Mohon tunggu...
rifqi nurhanafi
rifqi nurhanafi Mohon Tunggu... Guru - Konselor Sekolah di SMK Muhammadiyah Weleri

Konselor sekolah di SMK Muhammadiyah 3 weleri yang tertarik dalam dunia penulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemuda dan Era Digital

1 November 2019   17:29 Diperbarui: 1 November 2019   17:41 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Era digital memang menjadi tren positif dalam berbagai hal untuk berinovasi. Bahkan, pekerjaan yang dulunya sangat rumit kini dipermudah oleh teknologi dengan segala kecanggihannya. Akan tetapi, hal itu bukan berarti tanpa kekurangan. Saya kira banyak hal juga yang mesti kita batasi dalam teknologi. Mengingat, teknologi seakan menjadi candu bagi penggunanya. Misalnya, seorang akan merasa kesepian ketika data dalam smartphonenya tidak aktif atau tidak terkoneksi dengan internet melalui wifi.

Jika dulu Handphone (HP) itu seperti barang yang sangat berharga dengan harga selangit. Maka sekarang, dengan ratusan ribu saja, para pembaca sekalian sudah mampu menikmati HP smartphone dengan segala kelebihannya. Mulai dari sekedar browsing, berselancar dimedia sosial hingga memutar lagu, bahkan nonton film.

Pengalaman saya, smartphone ini kadang dalam situasi tertentu menjadi sebuah penyakit yang sangat berbahaya. Pasalnya, ketika kita sedang asyik-asyiknya memakai smartphone dapat membuat kita lupa dengan orang disekitar kita, lupa makan, lupa waktu, bahkan membuat orang kecelakaan.

Sebab tak jarang kita mendengar orang mengalami kecelakaan karena sedang asyik bermain smartphone. Mulai dari tertabrak mobil, jatuh dari motor, hingga terjatuh ke parit. Terbaru, ada seorang gamers yang meninggal karena 24 jam bermain game tanpa henti.

Game Online

Awal tahun 2015 lalu, para remaja dan anak muda diberbagai pelosok sedang dihebohkan dengan game on line Clash of Clans (COC). Game tersebut begitu membuminya, membuat sejumlah warkop di Kota Makassar dipenuhi oleh gamers COC. Ada istilah yang sering saya dengar dari para gamers itu adalah war, war dan war. Pada awalnya saya tidak begitu mengerti arti dari kata itu. Tapi, sejumlah teman menjelaskan bahwa yang dimaksud war adalah berperang melawan kelompok lain dalam game COC tersebut. Saya sedikit tergelitik ketika mendengarnya, sebab hal itu seperti mengajarkan para gamers untuk saling memusuhi.

Setelah era kejayaan COC, muncullah game on line yang lain yakni Pokemon Go. Game yang satu ini pun langsung membumi dan menjadi incaran dan buruan para gamers. Tak telak, meski belum masuk secara resmi di Indonesia, namun sejumlah gamers mendapatkan game Pokemon Go secara ilegal melalui internet.

Seperti halnya COC, Pokemon Go seakan menjadi candu bagi para gamers. Bahkan, dalam memainkan game ini, para gamers biasanya mengalami kejadian lucu, unik, bahkan mengenaskan. Saya sebutkan lucu dan unik karena game tidak memandang siapa pemainnya, sehingga kadang gamers yang bergama islam masuk dalam area gereja.

Dan saya sebut mengenaskan, sebab dalam memainkan game ini, para gamers mesti melakukan banyak gerakan. Termasuk berlari ketempat-tempat tertentu untuk menemukan Pokemon handal. Hal inilah yang kadang membuat para gamers kehilangan kendali, tidak sadar langsung jatuh, hingga mengalami kecelakaan. Dan terbaru adalah Mobile Legend (ML). Game on line ini hampir sama dengan game on line generasi sebelumnya. Membuat candu dan menjadikan para gamers heboh dengan dunianya. Baiknya, akibat dari game ini belum pernah saya dapatkan hingga terjadi kecelakaan dan lain-lain. Entahlah jika saya kurang up to date dengan hal ini.

Terus terang, ketiga game on line tersebut tidak pernah saya mainkan hingga saat ini. Alasannya, cukup sederhana saja yakni tidak produktif. Bayangkan saja, jika memainkan game tersebut dengan waktu yang cukup lama, misalnya satu jam, dua jam, atau bahkan bisa sampai sepuluh jam dalam sehari-semalam.

Jika waktu sedemikian banyak itu digunakan untuk membaca, menulis, berinteraksi dengan tetangga, berdiskusi, olahraga, atau bahkan menanyakan kabar keluarga terutama orang tua bagi para pelancong kehidupan itu akan sangat menyenangkan, bahkan sangat membahagiakan.

Bagi saya, game online ini secara filosofis telah keluar dari esensinya sebagai hiburan. Karena, game ini selain karena menghabiskan waktu yang kurang penting, juga dapat merontokkan kantong untuk membeli kuota. Entahlah, saya kira ini adalah logika pikiran sederhana, dan semua orang berhak mengekspresikan opininya.

Momentum Pemuda

Dengan berbagai fitur dan segala keelokannya, teknologi hadir menjadi jamur yang mewabah dan liar untuk dikendalikan. Apalagi, diera zaman yang disebut milenial attau generasi Z ini dituntut untuk up to date, instan, mode, tren, hingga aktif bermedia sosial. Dengan demikian, pemuda saat ini mesti mengikuti zamannya. Sebab lingkungan yang berubah drastis itu mesti ditanggapi dengan bijak dengan berpikir dan merasakan atas perubahan yang ada. Atau bahkan, kadang kita mesti melakukan sesuatu hal yang tidak biasanya, yakni berpikir dengan hati dan merasakan dengan pikiran.

Olehnya itu, pemuda tak boleh lengah atas capaian teknologi yang dapat berubah begitu cepatnya. Pemuda harus hadir dari sisi yang lain untuk bermanuver atau bahkan melakukan terobosan-terobosan baru dalam melakukan adaptasi dengan perubahan teknologi.

Jika tidak demikian, maka negara dan bangsa ini yang berharap kepada kaum muda untuk mencapai Indonesia Emas tahun 2045 hanya isapan jempol belaka. Butuh kerja keras, kerja nyata dalam menggembleng harkat dan martabat diri kedalam jiwa untuk melakukan tindakan-tindakan kecil yang bisa dipetik dimasa depan.

Sebab pemuda adalah cahaya impian dimasa depan, maka hendaklah mengampil peran dalam berbagai hal. Tidak boleh diam dengan merasa puas atas capaian hari ini, tapi mesti merasakan indahnya masa depan. Bahkan, tidak boleh terninabobokkan oleh kenikmatan hari ini, sebab kadang kesuksesan datang ketika berani keluar dari zona nyaman.

Peran yang lain pun tidaklah kalah menariknya, yakni pendidikan. Untuk mencapai Indonesia Emas 2045 tidak bisa digapai hanya dengan bermodalkan satu atau dua orang saja. Melainkan butuh kerjasama dalam perbedaan dan keberagaman, kemudian memayungi diri dengan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.

Dan ketiga adalah berperan dalam era digital itu sendiri. Jika para pemuda tidak mampu berinovasi dengan melalui teknologi, maka peran yang mesti diambil adalah memanfaatkan teknologi secara bijak dan terarah. Membuat catatan-catatan dimedia sosial yang bermanfaat, hingga mengambil peran dalam melawan hoax. Bahkan, mengambil peran sebagai jurnalis warga melalui media sosial yang bermanfaat untuk orang disekitar akan sangat diapresiasi dibandingkan menjadi pengguna media sosial dengan hanya sekedar up to date. Apalagi sekarang ini ada undang-undang ITE yang dapat menjerat kapan saja bagi yang kurang bijak dan tidak hati-hati.

Mari bersama  untuk mencapai generasi emas 2045 dengan bertindak bukan berteori, bekerja bukan beropini, melakukan hal kecil untuk menemukan hal besar, mengedepankan kejujuran, dan mengagungkan kepercayaan atas diri sendiri dan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun