Desember merupakan bulan wafatnnya alm.Gus Dur, seorang tokoh yang dikenal sebagai ‘Bapak Pluralisme’ dari Indonesia. Gus Dur merupakan seorang tokoh kelahiran Jombang, 7 September 1940. Gus Dur adalah cucu dari K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas islam terbesar di dunia. Sebagai tokoh Pluralisme, Gus Dur selalu menekankan cinta sebagai landasan dalam menjalani kehidupan yang heterogen. Ajaran Gus Dur tentang menebar cinta sebagai solusi kerukunan antar umat beragama dikenang sampai sekarang. Â
Sejak ribuan tahun yang lalu manusia telah mengenal agama dan aliran kepercayaan. Agama diyakini sebagai sarana berkomunikasi vertikal manusia sebagai makhluk dengan Tuhan yang berkedudukan sebagai penciptanya. Selain itu, agama juga memiliki peran sebagai sarana komunikasi horizontal antar sesama manusia dan makhluk Tuhan lainnya, karena ruh dari semua agama adalah kemanusiaan dan kedamaian bagi seluruh alam.
Secara klasifikasinya, agama terbagi kedalam dua poros, yakni agama samawi dan agama ardhi. Agama samawi dikenal juga dengan istilah agama langit, karena agama ini dipercaya sebagai agama yang diturunkan oleh Tuhan sebagai wahyu melalui malaikat kepada para utusan-Nya, kemudian utusan-Nya menyampaikan ajarannya pada para pengikutnya. Adapun agama samawi yang dikenal sampai saat ini ada tiga, yakni Yahudi, Nasrani dan Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan agama ardhi atau agama bumi adalah agama yang berkembang berdasarkan budaya, daerah, atau pemikiran seseorang yang kemudian dapat diterima secara global. Dan adapun yang termasuk kedalam agama ardhi adalah Hindu, Buddha dan Konghucu dan masih banyak lagi.
Walaupun berbeda secara ritual ibadahnya, akan tetapi setiap agama memiliki esensi yang sama, yakni sama-sama mendambakan kedamaian, memimpikan keadilan dan mencintai kepedulian pada sesama makhluk. Perbedaan agama tidak lantas menjadikan manusia harus saling membenci, mengintimidasi, apalagi saling membunuh diantaranya. Oleh karena itu disamping begitu banyaknya agama, ada sesuatu yang dikenal dengan istilah toleransi, yakni sikap menghormati dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Perbedaan tidak hanya sebatas perbedaan suku, bangsa, bahasa, akan tetapi termasuk pula perbedaan agama. Karena pada hakikatnya Tuhan sendirilah yang menciptakan perbedaan itu sendiri agar manusia bisa saling mengenal, menerima perbedaan dan akhirnya bisa saling hidup berdampingan secara rukun dan damai.
Di dalam ajaran setiap agama tidak pernah lepas dari ajaran untuk bersikap toleran dan mencintai sesama manusia.
Islam: Tidak (sempurna) iman seseorang kecuali ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. (H.R Bukhari & Muslim)
Kristen: Perlakukanlah orang lain seperti kamu menginginkan mereka memperlakukannya terhadap kamu. (Luke: 61)
Yahudi: Apa yang kamu anggap jahat, jangan lakukan kepada orang lain. (Talmud, Shabbat: 31)
Budha: Jangan sakiti orang lain seperti apa yang kamu sendiri merasakan sakit. (Udana Varga)
Hindu:Â Ini adalah total kewajiban. Jangan memperlakukan orang lain yang akan menyebabkannya sakit apabila ini dilakukan kepada dirimu. (Mahabharata)
Pada realita kehidupan yang ada, manusia tetaplah manusia. Manusia terkadang berbuat salah dan lupa. Ajaran-ajaran kebaikan yang ada dalam agama yang dianutnya seakan-akan tertutupi oleh sifat merasa paling benar sendiri. Menganggap yang tidak sejalan dengannya itu salah, sehingga akhirnya bertindak yang tidak seharusnya dan menghakimi keyakinan orang lain.Â
Karena ketika berbicara masalah hukum, manusia akan saling menyalah-nyalahkan. Setiap yang berbeda dengan sudut pandangnya akan dicap salah. Lebih parah lagi ketika berbicara kepercayaan, manusia akan saling membunuh, karena menganggap orang yang tidak sepemikiran dengannya itu salah. Berbica tentang etika dan moral, manusia masih tetap akan saling menyalahkan. Semua ini terjadi karena manusia akan berbeda pandangan atas suatu perkara, tergantung dari perspektif mana ia melihat. Lantas apa solusi dari permasalahan ini ?Â
Jawabannya adalah cinta. Dengan cinta, setiap manusia tidak akan mempermasalahkan perbedaan yang ada. Perbedaan suku, bangsa, ras, bahasa, bahkan agama, semuanya tidak menjadi penghalang setiap orang untuk bisa saling menghargai dan menghormati. Dengan cinta pula, pada akhirnya setiap orang tidak akan menghiraukan segala perbedaan yang ada.
Selain itu, perlu ditanamkan pula dalam benak setiap orang bahwa pluralitas adalah sebuah keniscayaan. Bahwa pada dasarnya Tuhan menciptakan semua perbedaan ini adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dalam ajaran islam yang ada dalam QS. Al-Baqarah ayat 256 dijelaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, setiap orang berhak memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Bahkan dalam QS. Al-An'am ayat 108 islam melarang pemeluknya mencaci dan mengolok-olok sesembahan orang lain agar tidak terjadi saling mencaci diantaranya.Â
Salah satu yang menjadi asal mula perdebatan diantara manusia adalah ketika ia menganggap kepercayaan yang ia miliki adalah hal yang paling benar, hal tersebut yang akan memicu pada terjadinya perpecahan. Merasa benar itu boleh, akan tetapi ketika merasa diri paling benar dan orang lain itu salah adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Berilah ruang bagi orang lain untuk merasa dirinya benar. Karena di dunia semua kebenaran hanya bersifat subjektif, dan kebenarannya akan berbeda menurut perspektif tiap orang. Karena kebenaran objektif yang haq sesungguhnya hanya ada pada sisi Tuhan.
Maka dari itu dengan bisa menerima segala perbedaan yang ada dengan bersikap inklusif dan penuh cinta seperti yang diajarkan alm. Gus Dur dapat dipastikan ditengah banyaknya agama yang ada, dengan cinta semuanya akan damai dan saling menghargai satu sama lain. Kemudian pada akhirnya tatanan kehdupan manusia merdeka, adil dan sejahtera dapat terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H