Mohon tunggu...
RIFQI ALFIAN MAULANA
RIFQI ALFIAN MAULANA Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Economist at The Crossroads

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peduli, Amat?

9 Februari 2015   06:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:34 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah kesibukan kuliah dan organisasi, mungkin dari kita, para mahasiswa, akan cukup jarang menonton televisi, termasuk saya. Bisa dibilang pulang dari kuliah mungkin bisa larut malam, belum lagi tugas-tugas untuk hari berikutnya. Sehingga kalaupun ada waktu luang, paling-paling kalau tidak update status di internet atau nonton film di laptop.

Maka, para mahasiswa biasanya akan update soal berbagai kabar via media sosial, berita online, atau koran. Bisa jadi sangat jarang teman-teman mahasiswa ini mengupdate kabar via televisi, apalagi dua televisi besar paling tendensius M**** TV dan TV O**.

*****

Kebetulan selama sebulan kebelakang saya liburan, tetapi liburan ini tidak dipakai pulang kampung. Akhirnya ayah yang sering datang ke Depok dan saya sering ada di samping beliau. Saya baru tahu kebiasaan ayah saya yang baru sekarang adalah melihat TV O**. Jadi beliau selama di Depok menyalakan TV (yang saya saja jarang menyalakannya) dan mengarahkannya ke salah stasiun TV tersebut. Maka jadilah saya sehari-hari menonton televisi, utamanya TV O**.

Ini yang baru saya rasakan sensasinya. Hari pertama saya mendengarkan berita TV O** dari pagi sampai sore dahi saya berkerut. Kebetulan sedang panas masalah KPK Polri. Kuping saya rasanya panas begitu menonton berita yang begitu bertubi-tubi. Penggiringan dari satu opini ke opini yang lain. Hari kedua saya mulai merasa bingung mana yang benar dan mana yang salah. Saya mulai tergiring ke salah satu opini. Begitu seterusnya sampai pusing mendengarnya. Begitu tendensius dan emosionalnya. Saya sendiri bukan ahli komunikasi, tetapi pemilihan kata-kata dari voice over menurut saya begitu membuat diri saya teraduk-aduk ingin marah atau jengkel.

Hal ini pun berpengaruh pada diri saya di dunia nyata. Entah kenapa semenjak itu saya jadi gampang marah atau jengkel, padahal sebelumnya tidak. Saya tiba-tiba jadi pribadi yang suka berburuk sangka. Aneh memang, atau mungkin ada yang bertindak labil, tetapi ini nyata terjadi.

Akhirnya ayah saya kembali ke Surabaya dan saya pun langsung berhenti melihat televisi. Ajaibnya, saya menjadi tenang kembali, hati ini rasanya teduh dan kembali ke sedia kala.

*****

Poin saya di tulisan ini adalah keheranan saya dengan televisi sekarang. Maksud saya, saya sendiri sangat heran bagaimana masyarakat Indonesia kebanyakan yang rajin melihat televisi bisa tahan melihat hal-hal tersebut. Saya pikir dengan kejadian saya ini mungkin saja masyarakat kita yang emosional dewasa ini adalah efek dari televisi ini. Bayangkan saya suasana Indonesia jadi tidak kondusif mungkin saja karena masyarakat Indonesia dibombardir dengan berita-berita yang sangat tendensius yang mencoba mengadu-domba, menggiring menjadi dua pihak bersebrangan, dan sebagainya. Untung saja dulu saat pemilu juga saya tidak nonton TV. Saya jadi mahfum kenapa sampai ada orang yang bertengkar hebat masalah Prabowo Jokowi mungkin karena efek ini.

Maka, tak heran Dr. Timothy J. Sharp dalam bukunya The Secret of Happy Children: 100 Cara Agar Anak Bahagia, salah satu kunci bahagia untuk anak-anak adalah mematikan televisi. Kalau di cari di google pun akan banyak pula tips bahagia yang mencantumkan kata-kata,”mematikan televisi.”

Namun, kalau dipikir-pikir, kalau akhirnya mematikan TV kita untuk mendapat kebahagiaan. Lantas apakah artinya kita abaikan masalah negeri ini. Mungkin (sekali lagi) itulah mengapa ada sebagaian orang yang “peduli amat”, termasuk mahasiswa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun