Mohon tunggu...
Rihad Wiranto
Rihad Wiranto Mohon Tunggu... Penulis - Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Saat ini menjadi penulis buku dan konten media baik online maupun cetak. Berpengalaman sebagai wartawan di beberapa media seperti Warta Ekonomi, Tempo, Gatra, Jurnal Nasional, dan Cek and Ricek.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengapa Media Mainstream Seharusnya Tidak Membuat Klikbait

17 Februari 2022   07:00 Diperbarui: 19 Februari 2022   06:58 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah klikbait (clickbait) semakin terkenal di telinga kita sejak maraknya media online serta media sosial. Judul berita yang bersifat clickbait sendiri sudah ditemukan sejak dahulu kala. Hal ini terjadi karena keinginan wartawan membuat berita heboh dan menarik perhatian pembaca.

Kalau mengutip Kamus Cambridge, clickbait artinya "artikel, foto, dll di internet yang dimaksudkan untuk menarik perhatian dan mendorong orang untuk mengklik link ke situs web tertentu." 

Dalam banyak definisi, clickbait adalah usaha wartawan atau penulis untuk menarik perhatian pembaca.

Definisi ini masih moderat. Belakangan clickbait ditujukan kepada judul berita yang sensasional tapi menyesatkan. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri sampai tulisan ini dibuat, saya belum menemukan arti klikbait. Tapi kebanyakan orang sudah banyak yang memahami arti kata ini.

Tulisan ini saya mulai dengan pernyataan "Mengapa media mainstream tidak boleh melakukan klikbait". Yang saya maksud adalah klikbait dalam pengertian negatif, yang mengarah kepada judul menarik tapi isi informasinya menyesatkan atau tendensius.

Saya tidak memberi contoh di sini supaya tidak menjadi bahan perdebatan tersendiri. Tapi bukan rahasia, media mainstream pun kadang terpeleset membuat judul kilkbait. Yang paling menyedihkan jika judul tendensius itu korbannya adalah orang kecil yang tidak punya daya untuk menuntut atau memprotes.

Klikbait dalam artian negatif ini pada awalnya menjadi marak di media sosial. Masyarakat yang memiliki akses melalui media sosial untuk berekspresi sering membuat judul atau pernyataan yang tidak sesuai dengan isi artikelnya. 

Berita seperti ini mengarah kepada hoaks atau dalam KBBI berarti berita bohong. Antara judul klikbait dengan berita bohong seringkali beriringan.

Sudah banyak korban dari berita bohong bahkan sampai berurusan dengan polisi. Sumber berita hoaks umumnya berasal dari media sosial. 

Berita baiknya adalah pengelola media sosial seperti facebook, instagram, youtube, tiktok dan sebagainya melakukan berbagai kontrol atas konten bermasalah sehingga berita bohong semakin berkurang. Antara lain mereka menghapus akun-akun penyebar kebohongan.

Saat ini, media sosial bahkan mulai diisi oleh orang-orang berkualitas. Banyak pejabat termasuk menteri, bekas menteri, pengusaha, tokoh masyarakat, beramai-ramai mengisi media sosial dengan informasi yang positif. 

Saat ini banyak sekali tokoh yang bersedia meluangkan waktu untuk berbagi ilmu. Para dosen, guru, ulama, tokoh bisnis, dokter, pakar-pakar mengisi media sosial dengan informasi yang positif. 

Contoh sederhana, dulu saya kalau mau belajar bahasa Inggris memgalami kesulitan mencari native speaker di tempat kursus. Saat ini kita bisa belajar dari para native speaker bahasa Inggris gratis setiap waktu melalui medsos.

Kita bisa belajar di mana saja, kapan saja. Kita juga bisa berkomunikasi dengan pembuat konten, layaknya kursus betulan. Itu juga terjadi di pelajaran bahasa asing lainnya. 

Media sosial telah berubah dari yang semula berisi konten "sampah" menjadi wadah konten-konten bermanfaat. Banyak dari para tokoh-tokoh ini dengan sukarela berbagi ilmu.

Ini adalah fenomena yang luar biasa positif. Ada kesadaran bersama bahwa media sosial tidak bisa dicegah. Yang perlu diubah adalah mengubah konten dari negatif ke positif. 

Kondisi ini menjadi tantangan jurnalis yang bekerja di media pemberitaan mainstream untuk mawas diri. Mengapa?

Masyarakat di Indonesia dan di negara maju sebenarnya mulai menengok lagi ke media mainstream. Mereka sudah bosan dengan informasi media sosial yang sering menyesatkan. Masyarakat mungkin melihat informasi pertama kali di medsos. Tapi umumnya, mereka curiga dengan kebenaran informasi di medsos.

Lalu mereka akan mencari media mainstream untuk memastikan kebenaran informasi tersebut. Arus balik masyarakat dari medsos ke media mainstream sedang berlangsung. 

Tapi ada masalah baru di media pemberitaan yang merasakan persaingan ketat dalam industri. Karena umumnya mereka sudah online, keberhasilan mereka diukur dengan indikator yang transparan. 

Para perusahaan pemasang iklan sudah bisa memetakan secara akurat kualitas media. Antara lain pemasang iklan memiliki mesin untuk mengukur berapa banyak pembacanya. 

Perilaku pembaca bisa diukur dengan beberapa indikator dari yang sederhana hingga canggih. Yang sederhaa bisa dilihat dari tayangan halaman, duras sesi, rasio pantulan, halaman per sesi dan sebagainya. Pengukuran canggih lainnya bisa mengukur apakah pembaca sebuah media sesuai dengan sasaran iklan atau tidak.  

Tapi secara umum, pemasang iklan akan suka dengan media yang memiliki banyak pembaca. Di sinilah yang menyebabkan wartawan terdorong membuat berita viral agar dibaca banyak orang. Salah satu caranya mereka membuat judul yang klikbait. 

Mereka akan semakin terdorong untuk membuat berita viral, jika pendapatan mereka (gaji, tunjangan, binus) juga ditentukan oleh jumlah views atas berita yang mereka tulis. Ibaratnya bayaran mereka akan semakin besar jika beritanya viral.

Dalam media online, cara kerja redaksi cenderung instan. Wartawan termasuk yang belum berpengalaman kadang memiliki akses langsung untuk upload berita Atau kalau pun lewat redaktur, kesempatan untuk memeriksa berita makin sempit. 

Sangat disayangkan jika kontrol terhadap konten di media mainstream mengendur. Saya melihat, masyarakat sedang menengok kembali ke media mainstream untuk mencari kebenaran informasi. Jika media besar tidak lagi bisa dipercaya, ke mana kepercayaan masyarakat akan berlabuh?

Di sinilah tanggung jawab media menjadi penting. Pada akhirnya masyarakat akan melihat media dari kredibilitas berita mereka dalam jangka panjang. Media yang pandai membuat judul tapi isinya tak berkualitas akhirnya akan ditinggal pembaca. 

Karena itu Indonesia sebenarnya hanya memerlukan media yang memiliki kredibilitas. Saya percaya, Indonesia tidak butuh media banyak, yang diperlukan adalah media yang memiliki kredibilitas.

Masa depan media pemberitaan akan ditentukan oleh ada tidaknya kepercayaan masyarakat kepada mereka. 

Jangan lupa, media sosial yang umumnya dikuasai perusahaan asing juga mulai mengatur informasi dan pembuat konten. Berbagai peraturan dibuat untuk membatasi para pembuat hoaks. 

Jadi media massa pemberitaan juga harus memiliki penyaring ketat di masing-masing meja redaksi. Dengan begitu, para pembuat berita hoaks tidak menyusup ke ruang redaksi. 

Selamat Hari Pers 2022.****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun