Tahun ini, topik mengenai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menuai banyak kritik di masyarakat. Mulai dari politisi, organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah dan NU sampai masyarakat biasa sudah memberikan kritik tehrhadap penyelenggaraan Pilkada ini. Hal ini terjadi dikarenakan saat ini di Indonesia bahkan di seluruh dunia tengah menghadapi pandemi Covid-19 yang mana salah satu cara untuk menghindari penularan Covid-19 ini masyarakat harus menjaga jarak dan dilarang untuk membuat kerumunan. Tentu saja hal itu bertentangan dengan saat terjadinya pilkada yang mana pasti terjadi kerumunan orang, belum lagi kampanye yang dilakukan oleh para calon kepala daerah.
Sebagai contoh, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Medan, Sumatera Utara mengatakan bahwa kubu pasangan calon Pilkada kota Medan Bobby Nasution -- Aulia Rachman telah beberapa kali melakukan  pelanggaran protokol kesehatan, begitu juga dengan lawannya Akhyar Nasution -- Salman Alfarisi. Pelanggaran yang dilakukan berupa jumlah orang yang melebihi jumlah ruangan saat melakukan kampanye, tidak menjaga jarak dan tidak memakai masker. Kalau kita lihat, ini hanya di satu kota, belum lagi para pasangan calon di daerah-daerah lainnya.
Alasan Pilkada Tetap Dilanjutkan
Ikrama Masloman, seorang peneliti dari dari LSI Denny JA menemukan setidaknya ada tujuh alasan mengapa sebaiknya Pilkada 2020 tidak ditunda.
Pertama, alasan legitimasi. Apabila Pilkada ditunda, setidaknya ada 270 daerah di Indonesia yang akan dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt). legitimasi Plt ini tentunya berbeda dengan kepala daerah yang Dipilih rakyat. Kewenangannya pun terbatas.
Kedua, alasan proporsi. Saat ini dari total 270 daerah yang menggelar pilkada hanya ada 16,3 persen yang masuk zona merah. Karena itu, tidak tepat jika harus pula membatalkan 83,7 persen wilayah lain.
Ketiga, soal kepastian hukum dan politik. Karena apabila Pilkada kembali ditunda dan menunggu vaksin dapat digunakan oleh masyarakat sampai saat ini masih belum ada kepastian. Para ahli pun tidak bisa memastikan kapan vaksin yang disahkah WHO dapat digunakan masyarakat.
Keempat, mengenai alasan pilihan kebijakan. Menurut Ikrama, dalam setiap situasi sulit atau krisis setiap pemimpin punya pilihan kebijakan yang tidak mudah namun tetap harus diambil dengan mempertimbangkan semua aspek. Presiden Jokowi sudah menyatakan sikapnya berkali-kali bahwa mereka memilih kebijakan untuk tetap melanjutkan pilkada sesuai jadwal yaitu 9 Desember 2020.
Kelima, alasan kesehatan. Ikrama mengatakan bahwa hanya 16,3 persen dari 270 wilayah Pilkada yang termasuk zona merah. Karena itu, di zona merah, Pilkada dapat diberikan aturan khusus. Misalnya tidak boleh membuat publik berkumpul lebih dari 5 orang. Sementara di wilayah lainnya tidak boleh publik berkumpul di atas 50 orang. Di sisi lain, protokol kesehatan juga tetap harus dijaga. Termasuk calon yang tidak mematuhi dapat dikenakan sanksi bertingkat hingga diskualifikasi.
Keenam, alasan ekonomi. Apabila Pilkada dilaksanakan, Ikrama berpendapat bahwa hal ini bisa menjadi penggerak ekonomi lokal.
Ketujuh, alasan modifikasi bentuk kampanye. Menurutnya, banyak referensi yang bisa ditiru dari pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi dari berbagai negara.
Terakhir, Menteri dalam negeri (Mendagri) Tito Karnavian juga mengatakan bahwa alasan Pilkada tetap dilanjutkan ditengah pandemi Covid-19. Dia mengatakan "Tahun 2021 juga tidak akan menjamin pandemic akan selesai, maka kita mengambil skenario optimis dengan mengambil opsi menunda dari September 2020 ke Desember 2020, jadi kita sudah menunda Pilkada sesuai Undang-undang" ujarnya.
Realitas Kebiasaan Politisi Indonesia Menjelang Pilkada
Hal yang umum menjelang Pilkada di Indonesia biasanya para calon atau pendukungnya ramai-ramai memasang baliho dan poster-poster pasangan calon yang bisa kita lihat bertebaran di pinggir jalan. Tidak sedikit pula kalau sudah mendekati Pilkada, para calon biasanya akan sangat rajin berkunjung ke kampung-kampung dan pasar-pasar untuk memberikan sembako dengan harapan agar mendapatkan suara dari masyarakat. Tentunya hal di atas apabila dilakukan pada saat menjelang Pilkada 2020 nanti akan menjadi sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kerumunan dan dari kerumunan itu bisa menambah kasus Covid-19 yang baru.
Untungnya KPU telah resmi mengeluarkan perubahan kedua atas peraturan KPU yang melarang adanya kegiatan kampanye konvensional dalam Pilkada 2020 nanti. LaranganLarangan ini diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) No. 13 Tahun 2020 tentang perubahan kedua atas PKPU No. 6 Tahun 2020 tentang pelaksanaan serentak lanjutan dalam kondisi bencana Non-alam Covid 19.
Menjadi Dilema
Pilkada tahun ini memang menjadi sebuah dilema bagi negara, bagaimana tidak? Menurut ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, mengatakan bahwa "di satu sisi, negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak konstitusional bagi warga negara dalam berdemokrasi. Di sisi lain, negara juga dihadapkan dengan kondisi untuk melakukan protokol kesehatan, guna untuk tidak semakin meluasnya pandemi Covid-19 di masyarakat" ujarnya. Memang ini menjadi pilihan yang sulit bagi negara antara melindungi kesehatan atau memenuhi hak hak konstitusional warga negara dalam berdemokrasi. Tetapi seharusnya yang lebih diutamakan sebaiknya menjaga kesehatan rakyat dahulu sebab tanpa adanya rakyat tidak ada namanya demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H