Mohon tunggu...
Money

Yuuk, Mengenal Ba’iul Ma’dum,,

27 Juni 2015   00:40 Diperbarui: 27 Juni 2015   00:54 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jual beli ma’dum adalah jual beli yang tidak ada barangnya yang mana itu termasuk dalam jual beli gharar. Seperti contoh bahwa jual beli ma’dhum seperti jual beli buah yang belum berbuah kemudian jual beli untuk beberapa tahun kedepan, maksudnya jual beli berupa hasil perkebunan untuk beberapa tahun kedepan yang mana kita masih belum tahu bagaimana hasil panen tahun depan dan tahun depannya lagi apakah berhasil seperti panen pertama atau tidak. Jika panen tahun berikutnya tidak berhasil maka sama saja dengan jual beli yang tidak ada barangnya. Contoh-contoh lain jual beli yang tidak ada barangnya yaitu Jual beli mutiara yang masih dalam rumah kerangnya, jual beli bulu domba (wol) yang masih berada pada kambingnya, dan jual beli kitab sebelum mencetaknya.

Semua jenis jual beli tersebut adalah batal menurut Syafi’iyah dan Hanabilah; karena pada akad-akad tersebut terkandung unsur ketidak jelasan. Menurut Hanafiyah kecuali Abu Yusuf: Jual beli mutiara yang masih dalam rumah kerangnya dan jual beli bulu domba (wol) yang masih berada pada kambingnya adalah fasid (rusak). Taimiyah (Hambali) dan Ibnu Qayim memperbolehkan jual beli ma’dum, apabila dapat dipastikan akan ada, karena tidak disebutkan dalam nash jual beli seperti itu dilarang, yang ada hanya jual beli gharar. “Tidak ada sebab yang melarang jual beli yang tidak ada wujudnya/barangnya”

Terdapat hadist yang melarang jual beli barang yang tidak ada yang diqiyaskan dengan jual beli gharar yaitu hadist sebagai berikut:

حديث أبي هريرة : "نهى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم عن بيع الحصاة، وعن بيع الغرر

"Rasulullah SAW melarang jual beli hashah dan jual beli gharar

عن جابر رصي الله عنه "أن النبي صلّى الله عليه وسلّم نهى عن المعاومة" وفي بعضها "عن بيع السنين". وفي رواية لمسلم : "وبيع ثمر سنين".

Rasulullah SAW melarang jual beli Mu’awamah. Bagian dari jual beli mu’awah itu adalah ba’i as-sinin. Dan menurut riwayat muslim: dan jual beli buah secara tahunan.

Kemudian ijma’ dari para ulama juga menyebutkan bahwa jual beli ma’dum itu akadnya rusak begitu pula dengan jual beli yang mana buahnya belum masak atau yang belum bisa dipetik, lalu ada juga jual beli dengan cara tebasan. Dan sebab-sebab dilarangnya jual beli ma’dum adalah karena jual beli tersebut tidak diketahui dan juga tidak ada tujuan transkasinya dikarenakan ketiadaan barang. Pada zaman sekarang jual beli ma’dum tidak hanya berupa jual beli hasil perkebunan saja melainkan sudah meluas. DSN MUI juga mengharamkan forward transaction, future tranding dan bursa komoditi dikarenakan berdasarkan hadist nabi:

لا تبع ما ليس عندك (رواه الخمسة عن حكيم بن حزام(

Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu (HR khamsah dari Hakim bin Nizam)”.

Salah satu contohnya adalah jual beli Black market. Black market (pasar gelap) ialah sektor kegiatan ekonomi yang melibatkan transaksi ekonomi ilegal, khususnya pembelian dan penjualan barang dagangan secara tak sah. Barang-barangnya sendiri bisa ilegal, seperti penjualan senjata atau obat-obatan terlarang; barang dagangan hasil curian; atau barang dagangan yang dijual secara gelap untuk menghindari pembayaran pajak atau syarat lisensi, seperti elektronik atau senjata api tak terdaftar, dan lain-lain.

Sumber dari pasar gelap adalah adanya larangan atau pembatasan barang-barang tertentu oleh pemerintah sehingga terjadi penyelundupan. Larangan atau pembatasan pemerintah bisa bermacam-macam cara. Larangan berarti berurusan dengan hukum pidana (narkoba, bahan peledak, senjata dan lain-lain). Sedangkan pembatasan bisa berbentuk pajak yang tinggi (elektronik, rokok, kendaraan dan lain-lain), syarat-syarat yang ketat (maksudnya demi kepentingan kemaslahatan rakyat: kayu)

Sebagai akibat bertambahnya pembatasan pemerintah, harga pasar gelap untuk produksi yang bersangkutan akan bertambah, seperti yang dikatakan pembatasan mewakili berkurangnya penawaran (supply) dan bertambahnya kemungkinan rugi pada bagian penawar, penjual, dan seluruh makelar. Menurut teori penawaran dan permintaan, kekurangan penawaran membuat produk lebih langka akan menaikkan harga.

Barang yang diperoleh secara ilegal bisa mendapat 1 atau 2 tingkat harga. Mungkin akan lebih murah daripada harga pasar (resmi) karena penawar tidak menetapkan harga normal disebabkan tidak dikenakannya pajak. Kemungkinan lain, produk yang dipasok ilegal bisa lebih mahal daripada harga normal, karena produk yang dibicarakan sulit didapat (langka) dan mungkin tak tersedia resmi seperti narkoba.

Black market adalah efek langsung dari undang-undang atau peraturan pemerintah dalam pembatasan dan pelarangan terhadap barang-barang tertentu dengan tujuan untuk kepentingan dan kemaslahatan negara. Di samping barang-barang Black market yang masuk menghindari dari ketentuan kena pajak beacukai, juga ada kemungkinan barang-barang yang masuk termasuk kategori barang-barang terlarang dan membahayakan. 

Ditemukan beberapa hadits Nabi yang menjelaskan transaksi jual beli yang masuk dalam kategori dilarang untuk dipraktekan. Beberapa transaksi jual beli yang dilarang dalam Islam di antaranya adalah: ba’i al-gharar (jual-beli yang mengandung unsur ketidakjelasan, ba’i al-ma’dum (transaksi jual-beli yang objek barangnya tidak ada), ba’i najasy (jual-beli yang ada unsur penipuan dengan menciptakan rekayasa permintaan palsu), talaqqi rukban (transaksi jual-beli yang menciptakan tidak lengkapnya informasi di pasar karena penjualnya dihadang di tengah jalan), transaksi jual-beli pada objek yang diharamkan.

Praktek jual beli Black market dilarang karena, pertama: transaksi Black market merupakan bentuk transaksi yang ilegal karena barang Black market adalah barang yang statusnya tidak diakui di pasar. Barang-barang diselundupkan agar tidak kena bea-cukai. Kedua: transaksi Black market akan mengganggu keseimbangan pasar karena harganya lebih murah dari barang yang legal.

Rasulullah SAW melarang bentuk transaksi yang berakibat pada terganggunya mekanisme pasar. Dari sisi penawaran (supply) kondisi harga pasar akan terganggu. Hal ini sama dengan model transaksi talaqqi rukban yang dilarang oleh Rasulullah SAW karena efeknya sama-sama mempengaruhi mekanisme pasar. Ketiga: ajaran Islam memberikan panduan bagi umatnya untuk menggunakan barang dan produk yang halal. Produk Black market tidak jelas (gharar) asal-usulnya. Bisa jadi, produk Black market berasal dari praktek yang dilarang dalam Islam, seperti hasil pencurian. 

Selain jual beli Black market ada juga jual beli yang berupa pesanan atau ba’i as-salam. Syariah Islam yang luas menawarkan solusi menarik, yaitu model jual-beli salam atau salaf. Dengan jual-beli model ini, penjual harus jujur kepada calon pembeli bahwa barang yang dia inginkan tidak ada, namun penjual boleh memberi tawaran bebas kepada calon pembeli apakah dia mau memesan barang tersebut kepadanya sehingga penjual itu dapat menyerahkan barang tersebut pada masa yang akan datang. Kalau pembeli menolak maka urusannya selesai, tapi jika dia menerima maka dilakukan jual-beli salam (pemesanan dengan bayaran di depan).

Secara istilah, akad salam memiliki pengertian “penyerahan kompensasi atau harga pada masa sekarang demi mendapatkan suatu barang dengan sifat tertentu dalam jaminan (bahwa barang itu akan diserahkan) pada waktu/tempo yang telah ditentukan”. Atau suatu “bentuk jual beli yang mengharuskan penjual mendapatkan harga di depan sedangkan pembeli mendapatkan barang pada selang waktu kemudian”. Jadi salam merupakan jual-beli barang yang belum ada, dan ini merupakan pengecualian dari larangan menjual sesuatu yang belum ada. Penjual dalam transaksi salam disebut al muslam ilaih, pembeli disebut robbus salam, alat pembelian disebut ra’sul mal dan barang yang dipesan disebut al muslam fih. Kebolehan hukum jual-beli salam dalam syariat Islam disepakati oleh para ulama berdasarkan banyak dalil, antara lain sabda Rasulullah saw:

مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍمَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

“barang siapa  memesan sesuatu maka hendaklah dalam takaran tertentu, timbangan tertentu dan sampai batas waktu yang ditentukan” (H.R. Al Bukhori)

Pakar masalah khilafiyah, Ibnu Mundzir, menyatakan, “para ahli ilmu yang kami hafal telah sepakat bahwa salam itu boleh”.

Terdapat beberapa ketentuan dalam pembahasan hukum jual-beli salam ini:

  1. Barang yang menjadi objek salam(al-muslam fih) harus:
  2. Merupakan suatu yang belum ada hanya dideskripsikan sifat-sifatnya lalu dijanjikan/dijamin untuk diadakan pada masa yang akan datang seperti 10 ton beras thailan kualitas super, bukan barang tertentu (‘ain mu’ayyanah) yang telah ada wujudnya sepe­­rti sapi nomor 10 milik Zaid namun belum dimiliki penjual.
  3. Merupakan barang yang dijual dengan ditakar (seperti minyak), ditimbang (seperti beras), ataupun dihitung jumlah unitnya dimana masing-masing unit memiliki sifat yang relatif sama antara satu dengan yang lain (seperti buku tertentu), maka ulama Hanafiyah mengatakan bahwa rumah tidak bisa menjadi muslam fih,karena kondisi tiap-tiap rumah berbeda-beda dan harganya tidak ditentukan dengan timbangan, takaran ataupun dihitung per satuan
  4. Jumlah, berat atau takarannya harus jelas disebutkan saat transaksi
  5. Jenis dan sifat barang dideskripsikan secara spesifik, terutama karakter-karakter yang mempengaruhi harganya, seperti beras rojo lele kualitas nomor satu atau salak pondoh yang berukuran besar;
  6. Diduga kuat bisa didapatkan oleh penjual pada waktu yang disepakati.
  7. Harga yang dibayarkan (ra’sul mal) disyaratkan harus :
  8. Ditentukan jenis, sifat dan besarnya pada saat transaksi, apabila dengan mata uang tertentu maka cukup disebutkan jumlahnya
  9. Dibayar kontan saat transaksi, jika harga yang diserahkan hanya sebagian saja maka transaksi salam berlaku untuk sebagian yang dibayarkan saja.
  10. Ra’sul mal bukan berupa barang yang bisa terjadi riba nasi’ahjika ditransaksikan dengan al-muslam fih, dengan kata lain, keduanya bukan barang yang jika ditransaksikan satu sama lain diharuskan serahterima secara langsung. Maka dari itu tidak boleh memesan emas sedangkan alat pembeliannya berupa perak, karena jual beli emas dengan perak harus langsung diserah terimakan ditempat, sehingga jual-beli salam tidak mungkin dilakukan
  11. Harga harus wajar, tidak boleh ada ghobn fahisy (penentuan harga yang terlalu mahal). Jika terjadi ghobn fahisy, maka pembeli boleh memilih untuk meneruskan atau membatalkan akad, namun dia tidak boleh meminta kembali selisih nilai antara harga yang disepakati dengan harga wajar.
  12. Harus ada selang waktu antara saat terjadinya akad salam dengan waktu penyerahan barang. Tanpa selang waktu, maka transaksi tidak layak disebut salamsehingga salam tidak sah.
  13. Waktu penyerahan barang harus ditetapkan secara jelas sebelum berpisah, apabila waktu penyerahannya tidak ditentukan maka transaksi salamtidak sah. Ini merupakan perkara yang disepakati.  Jika sampai waktu yang ditentukan ternyata penjual tidak berhasil mendapatkan barangnya, maka pembeli boleh memilih untuk memperpanjang tempo atau membatalkan akad. Jika memilih pembatalan maka pembeli hanya berhak mengambil harga yang telah dia bayarkan, tidak boleh mengambil denda karena akan terjadi riba dan tidak boleh minta diganti dengan barang lain karena hal itu membutuhkan akad yang terpisah. Jika barang yang didapatkan tidak sesuai dengan kriteria yang dideskripsikan maka transaksi batal. Jika barang yang berhasil didapatkan penjual masih kurang dari jumlah yang disepakati maka pembeli berhak membatalkan akad secara keseluruhan atau pun menerima barang yang ada seraya membatalkan transaksi bagi barang yang belum ada. Jika ada cacat pada barang yang diserahkan maka pembeli boleh memilih untuk meminta ganti atau menerima barang tersebut.

Kemudian selain contoh-contoh di atas ada juga contoh lain seperti jual beli valas atau forex. Jual beli valas merupakan aspek muamalah yang asal hukumya adalah boleh. Prinsip umum dalam jual beli valas disetarakan dengan jual beli emas (dinar) dan perak (dirham) sebagaimana yang berlaku pada masa Rasulullah. Jual beli mata uang haruslah dilakukan dengan tunai/kontan (naqdan) agar terhindar dari transaksi ribawi (riba fadhl). 

Hal ini sebagaimana dijelaskan hadis Rasulullah mengenai jual beli enam komoditi barang yang dikategorikan berpotensi ribawi. Sabda Rasulullah saw:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, barli dengan barli, sya’ir dengan sya’ir (jenis gandum), kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, dalam hal sejenis dan sama haruslah secara kontan (yadan biyadin/naqdan). Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sekehendak kalian dengan syarat secara kontan” (HR. Muslim).

Kebolehan tersebut berlaku selama tidak melanggar prinsip-prinsip atau syarat yang telah dtentukan dan juga menurut fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Kegiatan Transaksi Jual-Beli Valas, seperti:

  • Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
  • Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
  • Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya harus sama dan secara tunai (attaqabudh).
  • Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

Jika pada praktik jual beli valas ditemukan hal-hal yang melanggar prinsip itu, dengan sendirinya jual beli tersebut menjadi terlarang. Karena Islam tidak menghendaki adanya unsur judi dan adanya salah satu pihak yang dirugikan dalam proses muamalah, apa pun bentuknya.

Adapun ketentuan mengenai hukum jenis-jenis transaksi valas, dijelaskan dalam fatwa tersebut sebagai berikut: Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.

Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari. Padahal, harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).

Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valas pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir. 

Begitu banyak contoh-contoh dari jual beli ma’dum pada masa sekarang ini sehingga kita kadang kalanya secara tidak sengaja dan tidak langsung berhubungan atau bahkan melakukan transaksi jual beli yang dilarang seperti jual beli ma’dum, jual beli gharar dan lain-lain. Oleh karena itu kita harus bisa memilah-milah transaksi mana yang akan kita lakukan, sehingga kita dapat terhindar dari transaksi-transaksi yang tidak diperbolehkan oleh syariah Islam. Kita juga harus mempelajari hukum-hukum dari transaksi yang dilarang oleh syariat Islam.

Dalam jual beli harus ada serah terima antara peenjual dan pembeli kemudian antarodlin minkum seperti terdapat dalam ayat Al-Qur’an berikut:

ﻴٰﺎ َﻴُّﻬَﺎﺍﻠّﺬِﻴْﻦَ ﺍٰﻤَﻨُﻭﺍ ﻻَﺘﺄﻜُﻠﻭﺍ ﺍَﻤْﻮَﺍﻠَﻜُﻢْ ﺒَﻴْﻨَﻜُﻢ ﺒِﺎ ﻠْﺒَﺎﻄِﻞِ ﺍِﻻﱠ ﺃﻦْ ﺘَﻜُﻮﻦَ ﺘِﺠَﺎﺮَﺓً ﻋَﻦْ ﺘَﺮَﺍﺾٍ ﻤِّﻧْﻜﻢْ ﻮَﻻَﺘَﻘﺘﻠﻮﺍ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢۚ ﺇﻦﺍﷲ ﻜﺎﻦﺑﻜﻢ ﺮﺤﻴﻤﺎ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta kamu di antara kamu dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang berdasarkan kerelaan di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang Kepadamu.”

Jadi tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan. Jika transaksi jual beli yang mana barangnya belum ada maka pihak pembeli akan merasa ditipu, tapi dengan perkembangan zaman sekarang ada jual beli seperti itu yang diperbolehkan seperti contoh di atas yaitu jual beli as-salam yang mana jual beli salam merupakan jual-beli barang yang belum ada, dan ini merupakan pengecualian dari larangan menjual sesuatu yang belum ada dikarenakan terdapat dalil dalam Al-Qur’an yang memperbolehkan jual beli salam yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah  tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282)

Adapun dalil ijma’ (kesepakatan para ulama) sebagaimana dinukil oleh Ibnul Mundzir. Beliau -rahimahullah- mengatakan,

أجمع كلّ من نحفظ عنه من أهل العلم على أنّ السّلم جائز

Setiap ulama yang kami mengetahui perkataannya telah bersepakat (berijma’) tentang bolehnya jual beli salam.”

Jual beli salam dibolehkan berdasarkan kaedah syariat yang telah disepakati. Jual beli semacam ini tidaklah menyelisihi qiyas. Sebagaimana dibolehkan bagi kita untuk melakukan pembayaran tertunda, begitu pula dibolehkan barangnya yang diserahkan tertunda seperti yang ditemukan dalam akad salam, dengan syarat tanpa ada perselisihan antara penjual dan pembeli.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al Baqarah: 282). Utang termasuk pembayaran tertunda dari harta yang dijaminkan. Maka selama barang yang dijual disebutkan ciri-cirinya yang jelas dan dijaminkan oleh penjual, begitu pula pembeli sudah percaya sehingga pembeli pun rela menyerahkan uang sepenuhnya kepada penjual, namun barangnya tertunda, maka ketika itu barang tersebut boleh diserahkan tertunda.

 

*Ditulis Oleh: Rifqy Tazkiyyaturrohmah (Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun