Mohon tunggu...
Rihad Wiranto
Rihad Wiranto Mohon Tunggu... Penulis - Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Saat ini menjadi penulis buku dan konten media baik online maupun cetak. Berpengalaman sebagai wartawan di beberapa media seperti Warta Ekonomi, Tempo, Gatra, Jurnal Nasional, dan Cek and Ricek.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Zaman Kuno, Guru Zaman Now

25 November 2019   07:07 Diperbarui: 26 November 2019   07:32 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang yang sudah senior, saya telah mengalami zaman kuno dan zaman now. Saya sempat mengalami sekolah di zaman Suharto. Di SD Banyumas, Jawa Tengah, tempat saya kecil, saya memandang guru dengan perasaan takut. Hubungan guru dengan murid terasa ada jarak.

Ketika kelas 6, suatu kali saya bersiul saat guru sedang menulis di papan tulis. Karena guru menghadap ke papan, dia tidak tahu siapa yang bersiul. Guru itu hanya bertanya "siapa itu?" Tapi satu kelas diam semua. Seharian saya khawatir, kalau-kalau ada teman yang melapor. Tapi sampai berhari-hari kemudian saya tidak ditegur. Bisa saja guru itu tahu tapi tak melanjutkan perkara itu. 

Suatu saat, saya melihat Pak Guru berjalan di depan rumah saya. Saya dari jauh bertanya, "Mau kemana Pak?" Saya berteriak dari jauh sebenarnya dengan maksud baik. Tapi seluruh orang dewasa di sekitar saya, seperti orangtua, dan kebetulan ada tetangga, menegur saya karena bertanya sambil berteriak.

Mereka sepakat meski pertanyaan itu baik, tapi saya bertanya terlalu kasar. Tidak ada rasa hormat kepada guru. Kisah itu bahkan sudah puluhan tahun berlalu, masih saya ingat sampai sekarang. 

Saya merindukan kembalinya kewibawaan guru di mata murid dan orangtua. Kalau kita melihat berita belakangan ini, saya miris juga. Ada guru dipukul murid, atau dianiaya bahkan sampai meninggal. Sebaliknya ada guru menampar siswa lalu diadukan orangtua ke polisi. Ada guru memperlakukan murid secara tidak senonoh yang akhirnya masuk perkara hukum. 

Guru yang Dihormati

Saya berpendapat, karakter murid yang menghormati guru harus ditegakkan. Jadi pertanyaan mendasar, bagaimana mengembalikan marwah guru yang terhormat di mata murid?

Zaman memang berubah cepat. Pada zaman dulu, guru adalah sumber utama informasi. Dia memiliki otoritas tinggi untuk menentukan soal ujian dan nilai. Dalam dunia silat, kita harus "berguru" kepada yang memiliki jurus silat lebih tinggi. 

Kini, dunia berubah cepat, bahkan sebelum internet muncul, guru formal di sekolah tidak lagi menguasai seluruh ilmu. Pembimbing bimbel (mereka adalah mahasiswa, atau perseorangan bukan guru) kadang lebih dipercaya ilmunya daripada guru di sekolah.

Saat ini, dengan kekuatan internet, guru di kelas bisa terlihat "ketinggalan zaman" jika dia tidak mau belajar.  Intinya, kalau guru mengharapkan untuk dihormati karena ia serba tahu, maka itu sia-sia. Guru tak bisa merasa paling pintar, atau paling benar di mata murid. Guru menjadi orang biasa. Ia bisa lebih unggul dari seorang murid dalam ilmu tertentu, tapi bisa kalah pandai pada ilmu lain. 

Kalau di sekolah dasar hingga menengah, guru mungkin hanya menang tua dibandingkan murid. Tapi dalam kapasitas ilmu bisa saja guru kalah, bahkan bisa kalah telak. Saat ini setiap anak memiliki akses pengetahuan tanpa batas.

Beberapa orangtua juga memberi fasilitas belajar lebih canggih  kepada anak. Beberapa keluarga memiliki komputer, gadget canggih dan kuota internet tanpa batas. Orangtua membelikan buku pelajaran baik lewat internet maupun di toko buku. Bahkan banyak orangtua memanggil guru les khusus. Anak-anak dari kalangan atas sudah biasa berkunjung ke berbagai belahan dunia, sementara guru hanya hafal nama-nama ibukota negara. Jadi kalau dulu anak pandai karena mendengar guru di kelas, sekarang anak pandai karena ia mempunyai akses ilmu dan pengalaman lebih luas. 

Bangun Sekolah Berintegritas

Bagaimana guru zaman now bisa dihormati murid? Integritas guru adalah utama. Karakter dan kompetensi guru harus menjadi model bagi murid. Itu saja. Yang saya maksud adalah guru menjadi teladan bagi murid. Guru bersama warga sekolah bersatu padu membangun sekolah berintegritas. Guru sendiri yang bisa membangun integritas, bukan orang lain. 

Jangan lupa para siswa kini punya akses untuk memantau perilaku guru. Mereka bisa mendapat informasi dari pembicaraan orangtua, dari grup medsos, dan sebagainya. Hampir tak ada informasi yang tersembunyi saat ini. Bahkan ketika sebuah kasus di sekolah tidak muncul di media massa, bukan berarti tidak tersebar. Para siswa juga pada akhirnya tahu perilaku guru dan tenaga kependidikan di sekolah. Jika kewibawaan sudah terkikis bagaimana pula siswa dan orangtua akan respek kepada guru dan sekolah?

Jadi pastikan tidak ada tindakan "tidak terpuji" dari guru dan tenaga kependidikan lainnya. Saya tidak perlu merinci tindakan tidak terpuji yang dimaksud. Intinya jadikan sekolah berintegritas dan guru berintegritas. Sekolah punya mekanisme untuk memberi penghargaan kepada guru berprestasi  dan menghukum guru yang menyalahi aturan. Tentunya ini harus didukung instansi lebih tinggi seperti dinas pendidikan dan Kemendikbud. 

Jiwa Pembelajar

Di zaman sekarang, guru tidak bisa mandeg belajar. Seorang guru, berapapun umurnya, dia juga pembelajar.  Ia belajar seumur hidup. Ketika penambahan gaji dan tunjangan diterima guru, bukan rahasia, rumah guru kebanyakan tidak dipenuhi dengan rak buku, peralatan inovasi, komputer dan sarapan pembelajaran lain.

Mereka yang sudah mandek belajar, penambahan gaji dipakai untuk  menambah jumlah kendaraan, memperluas rumah, dan sejenisnya. Jika siswa ke rumah guru dan tidak melihat tumpukan buku, tidak ada perpustakaan pribadi, apa yang ada di pikiran mereka? Bisakah siswa akan hormat kepada guru yang sudah mandek belajar?

Guru harus belajar terus untuk berinovasi, menemukan solusi baru terhadap masalah yang dihadapi, dan seterusnya. Guru yang kuliah lagi bukan sekadar mencari ijazah untuk persyaratan naik pangkat atau mendapat tunjangan. Itu semua adalah bagian dari jiwa pembelajar yang ada pada dirinya. 

Jadi keterampilan 4 C seperti communication, critical thinking, collaboration, creativity juga diperankan oleh guru dalam kegiatan sehari-hari. Guru bukan tujuan, tapi awal untuk mengabdi dan belajar terus hingga liang kubur. 

Tentu sudah banyak guru, baik zaman kuno atau zaman now yang hebat-hebat. Saya  sebagai murid maupun orangtua  siswa  selalu ingat jasa-jasamu.

Sekian dulu dari saya, Rihad Wiranto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun