Terdengar sorai-sorai keramaian membangunkanku dari tidur siang itu, suara-suara penuh lantunan sholawat kepada junjungan nabi agung Muhammad SAW. Oh iyaa, ternyata hari ini tepat hari ahad , hari untuk para ibu-ibu berduyun-duyun berangkat fatayatan. Terdengar tak asing dengan kegiatan para ibu-ibu nahdliyin di akar rumput. Kebetulan sekali hari itu juga bertepat di rumah tetangga saya, rumah tersebut pas di samping utara rumah saya, hanya terpisah jarak 1 meter dari rumah.
Tersadar sejenak, merenung betapa hebat mereka ini. Berkumpul di siang bolong, yang dengan semangatnya menyenandungkan syair-syair pujian kepada nabi agung kita. “mungkin inilah benteng terakhir yang menjadikan ormas NAHDLATUL ULAMA dapat tetap eksis sampai sekarang” gumam saya. Mungkin juga bukan hanya eksistensi NU saja yang menjadi cerminan, juga terhadap eksistensi kerukunan diantara warga masyarakat, yang mayoritas hanya kalangan menengah kebawah ini. Semangat ukhuwah islamiyyah nya lah yang menjadi motivasi tersendiri. Senada dengan ini, seperti di kemukakan almarhum gus dur Allah yarhamuh, bahwa pengembangan islam / penegakan hukum islam tidak bergantung hanya kepada suatu negara islam, tapi masyarakat juga dapat memberlakukan hukum islam, seperti halnya sholat jum’at terlaksana tidak membutuhkan suatu undang-undang yang sebagai pelaksana diranah sebuah aturan. Karena sholat jum’at merupakan disyari’atkan oleh agama itu sendiri.
Para ibu-bu ini berangkat dengan membawa uang sebesar Rp 6.000 dengan rincian Rp 5.000 untuk arisan sebagai ganti dari biaya konsumsi bagi tuan rumah, dan Rp 1000 untuk kas, sebagai pemenuhan kebutuhan yang nantinya digunakan untuk kebutuhan yang mendesak. Biasa nya acara dibuka dengan melantunkan sholawat-sholawat sambil melafalkan barzanji natsar dengan dimulai dari jam 1 siang, kemudian, setelah selesai pembacaan barzanji dilanjutkan tahlil dan diakhiri sebuah mauidhotul hasanah dari seorang kiai setempat. Ada hal menarik yang terjadi disini, yang melatar belakangi tulisan ini yaitu pada salah satu sisi ketika pak kiai menjelaskan tentang perihal sejarah nabi yang memang menjadi pokok bahasan maklumlah karena bulan ini bertepatan dengan bulan maulid dimana baginda rosul lahir. Ketika menjelaskan pada salah satu teks di barzanji yang menjelaskan tentang nasab beliau sikiai pun mempertanyakan dengan penuh curiganya kepada para hadirin perihal ayah dari rosul, dari sekian hadirin tidak ada yang bersuara untuk menjawabnya, husnudhon saya mereka sedikit malu kali yah. Tapi inilah letak ironi nya, pertama, mereka malu menyampaikan ilmu, asumsi ini berangkat dari sebuah ke husnudhon an, kedua, mereka tidak memahami isi dari apa yang mereka baca selama ini, tentunya ini berangkat dari sebuah ke suudhonan.
Bukan sebuah alasan untuk melegalkan kedua ironi itu, itu sama halnya sebuah pelegalan keburukan. Inilah yang perlu dicermati bagi para mereka yang memangku kepentingan yang duduk di pengurus besar nahdlatul ulama. Jangan sampai para pemangku di kalangan akar rumput ini buta terhadap apa yang mereka perbuat. Term term seperti ini memang muncul dari sebuah realita yang terjadi padahal perkumpulan-perkumpulan seperti ini sudah terjadi sekian tahun dan terjadi dibeberapa tempat yang disitu masih berkembang komunitas nahdliyin. Sebuah pukulan berat bagi kita para generasi penerus yang tdak mungkin suatu saat juga memikul tanggung jawab sebagai para pengurus di PBNU, mari kita rumuskan langkah-langkah evaluatif yang revolutif untuk kedepannya organisasi ini dapat menjadi sebuah wahana yang bukan hanya sebagai benteng terakhir dalam melestarikan tradisi sholawat dikalangan akar rumput, juga sebagai wahana transfer of knowledge juga tempat pengkaderan alami yang tanpa mereka sadari, untuk mewujudkan kader-kader NU yang melek ilmu juga melek sosial kemasyarakatan.
Kebandungan, 04 januari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H