"Sudah saatnya para Advokat dan seluruh pengurus PERADI mendorong agar PERADI segera bersatu demi wibawa organisasi dan perlindungan Advokat serta mengembalikan marwah Advokat dan Organisasi Advokat di Indonesia."
Oleh: Jhon SE Panggabean, S.H., M.H.
Sebelumnya para Advokat sudah lama menginginkan adanya Undang-Undang Tentang Advokat yang bertujuan agar Advokat dan Organisasi Advokat mengurus sendiri rumah tangganya tanpa adanya intervensi dari Pemerintah. Sehingga Organisasi Advokat yang melaksanakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), Ujian Profesi Advokat (UPA) dan Pengangkatan serta Pengawasan dan Pemberhentian serta hal lainnya yang berkaitan dengan Advokat.
Setelah berlakunya UU No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat (UU Advokat) sejak tanggal 5 April 2003, dimana dalam Pasal 32 ayat 4 menentukan bahwa dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya UU Advokat, Organisasi Advokat telah terbentuk. Sebelum terbentuknya organisasi Advokat sebagaimana ditentukan dalam UU Advokat tersebut, maka Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang terdiri dari 8 (delapan) organisasi selaku pendiri Organisasi Advokat yang dimaksud dalam UU Advokat mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan apa yang ditentukan dalam UU Advokat, termasuk verifikasi untuk menentukan nama dan jumlah Advokat. Hal tersebut sejalan dengan pelaksanaan Pasal 32 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan, "Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktik dan Konsultan yang telah diangkat pada saat undang-undang ini berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Sebagai bagian dari proses verifikasi dibentuklah sistem penomoran keanggotan Advokat dan kepada yang lolos persyaratan verifikasi diberikan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA), dimana sebelum berlakunya UU Advokat KTPA diterbitkan oleh Pengadilan Tinggi. Kemudian pada tanggal 7 April 2005 terbentuklah Organisasi Advokat sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Advokat tersebut, yakni Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Di awal perjalanannya, PERADI mendapatkan respon positif baik dari masyarakat maupun lembaga-lembaga penegak hukum yakni Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian bahkan lembaga Pemerintah. Awalnya selama 1 (satu) dasawarsa dapat dirasakan penghargaan terhadap peranan dan kedudukan serta wibawa Advokat dan Organisasi Advokat. Salah satu bentuk penghargaan dari Lembaga Penegak Hukum saat itu adalah apabila ada pemanggilan dari Penyidik terhadap seorang Advokat baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka, maka Penyidik akan memanggil Advokat tersebut melalui Organisasi PERADI. Penyidik terlebih dahulu menyurati organisasi PERADI baik melalui Dewan Pimpinan Cabang (DPC) ataupun Dewan Pimpinan Nasional (DPN) dengan memberikan resume singkat peristiwa yang menyebabkan Advokat yang bersangkutan dipanggil. Kemudian PERADI akan mengundang Advokat yang bersangkutan untuk konfirmasi tentang pemanggilan oleh penyidik tersebut. Apabila hasil konfirmasi oleh organisasi ternyata pemanggilan adalah berkaitan dengan menjalankan tugas profesi Advokat, maka organisasi PERADI akan menyurati Penyidik dan memberikan rekomendasi bahwa ternyata pemanggilan Penyidik terhadap Advokat tersebut adalah sehubungan dengan menjalankan tugas profesinya. Maka Advokat tersebut tidak layak untuk dijadikan saksi apalagi tersangka dalam rangka menjalankan tugas profesinya, sesuai dan berdasarkan Pasal 16 UU Advokat Jo. Putusan MK nomor 26/PUU-XI/2013 yang menyatakan : "Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan".
Atas rekomendasi PERADI tersebut, maka Penyidik akan menghentikan pemanggilan atau tidak melanjutkan pemeriksaan terhadap Advokat tersebut. Namun sebaliknya apabila peristiwa yang disangkakan tersebut ternyata tidak berkaitan dalam rangka mejalankan tugas profesinya, maka organisasi PERADI akan menghadapkan Advokat tersebut untuk diperiksa dan mempersilahkan Penyidik untuk memprosesnya.
Hal ini adalah merupakan salah satu contoh wibawa Organisasi Advokat yang berkaitan dengan pelaksanaan Hak Imunitas Advokat sesuai dengan UU Advokat, dan proses pemanggilan tersebut juga merupakan implementasi UU Advokat dan pelaksanaan Memorandum of Understanding (MoU) antara Kapolri dengan organisasi Advokat PERADI berkaitan dengan pemanggilan Advokat.
Namun setelah pecahnya PERADI menjadi 3 (tiga), dan berakhirnya MoU antara Kapolri dengan PERADI, maka dalam praktiknya sejak tahun 2016 hingga saat ini, jika ada Advokat yang hendak dipanggil oleh Penyidik baik selaku saksi maupun tersangka atas adanya dugaan tersangkut peristiwa pidana berdasarkan laporan oleh masyarakat atau mantan kliennya maupun sesama Advokat, maka pemanggilan Advokat tersebut secara umum telah langsung ditujukan kepada yang bersangkutan.
Sehingga saat ini tidak ada lagi proteksi awal dari organisasi atau perlindungan organisasi terhadap Advokat berkaitan hak imunitas. Berdasarkan fakta, sudah ada beberapa Advokat yang dipanggil baik selaku saksi ataupun tersangka tanpa melalui atau sepengetahuan organisasi. Belum lama ini telah terjadi ada Advokat yang diproses Penyidik sehubungan dengan laporan sesama Advokat (koleganya) dan perkara tersebut sampai P-21 bahkan disidangkan. Padahal peristiwa yang didakwakan merupakan peristiwa yang berhubungan dengan sesama Advokat dalam menjalankan profesinya, dimana seyogyanya perkara tersebut tidaklah seharusnya diproses secara hukum apabila pemanggilan melalui organisasi. Sekalipun akhirnya atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Advokat tersebut, Majelis hakim menerima keberatan dari Terdakwa/Penasihat hukum dan menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak berwenang mengadili serta membebaskan terdakwa dari penahanan kota, namun hal ini sudah menghabiskan tenaga, waktu, dan biaya yang seyogyanya tidak perlu terjadi.
Bahkan baru-baru ini terjadi, Advokat Sudarmono dijemput tim Intelijen Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya usai mengikuti persidangan. Ternyata penjemputannya adalah untuk melaksanakan vonis Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yakni 3 tahun  6 bulan penjara terhadap Advokat Sudarmono dan rekannya. Perkara ini sehubungan dengan menjalankan tugas profesinya yakni melakukan pengaduan terhadap seorang Notaris kepada Majelis Pengawas Daerah Notaris (MPDN) Gresik sesuai dan berdasarkan Surat Kuasa yang diberikan kliennya. Advokat dan Organisasi Advokat tentu menghargai putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tersebut, namun karena peristiwa tersebut adalah atas pengaduan berdasarkan surat kuasa yang diberikan kepada Advokat, maka putusan tersebut bisa jadi preseden buruk bagi seluruh Advokat yang menjalankan tugasnya. Sehingga terhadap putusan tersebut harus dilakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) dan Organisasi Advokat, terutama dimana Advokat Sudarmono Cs bernaung haruslah memberikan perlindungan hukum secara maksimal terhadap Advokat sebagai kuasa pengadu yang dinyatakan terbukti melakukan pemalsuan sehubungan dengan surat pengaduannya.
Tentang pemanggilan terhadap Advokat, Ketua Umum PERADI SAI Dr.Juniver Girsang, S.H.M.H., juga sudah pernah membicarakan hal ini kepada Kapolri yang sebelumnya. Namun justru timbul pertanyaan, kepada PERADI mana Kapolri membuat perpanjangan MoU tersebut?. Itulah alasannya sehingga MoU tidak diperpanjang lagi. Dengan keadaan pecahnya PERADI dan banyaknya Organisasi Advokat yang hingga saat ini lebih dari 30 (tiga puluh), tentu apabila diterapkan pemanggilan melalui organisasi, Penyidik pastilah kesulitan untuk memanggil seorang Advokat. Kepada PERADI yang mana atau organisasi mana panggilan ditujukan dan Advokat yang bersangkutan bernaung di organisasi mana?. Keadaan ini jelas merupakan salah satu alasan yang sangat urgent agar PERADI harus segera bersatu.
Demikian juga tentang pendidikan dan ujian Advokat tidak memiliki standarisasi mengingat sekitar 30 (tiga puluh) Organisasi Advokat berhak membuat PKPA dan UPA. Hal ini memungkinkan calon Advokat dipermudah kelulusannya karena tanpa kualifikasi/passing grade yang tepat. Dimana tidak ada aturan yang jelas yang berlaku secara umum tentang pelaksanaan PKPA dan ujian yang mengikat semua organisasi Advokat.
Selain itu juga tentang kewenangan memeriksa atau mengadili berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik Advokat. Saat ini organisasi Advokat masing-masing mempunyai Dewan Kehormatan sendiri atau belum adanya Dewan Kehormatan yang berhak mengadili seluruh Advokat atau Dewan Kehormatan bersama. Baru-baru  ini telah terjadi peristiwa dimana Dewan Kehormatan PERADI yang satu memeriksa/mengadili anggota PERADI yang lain, bahkan mengadili yang bukan anggota PERADI atau anggota Organisasi Advokat lainnya. Peristiwa ini menjadi perdebatan di media, di kalangan Advokat yang saling mengadu. Hal ini terjadi karena tidak bersatunya PERADI dan atau Organisasi Advokat tidak mempunyai Dewan Kehormatan bersama.
Begitu juga dalam UU Advokat Pasal 5 ayat 1 pada penjelasannya, menyatakan, "Yang dimaksud dengan "Advokat berstatus sebagai penegak hukum" adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses Peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan". Namun lagi-lagi faktanya, kesetaraan inipun ternyata saat ini jauh dari apa yang kita harapkan. Contoh konkretnya baru-baru ini dalam masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, Advokat tidak dimasukan dalam sektor esensial dalam arti Advokat bekerja dari rumah work from home (WFH). Berbeda dengan penegak hukum lainnya seperti Hakim, Jaksa, Polisi yang masuk dalam sektor esensial bekerja dari kantor (WFO). Saat itu aturan tersebut sangat menyulitkan Advokat, karena di satu sisi Advokat ditentukan bekerja dari rumah, di sisi lain Advokat mendapat panggilan untuk bersidang, bahkan telah terjadi peristiwa ada beberapa kantor Advokat yang tutup paksa. Terhadap aturan tersebut ke 3  tiga ) Ketua Umum PERADI, dan beberapa DPC PERADI sudah menyurati Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Marives) selaku Koordinator Satgas Covid-19 meminta agar Advokat dimasukan dalam sektor esensial. Namun sampai berakhirnya PPKM darurat ternyata Advokat tetap tidak dimasukan dalam sektor esensial. Sekalipun sudah berlalu, namun keadaan ini jelas mendegradasi fungsi dan tugas Advokat. Oleh karenanya, seyogyanya keadaan ini juga mendorong PERADI segera bersatu agar lebih kuat serta diakui keberadaannya.
Rencana penyatuan PERADI sudah lama didengungkan bahkan pada tanggal 25 Desember 2020, Prof. Dr. M. Mahfud MD (Menko Polhukam) dan Prof. Yasonna Hamonangan Laoly, (Menteri Hukum dan HAM) bertemu dengan ketiga pimpinan PERADI yakni Dr.Juniver Girsang, Dr.Luhut Pangaribuan dan Dr. Fauzie Hasibuan, untuk  menyepakati perdamaian. Ketiga pimpinan PERADI tersebut telah menandatangani surat pernyataan untuk bersatu kembali dalam satu wadah organisasi PERADI serta membentuk tim 9 yang bertugas untuk merumuskan langkah lanjut dan diberi waktu 3 (tiga) bulan dengan keputusan musyawarah dan mufakat. Akan tetapi sampai saat ini penyatuan PERADI belum terealisasi atau belum tercapai. Namun baru-baru ini, Prof. Otto Hasibuan, selaku salah satu Ketua Umum PERADI Kembali mendengungkan lagi agar PERADI rekonsiliasi dengan melaksanakan Munas bersama dengan one man one vote. Menanggapi ajakan Prof. Dr. Otto Hasibuan, Ketua Umum PERADI SAI Dr.Juniver Girsang, menyambut baik langkah tersebut bahkan menyatakan sudah sejak lama telah mengusulkan penyatuan PERADI. Begitu juga Ketua Umum PERADI Rumah Bersama DR. Luhut M.P. Pangaribuan, menyatakan hal yang sama. Dalam surat ajakan Munas bersama tersebut yang terpublikasi di media, dan juga adanya tanggapan secara terbuka dari masing-masing Ketua Umum PERADI, dimana masih ada sedikit perbedaan antara ketiga Ketua Umum PERADI tersebut. Dua Ketua Umum PERADI Dr.Juniver Girsang dan DR. Luhut M.P. Pangaribuan, mensyaratkan dalam Munas bersama agar 3 (ketiga) Ketua Umum yang saat ini menjabat supaya tidak lagi mencalonkan diri, sedangkan PERADI SOHO belum menyetujui hal tersebut.
Pendapat Ketua Umum PERADI SAI Dr.Juniver Girsang, juga disetujui oleh DR. Luhut M.P. Pangaribuan, bahwa ketiga Ketua Umum sekarang tidak usah lagi mencalonkan diri, dan memberikan kepemimpinan PERADI kepada orang-orang muda, adalah hal yang sangat tepat dan ideal serta relevan. mengingat ketiga Ketua Umum saat ini juga sudah masuk fase kedua periode baik Dr.Juniver Girsang, maupun DR. Luhut M.P. Pangaribuan, kepemimpinannya telah memasuki periode ke-2. demikian juga Prof. Dr. Otto Hasibuan, telah pernah melewati masa Periode kedua. Kalau kita mengacu kepada aturan umum 2 (dua) periode, maka sudah sangat relevan agar kepemimpinan PERADI ke depan tidak lagi dipegang ketiga Ketua Umum PERADI sekarang. Diserahkan kepada orang-orang yang lebih muda sebagaimana yang diungkapkan Dr. Juniver Girsang. Seandainya hal tersebut disepakati bersama, maka ketiga Ketua Umum PERADI saat ini, yakni Prof. Dr. Otto Hasibuan, Dr.Juniver Girsang, dan DR. Luhut M.P. Pangaribuan, patut dan pantaslah disebut sebagai "Bapak Advokat Indonesia" yang akan dikenang kemudian hari. Karena dengan legowo demi persatuan dan penyatuan Organisasi Advokat rela melepaskan jabatan dalam Munas bersama secara one man one vote.
Bahwa setelah kembali bersatu, maka penyatuan PERADI tersebut adalah awal dari penyatuan seluruh Organisasi Advokat di Indonesia, karena faktanya sebelumnya sudah ada beberapa Organisasi Advokat lainnya. Antara lain Kongres Advokat Indonesia (KAI) ditambah lagi setidaknya 30 Organisasi Advokat yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Mayoritas Organisasi Advokat tersebut telah melaksanakan PKPA, ujian dan pengangkatan serta penyumpahan. Setelah PERADI bersatu, fase berikutnya adalah PERADI yang telah menjadi satu haruslah merangkul semua Organisasi Advokat di luar PERADI. Pasalnya, mereka berdiri dan ada sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan telah melaksanakan PKPA, ujian dan pengangkatan serta penyumpahan Advokat. Berdasarkan Surat Ketua Mahkamah Agung No.073/KMA/HK.01/2015 tanggal 25 September 2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa penyumpahan bukan lagi dilihat daripada organisasi tertentu, karena PERADI sendiri yang dianggap sebagai wadah tunggal sudah terpecah dengan masing-masing mengklaim sebagai pengurus yang sah. Sehingga  pengangkatan, penyumpahan dan mekanisme penyumpahan tidak lagi melihat dari organisasi mana berasal. SK/KMA/073 tersebut sekaligus membatalkan Surat Ketua Mahkamah Agung No.089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 yang sebelumnya menentukan bahwa penyumpahan Advokat harus melalui Orgasisasi PERADI. Oleh karenanya melihat semua realita tersebut, maka sudah saatnya para Advokat dan seluruh pengurus PERADI mendorong agar PERADI segera bersatu demi wibawa organisasi dan perlindungan Advokat serta mengembalikan marwah Advokat dan Organisasi Advokat di Indonesia.
*Penulis Advokat Senior/ Wakil Ketua Umum PERADI SAI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H