Mohon tunggu...
Rifqi18190040
Rifqi18190040 Mohon Tunggu... Jurnalis - Semua sudah ada jalannya

rickymarchell77@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Oligarki vs Revolusi

30 Desember 2020   19:40 Diperbarui: 30 Desember 2020   19:41 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Sedangakan perjuangan kalian begitu berat karena melawan bangsa sendiri" kata Bung Karno sebagai bapak proklamator bangsa Indonesia. Perkataan yang sarat akan makna, menerawang jauh ke depan dengan pembuktian realistis. Banyak hal yang bisa dipelajari dari perkataan ini. Pertama, menunjukkan makna perjuangan untuk mengusir penjajah. Kedua, menunjukkan perjuangan melawan bangsa sedarah. 

 Ada dua kunci dalam perkataan ini yakni mudah dan sulit. Mudah karena bangsa yang menjadi lawan adalah bangsa lain. Sulit karena yang di lawan adalah bangsa sendiri. Hal inilah tantangan bagi penghuni bangsa untuk menemukan kembali keadilan dalam berbangsa dan bernegara dengan pemenuhan hak-hak kebangsaan. Sejatinya, bangsa yang besar lahir dari bangsa yang dijajah dengan memberikan perlawanan untuk menuntaskan hak dalam menyelamatkan hidup orang banyak. Lantas, sebutan apa yang pantas untuk bangsa yang memakan darah bangsa sendiri dengan penindasan berbentuk kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok yang bersembunyi dibalik kekuasaan?.

 Dua periode yang dijalankan oleh pemeritahan Jokowi menunjukkan betapa banyaknya problem dari setiap tindakan dan keputusan yang diambil. Tahun 2020 seakan-akan menemukan jalan buntu untuk kepetingan rakyak banyak. Banyak hal yang diorganisir untuk kepentingan kelompok tertentu dengan sistem terstruktur dan terencana namun cenderung tergesa-gesa yang dikemas dalam penindasan berbau kepentingan rakyak banyak. 

 Sejauh ini, peran yang dimainkan oleh pemerintahan banyak dipegang oleh para oligarki. Secara garis besar oligarki berperan dibalik layar untuk mengendalikan kepentingan. Namun, bisa mengorganisir secara sistematis untuk menuntaskan kepentingannya. Akhir-akhri ini publik dikejutkan dengan pengesahan UU Omnibuslaw cipta kerja. Sehingga banyak mengundang respon bagi setiap elemen masyarakat baik itu dari rakyat kecil, buruh dan mahasiswa. Oligarki seperti lempar batu sembunyi tangan. Penampakannya dilakukan oleh pemerintah yang mengesahkan UU. 

 Jika di kaji secara mendasar, omnibuslaw sebagai bentuk penyederhanaan UU yang sebelumnya cenderung tumpang tindih. Oleh sebab itu, UU lebih disederhanakan sesederhana mungkin. Namun, yang harus dipahami secara mendetail dalam UU ini yakni dalam penyederhanaan regulasi untuk kemudahan pengambilan keputusan yang menyangkut semua bidang. Padahal semua bidang belum tentu berkaitan satu sama lain. Sehingga hal ini berbenturan dengan UU yang telah eksis dan inkonstitusional. 

 Kejadian ini tentunya bernilai negatif bagi masyarakat karena hanya memihak untuk kepentingan tertentu dan mengabaikan kepentingan rakyat. Pasalnya, dalam UU ini hak buruh tidak dipenuhi untuk kepentingan kebutuhan hidup dengan honor perjam dan tidak adanya izin cuti. Lebih parahnya lagi, buruh bekerja seumur hidup. Inilah yang memunculkan banyak respon dari masyarakat. 

 Sebagai bentuk perlawanan, dilansir dari detik.com alinasi buruh melakukan mogok kerja secara nasional dari tanggal 6-8 oktober 2020. Dimana mogok kerja ini dilakukan oleh beberapa provinsi. Sehingga hal ini menjadi perhatian bagi pemerintah bahwa rakyat tidak menyetujui dengan disahkannya UU ciptaker. Tindakan oleh para buruh menunjukkan adanya revolusi.

 Selain itu, banyak demonstrasi yang dilakukan oleh para buruh, rakyat kecil dan mahasiswa. Dimana hal ini dilakukan secara serentak dan berkelanjutan sebagai bentuk protes secara besar-besaran. Seperti dilansir dari liputan6.com Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DEN KSBSI) siap menggelar aksi tolak Undang-undang Cipta Kerja selama lima hari, sejak 12 Oktober hingga 16 Oktober 2020, di Istana Merdeka Jakarta. Perlawanan terus digencarkan untuk memenuhi kepentingan rakyat. Bahkan, sebelum pengesahan UU Omnibuslaw salah satu suara dewan yang menyuarakan kepentingan rakyak dibungkam. Demokrasi seakan-akan diujung tanduk sakaratul maut. 

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara di bungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: Lawan! Kata Bung Wiji Thukul. Dalam aksi yang digencarkan oleh para buruh, rakyat kecil dan mahasiswa mengorbankan petumpahan darah. Instrument kekuasaan negara (refresif) seolah-olah melindungi negara, namun kenyataannya malah memperburuk negara dengan melindungi penguasa. Anehnya, rakyat yang mengorbankan darah dengan para aparat dan penguasa duduk manis sambil meneguk secangkir kopi. Logikanya, tidak akan ada perlawanan dari rakyat jika negara ini dalam keadaan yang semestinya. 

Bagi penulis, bentuk perlawanan sebagai bahan untuk menujukkan bahwa akan ada revolusi bagi bangsa ini. Revolusi terus digaungkan, butuh pengorbanan dan banyak memakan korban. P. Freire mengatakan "tidak ada revolusi tanpa cinta, revolusi adalah mencintai". Oleh sebab itu, karena mencintai negeri maka melawan adalah caranya. Semuanya harus dilakukan untuk memulihkan keadaan negeri yang bebas dari tangan oligarki dan revolusi sebagai fondasi baru untuk merubah sistem yang berlaku dengan begitu banyaknya ciptaan baru. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun