Bunraku, merupakan seni tradisional asal Jepang berupa boneka yang dimainkan oleh 3 orang dengan diiringi alat musik. Bunraku dimainkan dengan cara menceritakan sebuah cerita yang kemudian diekspresikan melalui boneka yang digerakkan oleh dalang dan diiringi oleh musik (Persada, n.d.). Sejarah awal munculnya bunraku ini sangatlah panjang, kekuasaan dinasti kekaisaran Jepang yang berganti-ganti membuat seni ini mengalami beberapa perubahan dari sejak awal kemunculannya hingga saat ini, termasuk dalam segi pemilihan namanya.
Namun meski begitu, bunraku adalah salah satu kesenian Jepang yang unik, dimana perkembangan ceritanya mengikuti perubahan zaman yang mengiringinya. Persaingan antar kelompok dalam kesenian bunraku ini malah menimbulkan energi positif, karena justru memicu perkembangan terutama untuk penampilan boneka (Golek & Jepang, n.d.).
Bunraku, yang menjadi populer sekitar akhir abad ke-16, merupakan jenis teater boneka yang dimainkan dengan iringan nyanyian bercerita dan musik yang dimainkan dengan shamisen (alat musik petik berdawai tiga). Bunraku dikenal sebagai salah satu bentuk teater boneka yang paling halus di dunia (Wibowo, 2015).
Keunikan kebudayaan yang berasal dari Jepang ini menjadi daya tarik tersendiri, khususnya bagi Guy Moshe, seorang penulis, sutradara, dan produser film kenamaan asal Amerika yang mengangkat kesenian bunraku ini menjadi sebuah film bergenre action.
Meskipun Guy Moshe sebagai sutradara memvisualisasikan film bunraku melalui aksi laga, namun unsur budaya serta isu sosial yang ada di dalam isi cerita film tetap ditampilkan sebagai bentuk penyampaian pesan secara visual.
Mise en scene dalam film ini bagi saya dikemas dengan begitu rapi dan keren karena menampilkan audio visual yang memanjakan mata dengan tetap menunjukkan juga pesan dari cerita film ini.
Film ini menceritakan tentang seorang pengelana dan penantang atau dijuluki sebagai The Drifter yang diperankan oleh Josh Hartnett dan Gackt yang berperan sebagai Yoshi yang latar belakangnya merupakan seorang pendekar dari Jepang ingin mencari seseorang yang Bernama Nicola the Woodcutter yang diperankan oleh Ron Perlman. Kedua orang ini memiliki tujuan yang sama dengan alasan yang berbeda mengapa ingin bertemu dengan Nicola.
Sepanjang perjalanan dan pencarian Nicola, banyak sekali tantangan dan rintangan yang harus dihadapi oleh The Drifter dan Yoshi, namun mereka dibantu oleh The Bartender yang diperankan oleh Woody Harrelson.
Dalam film ini juga ada beberapa semiotika yang dapat ditemukan, contohnya seperti pakaian atau kostum yang dikenakan oleh para pemeran mencerminkan darimana mereka berasal. The Drifter dengan mantel tebal dan panjang, topi serta sepatu boots nya menjadi ciri khas tersendiri. Begitu pula Yoshi, ia selalu mengenakan pakaian asal Jepang sebagai identitasnya. Killer nomor 2-10 juga memiliki gaya atau ciri khas tersendiri termasuk dalam cara berpakaian.
Hal lain yang bisa dilihat sebagai semiotika adalah berupa luka yang dialami oleh beberapa pemeran misalnya seperti luka senjata tajam yang diperlihatkan sebagai bentuk rasa sakit atas apa yang dialami. Ada beberapa adegan yang memperlihatkan adegan cukup sadis karena film ini juga sedikit mengusung genre thriller.