Pada situasi sekarang seorang kepala daerah mungkin masih berpotensi menang untuk periode berikutnya tapi karena hukum tak membolehkan, dia harus berhenti.
Bahkan jika masyarakat masih menginginkannya karena dia disukai.Â
Pengaruh kepala daerah akan terhenti jika istri atau anaknya tidak berbakat memimpin dan kalah dalam pilkada. Pada situasi seperti ini, maka pengaruhnya di daerah otomatis berhenti.
Coba bayangkan jika kepala daerah boleh dipilih kembali setelah menjabat dua kali. Jika seorang kepala daerah bisa menjabat lebih dari dua kali, maka aturan permainan akan berubah total. Seorang kepala daerah bisa menjadi pemimpin lebih lama, yang dampaknya lebih mengakar, dan sulit dikalahkan.Â
Sejarah membuktikan bahwa ketika kekuasaan semakin kuat, kontrol masyarakat akan semakin sulit bahkan di era demokrasi sekalipun.Â
Inilah arti penting mengapa penambahan masa jabatan presiden memiliki risiko sangat besar bagi Indonesia. Bukan hanya di tingkat pusat, dalam hal ini kekuasaan Presiden, tapi menyebar ke seluruh daerah.Â
Demokrasi perlu mekanisme kontrol dan evaluasi. Salah satunya adalah dengan membatasi masa kekuasaan. Mungkin ada yang berdalih agar pemimpin yang baik diberi kesempatan lebih lama memimpin. Tapi ide ini sebenarnya kamuflase, karena sebenarnya ide dasarnya adalah ingin menikmati kekuasaan lebih lama.
Pembatasan periode berkuasa justru bisa menjadi alat kontrol kekuasaan. Masa pergantian pemimpin bisa menjadi jeda untuk evaluasi dan menciptakan harapan baru akan perubahan yang lebih baik. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H