Ada pula tradisi burok, yaitu seperti barongsai namun berbentuk badan kuda bersayap dan berkepala bidadari. Tradisi ini terinspirasi dari kendaraan nabi Muhammad SAW saat melakukan isra mi'raj. Tradisi ini umumnya ditemui di daerah Cirebon dan sekitarnya. Masih sama dengan kuda renggong dan sisingaan burok ini akan digunakan untuk mengarak si anak yang akan di khitan, yang dipanggul oleh dua orang.
Setelah prosesi pengarakan si anak akan Kembali ke rumah, dan saat sampai akan dilakukan prosesi saweran. Yaitu proses pelemparan uang koin yang biasanya dilakuan oleh orang tuanya. Para masyarakat akan berantusias untuk saling berebut uang koin tersebut.
Keesokan harinya setelah proses khitan atau sunat, para tetangga dan kerabat akan datang untuk menyalami dan memberikan uang yang biasa disebut dengan uang nyecep pada anak yang baru saja dikhitan. Biasanya keluaganya akan menyiapkan ember atau kardus di samping si anak sebagai tempat untuk menaruh uang nyecep tersebut. Uang ini diberikan sebagai simbol untuk mengalihkan rasa sakit si anak.
Pada malam harinya akan diadakan pertunjukan kesenian sunda seperti wayangan, jaipongan, atau dangdutan, yang diadakan di depan rumah si anak. Pertunjukan tersebut merupakan rangkaian akhir dari tradisi khitanan atau sunatan pada masyarakat sunda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H