Mohon tunggu...
Rifqi Fadhlurrachman
Rifqi Fadhlurrachman Mohon Tunggu... -

International Relations UNPAS '12 / Editor @CSSJournal\r\nrifqifrakhman.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengeja Kata Merdeka

18 Agustus 2013   21:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:09 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

pict: moonbattery.com

Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 68, begitulah kalimat yang tertera di spanduk yang bertebaran di jalan-jalan raya utama sampai pedesaan dari berbagai instansi atau calon pejabat daerah, berdampingan dengan baliho ucapan selamat hari raya Idul Fitri yang belum sempat di bersihkan karena petugas dinas terkait yang baru pulang kembali dari kampung halamannya masih menikmati liburan tambahan.

Tanggal 17 Agustus sampai kapanpun tidak bisa dipisahkan dari benak setiap orang dinegeri ini, hari lahirnya bangsa Indonesia, begitulah tertulis dalam lirik lagu Hari Merdeka 17 Agustus 1945 karya H. Mutahar. Hingar-bingar perayaan kemerdekaan Indonesia berdekatan dengan hari raya Idul Fitri yang bisa dibilang merupakan hajat besar bukan hanya umat muslim tetapi juga non-muslim karena waktu libur yang panjang.

Namun apakah Kesakralan dan kebahagiaan idul fitrijuga hari kemerdekaan Indonesia ini bisa dirasakan oleh semua masyarakat Indonesia, nampaknya tidak akan cukup waktu satu sampai dua jam untuk menghitung berapa banyak orang yang tidak bahagia di negeri ini karena kesejahteraan mereka belum sampailah pada waktunya.

2.375 kecelakaan yang menewaskan 501 orang. Lebih dari 500 kejadian kecelakaan itu telah menyebabkan 800 orang mengalami luka berat. Sementara itu, sebanyak 2.939 orang luka ringan [1] pada arus mudik lebaran tahun ini tidak menjadi berita yang seksi untuk para pengusaha media karena tidak bisa memompa mesin pencetak pundi-pundi rupiah mereka walaupun itu adalah hal yang harus dikabarkan pada semua orang karena keengganan pemerintah mengurus infrastuktur. Atau para tahanan politik di Papua jauh di timur sana.

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyakyang belum lama iniyang menampar rakyat kecil karena berimbas pada kenaikan harga barang-barang pokok hilang begitu saja dari obrolan para aktivis populer yang sering nongkrong di layar tv atau twitter. Oh yah! Belakangan ini juga sedang ramai membicarakan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandinisalah satu anak terbaik bangsa setelah KPK menetapkan ia sebagai tersangka kasus suap *ehm! Minyak. Dari yang serius, semi-serius sampai nyinyir para “tweetivist” terus membanjiri timeline dengan kicauannya.

Nampaknya saya terlalu banyak menonton tv akhir-akhir ini lebih banyak berdiam dirumah sampai tahu betul apa yang sedang menjadi obrolan orang banyak, anyway 68 Tahun untuk umur ukuran sebuah Negara tidak terlalu tua, namun pengalaman hidupnya sudah sangat banyak, jika Indonesia adalah seorang manusia yang kebetulan berpunya mungkin salahsatu anaknya sudah bisa membantu adiknya membayar biaya sekolah. Banyak orang berujar bahwa umur berbica, tentang hal apapun.

Mari kita mengeja kata Merdeka dan membaca dengan seksama cita-cita negeri ini pada saat pertama kali dilahirkan, bukan dengan membaca teks proklamasi dan pembukaan UUD 1945 tapi dengan membaca realitas kehidupan dengan mata telanjang, tanpa kacamata hitam.

Dimulai dengan milihat sekolah-sekolah favorit yang embel-embel RSBI nya sudah dihapus, bukan dengan cara menghitung berapa banyak SUV atau motor sport yang berada diparkirannya karena orang akan membacanya dengan konotasi “sirik” tapi dengan melihat anak *katakanlah* Pak Tarman, seorang buruh lepas harian yang penghasilannya tidak tentu setiap bulannya namun ia memiliki anak yang cerdas ketika di SLTP dan adiknya yang prestasi akademiknya biasa-biasa saja namun tetap warga negara Indonesia, pada tahun pelajaran ini mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA karena keterbatasan biaya, masuk sekolah negeri pun tidak mampu apalagi untuk masuk ke sekolah swasta. Dihapuskannya RSBI bukan berarti membuka peluang untuk anak-anak dari keluarga yang kurang mampu untuk bisa mengenyam pendidikan yang ‘katanya’ bermutu sama dengan anak-anak gedongan, masih ada kolom ‘si miskin’ dan ‘si kaya’ dalam daftar penerimaan siswa baru tentunya dengan presentase daya tampung mungkin tidak lebih dari 15% untuk ‘si miskin’.

Bagaimana jika melihat para petani yang bersiap angkat kaki dari tanah yang menghidupinya karena akan ada banyak pembangunan infrastruktur seperti jalan tol si sepanjang selatan jawa atau di pulau-pulau lainnya untuk goal Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Seiring dengan pembangunan di desa jauh dari arti membangun desa, foto Soeharto dengan kata-kata yang menampar juga membuat terbahak-bahak anak sekolahan (dibaca: kaum intelektual) tertera di bak truk atau baju tukang becak. Mereka bukan sepenuhnya merindukan masa-masa rezim orde baru dalam segala aspek tapi menggambarkan semakin tercekiknya hidup di Indonesia dengan perut yang belum tentu kenyang setiap harinya ditambah hutang dan tangis anak mereka karena tak terbeli mainan persis anak gedongan yang ada dalam iklan.

Setelah 68 tahun umur Indonesia, bukan berarti semakin dewasa dan akan hadir selalu pada setiap permasalahan rakyatnya. Negara tidak hadir dalam banyak hal terutama dalam menjamin dan memperjuangkan hak-hak mendasar bagi rakyatnya, para penganut Islam Syah diusir dari tanahnya sendiri, anak buruh bangunan yang tidak bisa bersekolah, balita yang meninggal akibat mendapat penolakan dari rumah sakit karena alasan biaya, petani dipaksa pergi dari ruang hidupnya atas nama pembangunan yang tak jelas membangun untuk siapa yang jelas bukan untuk yang selalu terusir.

“Negara bukan untuk kita, karena pemerintahnya pun bukan tetangga atau satu jamban dengan kita” ujar seorang pedagang Cuankie.

[1] Dikutip dari http://www.tempo.co/read/news/2013/08/12/173503721/Korban-Tewas-Selama-Mudik-Mencapai-500-Jiwa .18 Agustus 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun