Fakta tersebut, tak bisa dipungkiri terjadi dibanyak universitas umum yang ada di Indonesia. Ketakutan yang kerap kali muncul adalah bukan pada persoalan ada atau tidaknya Pendidikan agama di dalam kampus. Melainkan dari itu, ketika yang terjadi adalah upaya yang tersistematis dan terstruktur justru melahirkan ancaman dalam kehidupan bernegara, berbangsa maupun beragama. Frasa yang mewakili pada persoalan tersebut berupa kemunculan gerakan radikalisme, ekstremisme maupun fundamentalisme di dalam kampus. Sikap yang terjadi seperti diantaranya adalah anti NKRI hingga penolakan terhadap kehadiran Pancasila. Sedangkan hal itu tentunya tidak sesuai dengan dasar-dasar pemahaman ajaran islam Ahlusunnah Wal Jama’ah yang bercirikan tawasuth wal i’tidal (tengan-tengah dan lurus), tasamuh (toleran), tawazun (keseimbangan), dan sebisa mungkin mempelopori perkembangan masyarakat, dan kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Paham radikalisme tersebut seakan tidak menerima apapun bentuk perbedaan yang ada, hingga pada perbedaan pemahaman pemikiran. Ini menjadi permasalahan yang berlarut-larut tak kunjung usai yang hadir diberbagai negara-negara muslim ataupun negara bagian barat. Seoraang filsuf jerman, Friedrich Nietzsche pernah mengutip kegelisahaannya dalam sebuah tulisan yang seakan hamper sama dengan realita saat ini, ia berpendapat bahwa dimana manusia mulai berlagak seperti tuhan yang memiliki kebenaran mutlaknya. Sedangkan menurutnya, perlu secara jernih melihat kebenaran. Dan bagi Gus Dur, tantangan besar “negara bangsa” di negara-negara muslim ialah transformasi nasional. Terlebih dalam beberapa aspek persoalan, banyak negara yang sedang menghadapi ekspresi komunalisme yang kian membesar serta upaya untuk memelihara integrase nasional yang mana baru bisa dicapai stelah perjuangan yang panjang, pahit dan penuh dengan kesulitan. Varian respon pemerintah hadir dalam beberapa macam; rekayasa sosio-politik yang teknokratis, konsolidasi ideologi nasional, serta penekanan pada aspek politik.
Dau aspek yang diketengahkan oleh Gus Dur dari transformasi nasional tersebut masing-masing adalah; pertama, terdapat perubahan pembagian kerja yang lebih jelas antara sektor-sektor masyarakat yang berbeda. Lebih lanjut, Gus Dur menjelaskan bahwasannya perubahan dalam struktur social itu mengandung perubahan fundamental pada hubungan institusional antara negara dan warga negara individual. Kedua, perubahan itu diperlukan dalam hubungan-hubungan social antara tingkatan social yang berbeda. Perubahan-perubahan itu bisa jadi merupakan transformasi yang damai atau bahkan suatu pergolakan yang keras. Nah, kemudian dari pada itu, untuk menghindari kemungkinan situasi lahirnya kekerasan, Gus Dur mewanti-wanti dengan pesan berupa; gerakan-gerakan islam harus mengabdikan diri mereka pada anti-kekerasan sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka.
PMII harus mampu menjadi garda terdepan untuk selalu merealisasikan langkah-langkah tersebut dalam kehidupan kampus , demi perdamaian dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H