2. Keterbukaan Perekonomian: Dwikewarganegaraan memungkinkan individu untuk memiliki akses ke pasar dan sumber daya yang lebih luas, sehingga meningkatkan kemampuan mereka dalam berbisnis dan berinvestasi. Hal ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
3. Keterbukaan Pendidikan: Dwikewarganegaraan memungkinkan individu untuk memiliki akses ke sistem pendidikan yang lebih luas dan beragam, sehingga meningkatkan kesempatan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup.
=> Argumen saya melawan dwikewarganegaraan.
1. Keterbatasan Kewarganegaraan: Dwikewarganegaraan dapat menimbulkan keterbatasan dalam kewarganegaraan, seperti keterbatasan dalam hak-hak politik dan sosial. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakpastian dan ketidakstabilan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Keterbatasan Perekonomian: Dwikewarganegaraan dapat menimbulkan keterbatasan dalam perekonomian, seperti keterbatasan dalam akses ke pasar dan sumber daya. Hal ini dapat mengakibatkan kesulitan dalam berbisnis dan berinvestasi.
3. Keterbatasan Pendidikan: Dwikewarganegaraan dapat menimbulkan keterbatasan dalam pendidikan, seperti keterbatasan dalam akses ke sistem pendidikan yang lebih baik. Hal ini dapat mengakibatkan kesulitan dalam meningkatkan kualitas hidup.
Data kasus dwi kewarganegaraan di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 4,6 juta diaspora Indonesia masih mempertahankan status Warga Negara Indonesia (WNI) dan sisanya merupakan eks WNI beserta keturunannya. Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat hampir 4,000 orang Indonesia menjadi warga negara Singapura antara 2019 hingga 2022. Organisasi Indonesia Diaspora Network memperkirakan jumlah diaspora Indonesia yang tersebar di seluruh dunia berjumlah 8 juta orang, dengan potensi besar dalam membawa aset seperti skill, wealth, networks, dan human capital terhadap Indonesia.
Pemerintah Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan Undang-Undang terkait kewarganegaraan, seperti UU No.62 Tahun 1958 hingga yang terbaru UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Namun, UU ini tidak mengakui adanya dwi kewarganegaraan, sehingga diaspora Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam status kewarganegaraan mereka. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Satya Arinanto, mendorong pemerintah dan DPR untuk menyetujui perubahan UU No.12 Tahun 2006 atau menyusun UU baru yang mengakui dwi kewarganegaraan.
Perubahan UU No.12 Tahun 2006 mempengaruhi kasus dwi kewarganegaraan di Indonesia dengan beberapa aspek:
1. Pengaturan Kewarganegaraan Ganda: UU No.12 Tahun 2006 memperbolehkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran. Anak-anak ini dapat memiliki kewarganegaraan Indonesia dan kewarganegaraan lainnya, tetapi harus memilih salah satu kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin.
2. Pengakuan Hak Asasi Manusia: Undang-Undang ini juga menganut asas perlindungan maksimum, asas non-diskriminasi, dan asas pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia. Hal ini memberikan perlindungan lebih kepada WNI yang sedang bermigrasi ke negara lain.