Mohon tunggu...
Rihad Wiranto
Rihad Wiranto Mohon Tunggu... Penulis - Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Saat ini menjadi penulis buku dan konten media baik online maupun cetak. Berpengalaman sebagai wartawan di beberapa media seperti Warta Ekonomi, Tempo, Gatra, Jurnal Nasional, dan Cek and Ricek.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Wacana Perpanjangan Jabatan Presiden Berpotensi Menjadi Pandemi Politik

13 April 2022   07:07 Diperbarui: 13 April 2022   07:09 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana perpanjangan jabatan presiden terbilang aneh. Suara usulan perpanjangan jabatan presiden bermula dari pendukung Jokowi sendiri. 

Tapi di sisi lain Presiden Jokowi sudah tegas membantah ingin memperpanjang jabatannya. Sederet pendukungnya juga menolak perpanjangan jabatan presiden.

Tapi masih terdengar suara yang tidak yakin bahwa wacana perpanjangan jabatan presiden akan berhenti. Bahkan demo mahasiswa masih menolak wacana perpanjangan jabatan presiden yang jelas-jelas sudah dibantah Jokowi. 

Tapi kekhawatiran mahasiswa soal perpanjangan masa jabatan presiden memang pantas disuarakan. Jika sampai goal, demokrasi Indonesia dalam bahaya. Ini akan menjadi "pandemi politik" dalam arti tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang menular ke seluruh Indonesia. 

Dampak dari perpanjangan masa jabatan presiden sebenarnya sangatlah luas. Salah satunya adalah akan ada tuntutan serupa dari kepala pemerintah daerah untuk melakukan hal yang sama.

Bukan rahasia lagi otonomi daerah telah menciptakan Raja Kecil di daerah. Dengan pembatasan jabatan kepala daerah sebanyak dua kali seperti saat ini, maka menjadi penghalang mereka yang ingin memperpanjang kekuasaan. 

Tidak bisa dipungkiri, sebagian kepala daerah memiliki kemampuan untuk memimpin lebih dari dua periode dengan berbagai kelebihan. Antara lain karena pengaruhnya yang sudah mengakar di masyarakat setelah berkuasa 10 tahun. 

Karena peraturan tidak membolehkan kepala daerah berkuasa lagi, maka demi hukum, dia harus turun setelah dua kali masa jabatan.

Untuk menjaga kekuasaannya, pada pemilu berikutnya, giliran istri atau anaknya yang akan menjadi calon penggantinya. Karena pengaruhnya yang besar, istri atau anak kepala daerah mampu menang di pilkada berikutnya. 

Kondisi ini menciptakan sebuah fenomena dinasti kekuasaan di daerah. Kalau sebelumnya ayah menjadi kepala daerah, lalu turun ke istri, anak, atau saudara lain.

Pada situasi sekarang seorang kepala daerah mungkin masih berpotensi menang untuk periode berikutnya tapi karena hukum tak membolehkan, dia harus berhenti.

Bahkan jika masyarakat masih menginginkannya karena dia disukai. 

Pengaruh kepala daerah akan terhenti jika istri atau anaknya tidak berbakat memimpin dan kalah dalam pilkada. Pada situasi seperti ini, maka pengaruhnya di daerah otomatis berhenti.

Coba bayangkan jika kepala daerah boleh dipilih kembali setelah menjabat dua kali. Jika seorang kepala daerah bisa menjabat lebih dari dua kali, maka aturan permainan akan berubah total. Seorang kepala daerah bisa menjadi pemimpin lebih lama, yang dampaknya lebih mengakar, dan sulit dikalahkan. 

Sejarah membuktikan bahwa ketika kekuasaan semakin kuat, kontrol masyarakat akan semakin sulit bahkan di era demokrasi sekalipun. 

Inilah arti penting mengapa penambahan masa jabatan presiden memiliki risiko sangat besar bagi Indonesia. Bukan hanya di tingkat pusat, dalam hal ini kekuasaan Presiden, tapi menyebar ke seluruh daerah. 

Demokrasi perlu mekanisme kontrol dan evaluasi. Salah satunya adalah dengan membatasi masa kekuasaan. Mungkin ada yang berdalih agar pemimpin yang baik diberi kesempatan lebih lama memimpin. Tapi ide ini sebenarnya kamuflase, karena sebenarnya ide dasarnya adalah ingin menikmati kekuasaan lebih lama.

Pembatasan periode berkuasa justru bisa menjadi alat kontrol kekuasaan. Masa pergantian pemimpin bisa menjadi jeda untuk evaluasi dan menciptakan harapan baru akan perubahan yang lebih baik. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun