Mohon tunggu...
Rigen Susanto
Rigen Susanto Mohon Tunggu... Lainnya - Kepala Sekolah

Kepala Sekolah Dasar Negeri 1 Kulurejo Korwilcam Bidik Nguntoronadi

Selanjutnya

Tutup

Diary

Fenomena Mistis dibalik Makna Toponimi Daerah Kulurejo

6 Januari 2024   10:46 Diperbarui: 6 Januari 2024   11:10 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       Asal usul nama tempat, juga dikenal sebagai toponimi, adalah subjek menarik yang menawarkan wawasan tentang sejarah, budaya, dan geografi suatu wilayah. Baik itu nama kota, kota kecil, sungai, gunung, atau fitur geografis lainnya. Setiap toponim membawa cerita unik yang mencerminkan warisan dan identitas daerah tersebut. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi beragam faktor yang berkontribusi terhadap penamaan tempat, mempelajari pengaruh sejarah, bahasa, dan budaya yang membentuk lanskap toponim di suatu daerah tertentu.

Sudut Pandang Sejarah

       Asal usul sejarah nama tempat sering kali mengungkap penduduk awal, pemukim, atau penakluk suatu wilayah. Banyak tempat mempunyai nama yang diambil dari bahasa asli, sebagai penghormatan kepada penduduk asli dan cara hidup mereka. Misalnya, nama "Mississippi" berasal dari kata Ojibwe "misi-ziibi", yang berarti "sungai besar". Nama-nama tersebut merupakan bukti warisan budaya asli yang abadi. Sebaliknya, nama-nama kota besar dan kecil mencerminkan pengaruh kekuatan kolonial dan penjelajah. Misalnya, kota "New York" dinamai oleh Inggris untuk menghormati Duke of York. Demikian pula, "Los Angeles" berasal dari penjajahan Spanyol dan berarti "Malaikat" dalam bahasa Spanyol. Nama-nama ini menjadi saksi rumitnya sejarah manusia dan interaksi berbagai peradaban.

Pengaruh Linguistik dan Budaya

       Etimologi nama tempat sering kali memberikan wawasan tentang bahasa dan budaya yang membentuk suatu wilayah. Akar linguistik dapat ditelusuri melalui toponim, yang mengungkap migrasi, interaksi, dan asimilasi kelompok linguistik yang beragam. Misalnya, prevalensi "ton" dalam nama tempat dalam bahasa Inggris, seperti "Washington" atau "Southampton", mencerminkan kata Inggris Kuno untuk "town". Selain itu, keyakinan budaya dan agama juga memengaruhi nama tempat. Di India, banyak kota yang diberi nama berdasarkan nama dewa, orang suci, atau tokoh sejarah yang dipuja dalam tradisi Hindu, Muslim, atau Sikh, yang mencerminkan tatanan keagamaan di negara tersebut. Demikian pula di Eropa, prevalensi "Saint" dalam toponim seperti "Saint Petersburg" atau "San Francisco" menandakan pengaruh warisan Kristen.

Pertimbangan Kekinian

       Di era modern, pemberian nama suatu tempat terus menjadi proses yang dinamis dan terus berkembang. Perkembangan baru, urbanisasi, dan perubahan politik sering kali mengarah pada penggantian nama kota dan jalan untuk mencerminkan nilai-nilai kontemporer atau memperingati peristiwa penting. Hal ini terlihat dari penggantian nama jalan-jalan di Afrika Selatan setelah berakhirnya apartheid, serta penggantian nama kota-kota di negara-negara pasca-Soviet untuk menghilangkan warisan komunis mereka. Selain itu, dampak globalisasi dan pariwisata telah menyebabkan komodifikasi (proses transformasi nilai) nama tempat, dengan branding dan pemasaran berperan dalam membentuk persepsi terhadap suatu lokasi.

Mengapa dinamakan Kulurejo

        Suatu waktu ada seorang bangsawan sedang berjalan dengan mengembara tidak tentu arah, dan tibalah pejalan kaki itu mendekati rumah kecil di wilayah Kulur.  Ki Kulur atau Eyang Kulur, begitu orang biasa memanggilnya, memberikan sambutan yang hangat. Namun, pengembara tersebut dia tidak beristirahat lama. Setelah mengamati dan melihat situasi di sekitar kulur, pengembara tersebut berujar bahwa suatu saat nanti wilayah ini akan menjadi Rejo Toto. Maka pengembara tersebut dengan persetujuan Ki Kulur memberi nama daerah tersebut Kulurejo.

       Suatu hari, Ki Kulur bertemu dengan seorang Wali dan melihat bahwa Wali tersebut sedang berusaha membendung sungai kecil yang mengalir ke utara Kulur hingga ke daerah Semin. Aliran sungai akan dialihkan membelok ke  barat daya dari pemukiman Tempursari saat ini dan melewati pemukiman kecil di kawasan Bulurejo, khususnya pemukiman Duren. Namun Eyang Kulur mengingatkannya untuk tidak mengalihkan aliran sungai tersebut. Apa yang akan dimakan anak cucu saya nanti jika daerah ini tidak dilalui aliran sungai dan bagaimana dengan persediaan air untuk anak cucu saya nanti? Namun, terjadi perdebatan yang sengit dan tidak ada yang menyerah, sehingga perkelahian pun tidak bisa dihindarkan.

       Dalam situasi yang sangat genting, mereka berdua mengadakan sayembara dengan ketentuan yang menang tetap harus merasa menang, dan mereka yang kalah harus mengakui kekalahan. Pada saat itu terjadi perkelahian di sungai yang cukup dalam sampai wilayah namanya Kedung Sambeng. Namun  ternyata kekuatan Wali tersebut tidak terlalu kuat, makanya ia berkali-kali diangkat dan dilempar ke dalam sungai hingga ia terengah-engah. Wali itu pun mengaku kalah. Akibat kekalahannya, sungai tersebut tidak jadi dialihkan dan tetap mengalir seperti semula. Namun Wali itu mengeluarkan sumpah serapahnya dengan logat Jawa. "..Kanthi aku mbok lelep-lelepke kedung nganti megap-megap, mula anak putumu besok yen setengah umur akeh-akehe padha megap-megap kaya aku iki. Wis kaya ngono ngomongku" (karena aku kamu masukkan ke sungai sampai kehabisan nafas, besok anak keturunan kamu, setengah umurnya, kebanyakan akan mengalami penyakit nafas seperti aku).

       Setelah berlalu dari kejadian tersebut, suatu hari Eyang Kulur datang ke sebelah selatan Dusun Glotho Desa Bulurejo tepatnya di suatu tempat namanya Kedung Rong untuk mencari ikan. Beliau begitu bersemangat melihat begitu banyak ikan di sana sehingga dia pun masuk ke dalam lorong Panjang biasa disebut "rong". Tanpa terasa waktu di dalam Rong samnpai 40 hari lamanya. Eyang Kulur hanya mengikuti keinginan hatinya dan terus berjalan ke arah yang tidak diketahui, sekira dua kilometer semakin masuk ke lorong panjang tersebut sampai mencapai titik suatu lokasi, tepatnya kawasan Beji di Kecamatan Nguntronadi, sebelah tenggara Dusun Gubugan.

       Kesadaran Eyang Kulur mulai timbul saat mengetahui ada sinar matahari di ujung depan sana, jadi dia terus mengikuti sumber cahaya itu. Dengan mengikuti cahaya itu akhirnya Eyang Kulur berhasil kabur dari "rong" tersebut. Lalu dia menoleh ke kanan dan kiri, depan dan belakang, dan ternyata melihat seekor "Ayam Alas" (ayam hutan). Ternyata cahaya matahari tadi akibat bekas Ayam Alas mencari makan dengan menggunakan kakinya. Kalau istilah jawa ayam cakar -- cakar , maka lama kelamaan semakin dalam sehingga bisa untuk jalan Eyang Kulur keluar dari rong tersebut. Berkat jasa Ayam Alas tadi Eyang Kulur mengeluarkan wewalu (sumpah) dengan Bahasa Jawa "..Anak Putuku kabeh wae, nganti dun turunke ke pitu, ora keno mangan iwak Ayam Alas! Sopo kang nglanggar keno resikone.." (semua cucuku sampai generasi ke-7 tidak boleh makan daging Ayam Hutan! Siapapun yang melanggar ini bakal terkena resikonya).

       Demikianlah sedikit wawasan pengetahuan tentang toponimi wilayah Kulurejo dilihat dari sudut pandang legenda. Kita tidak bisa lepas dari sejarah di masa lampau dan semoga kita diberi kekuatan untuk terus berpikir bahwa kita tidak bisa berbuat apa-apa tanpa sumbang sih dari para pendahulu kita. (rig's)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun