portofolio. Pada tahun tersebut juga terbit Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru yang mengatur sertifikasi dengan berbagai pola yakni; Pertama, Pemberian Sertifikat Secara Langsung (PSPL); Kedua, penilaian Portofolio; Ketiga, melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG)/
Pada tahun 2009, proses sertifikasi dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2008. Pada tahun 2009, Pengawas juga mulai disertifikasi.
Untuk mendukung pelaksanaan sertifikasi pada tahun 2009, maka ditetapkan 46 Rayon LPTK Penyelenggara Sertifikasi Guru dalam jangka waktu 2 tahun.
Tahun 2010 pelaksanaan sertifikasi guru dilakukan dengan pola yang sama dengan tahun 2009.
Pada tahun 2011, sertifikasi guru di LPTK berbasis program studi (prodi) dengan pola 1% portofolio, dan 99% langsung PLPG.
Pada tahun 2012, proses sertifikasi guru diawali Uji Kompetensi Awal (UKA), sedangkan pola yang digunakan sama seperti tahun 2011.
Pada tahun 2013, sertifikasi guru menggunakan pola yang sama dengan tahun 2012. Saat itu ditetapkan 45 Rayon LPTK Penyelenggara Sertifikasi Guru dalam jangka waktu 3 tahun. Pada 30 Mei 2013 terbit Permendikbud 62 terkait sertifikasi ke-2
Tahun 2014 disamping dengan menggunakan pola PLPG, saat itu sudah direncanakan sertifikasi guru melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan bagi guru yang mengajar sejak Januari 2006. Pada tahun 2014, proses sertifikasi ke-2 dimulai.
Tahun 2015 batas akhir sertifikasi guru dalam jabatan sesuai UU No 14/2005 tentang guru dan dosen. Pada tahun ini juga dilakukan telaah regulasi dalam rangka mempersiapkan kebijakan sertifikasi tahun 2016.Â
Hingga 2015, ternyata masih banyak guru belum mendapatkan sertifikat sebagai pendidik. Untuk itu Kemendikbudristek melakukan berbagai perbaikan program sertifikasi yang berlangsung hingga kini.
Saat ini, pendidikan yang dimaksud berupa Program Pendidikan Guru (PPG) yang terbagi menjadi dua. Pertama, PPG Prajabatan untuk calon guru. Kedua, PPG Dalam Jabatan untuk mereka yang sudah menjadi guru dan ingin mendapatkan sertifikasi.
Program Berganti-ganti
Melihat perjalanan program sertifikasi guru, terlihat banyaknya acuan atau model yang berganti-ganti. Kenyataanya banyak guru yang tetap tidak lulus dengan berbagai model sertifikasi.
Perlu diingat, sertifikasi adalah syarat guru untuk mendapatkan tunjangan. Saat ini guru mempertanyakan mengapa dalam rancangan RUU Sisdiknas, soal tunjangan tidak ada lagi?Â
Namun Dirjen GTK Iwan Syahril, menjelaskan bahwa dalam RUU Sisdiknas, tunjangan tidak dihilangkan. Hanya saja tunjangan tidak lagi dikaitkan dengan sertifikasi.
Jika seorang guru sudah terlanjur mengajar tanpa sertifikasi, maka akan mendapatkan penghasilan yang layak tanpa menunggu antrean sertifikasi.
Bagi guru Aparatur Sipil Negara (ASN), penghasilan yang layak merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Sementara bagi guru swasta, penghasilan yang layak merujuk pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ketenagakerjaan).
Penjelasan semacam ini harus disosialisasikan dengan sebaik mungkin. Guru berhak bertanya tentang nasib mereka di masa mendatang.Â
Saat ini kalangan muda mulai tertarik menjadi guru. Kalau masa depan guru tak menarik, semakin sedikit kalangan muda berkualitas yang ingin jadi guru. ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H