Dari dua pembahasan sebelumnya yaitu mengapa perempuan akan selalu mengutamakan perasaannya ketimbang logikanya dan mengapa perempuan membutuhkan validasi, ternyata memang terdapat pengaruh hormon yang ada di dalam tubuh perempuan yang menyebabkan terjadinya hal tersebut.
Hormon yang mempengaruhi pemicu munculnya hal tersebut yaitu hormone progesterone dan ekstrogen. Hormon progesteron dan estrogen juga mempengaruhi perkembangan mental perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan lebih mengutamakan perasaan, ingin dimanja dan penuh perhatian.
Oleh sebab itu bila perempuan mengalami masalah, maka ia akan menangis mengadu dan menyesali diri, dan itu merupakan bentuk luapan emosi yang wajar dari seorang perempuan (Priyono dkk 2009, dalam Tania Hardiyani, 2010). Orang – orang yang berjenis kelamin perempuan memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan apa yang mereka alami (emosi).
Praktiknya perempuan mampu mengungkapkan apa yang dia rasakan saat itu kepada orang lain. Jika perempuan merasa sedih, maka mereka akan bisa menangis sebagai ungkapan apa yang dia rasakan (Risdiandari Sukirman, 2014).
Jika berbicara dari segi genetik, tentu saja akarnya akan kembali kepada hormon karena pada dasarnya semua perempuan memproduksi hormon tersebut. Sudah menjadi takdir bagi para perempuan untuk menjalani kehidupan sebagai perempuan yang memang diberi kelebihan yang unik dan menarik.
Feminisme
Feminisme memiliki tujuan untuk membangun persepsi kesetaraan gender dalam lingkup sosial, politik, ekonomi, dan pribadi. Maka dari itu, anggapan bahwa “perempuan selalu benar” tidak bisa disalahkan begitu saja, karena perempuan ingin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, yang dimana pada awalnya perempuan “disalahkan” karena melakukan hal yang biasa dilakukan oleh laki-laki, yang sebenarnya hal tersebut tidak terpaku harus selalu dilakukan oleh laki-laki.
Lingkungan
Faktor lingkungan juga menjadi faktor yang cukup berpengaruh terhadap anggapan “perempuan selalu benar”. Secara tidak langsung lingkungan seringkali mendukung anggapan “perempuan selalu benar” ini, karena kultur yang dibiasakan terjadi di masyarakat ketika perempuan berpendapat. Masyarakat seringkali “mengiyakan” pendapat perempuan yang terkadang keliru.
Namun, karena perempuan lebih sering mengandalkan perasaannya, perempuan seringkali tidak menanggapi masukan terhadap pendapat mereka dan ingin pendapatnya yang diterima. Karena itulah terjadi kultur “mengiyakan” perempuan sekalipun mereka keliru, agar tidak memperpanjang atau memperumit masalah. Apalagi ketika laki-laki yang cenderung mengandalkan logika berdepat dengan perempuan yang cenderung mengandalkan perasaan.
Pengaruh Perkembangan Zaman