Mohon tunggu...
Rifna Merisha
Rifna Merisha Mohon Tunggu... Penulis - Bicara Sendiri

Bismillah!

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menguak Makna dalam Puisi Hitam Karya D. Zawawi Imron

25 Januari 2025   13:00 Diperbarui: 24 Januari 2025   14:55 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
D. Zawawi Imron (Sumber: Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur)

"Puisi Hitam" karya D. Zawawi Imron di atas berbicara tentang kegundahan. Hitam menggambarkan sesuatu yang tidak semestinya, sebuah pertanyaan-pertanyaan yang belum ditemukan jawabannya. Hitam juga sudah cukup menjelaskan permasalahan yang dibicarakan. Bahwa ada permasalahan yang menimpa sebuah daerah yang tak kunjung usai. Dalam puisi di atas kata 'kelam', 'getir', 'pupus,. 'menganga', 'terengah' menunjukkan pemaknaan bahwa perasaan pahit akan keadaan tersebut. Kelam menandakan suasana yang suram, gelap dalam arti kiasan, jika dalam kenyataan sehari-hari menandakan sesuatu yang buruk. Semua itu terangkum dalam perasaan gundah.

Kegundahan seperti apakah yang diungkapkan di dalam puisi tersebut? Dengan nada lirik seperti yang ditunjukkan diksi-diksinya yang memiliki  makna mendalam (bahasa kiasan). Penyair hendak mengungkapkan bahwa harus seperti apa lagi menghadapinya? Bahkan seolah alam pun mendukung akhir ini segera tiba. Penegasan tanda --tanda itu ada pada bait puisinya, yakni pada larik kesatu dan kedua lewat baitnya: di punggung tanah kelam/ angin terbang membedah lembah/ pupuslah mayang/ bunyi saronen/ suara sedih penghuni/ jalan melas jalan ke kota/ putus di tengah/ langit luas melingkung dunia/ terengah//.

Oleh karena itu, penyair menganggap bahwa ini merupakan peristiwa yang sangat mengiris hati. Kesedihan dan keputusasaan itu muncul pada bait puisinya. Pada larik ketiga lewat baitnya: sejumlah warna merebah ke bawah tanah/ dan tanah lekah/ menganga/ ada nyawa-nyawa yang dipanggilnya//.

Bahkan pertanyaan-pertanyaan itu hadir pada larik terakhir atau larik ke empat yang berisikan pertanyaan tentang milik siapa kemerdekaan sebenarnya, lantas mengapa tak ada yang mampu mengalahkan ego? Dibait terakhir pun berisikan pertanyaan berserah, putus asa dan pasrah dengan menanyakan kapan kiamat tiba. Pertanyaan-pertanyaan itu terangkai dalam larik keempat lewat baitnya: kemerdekaan milik siapa?/ milik sebagian atau semua?/ bila warna nurani luntur/ bintang-bintang pun segera gugur/ orang di dusun tinggal bertanya/ kapan kiamat tiba?//.

Puisi di atas lewat unsur-unsur yang dibangunnya terasa mendalam, mengharukan dan menyedihkan. Diksi-diksi yang digunakan banyak yang mengandung makna konotatif, dimana tidak memiliki arti yang sebenarnya. Seperti pada bagian " di punggung 'tanah kelam'/ angin 'terbang membedah lembah'/ membawa 'getir lahang berlaru darah'//". Perumpamaan atau gaya bahasa yang digunakan tidak terlalu jauh dengan arti-arti sebenarnya, hanya banyak perumpamaan yang berupa penegasan. Seperti, "suara sedih penghuni/ ada nyawa-nyawa yang dipanggilnya//". Sementara untuk menggambarkan sedih penyair memilih "pupuslah mayang", "suara sedih penghuni" untuk mengekspesikannya. Imaji yang digunakan yaitu imaji auditif atau penginderaan yang memberi efek kepada alat pendengaran (telinga), seperti "bunyi saronen/ suara sedih penghuni//". Juga imaji visual atau penginderaan yang memberi efek kepada alat penglihatan (mata), seperti "sejumlah warna merebah ke bawah tanah/ dan tanah lekah/ menganga//. Bunyi yang digunakan menggunakan jenis bunyi kakafoni, yang lebih menekankan pada makna-makna berat. Seperti, "membawa getir lahang berlaru darah/ pupuslah mayang//". Tipografi puisi ini secara teratur selain memiliki jumlah suku kata antara 7-12 suku kata juga memiliki akhiran bunyi yang serupa dan teratur dan indah untuk diperdengarkan dan nikmati pembacanya.

Selain itu, puisi ini pun menimbulkan bayangan bahwa ini merupakan tanda-tanda sebua akhir yang menyedihkan akan tiba. Penyair menuangkan kata-kata dalam setiap baitnya dengan perasaan mendalam sehingga para pembaca pun dapat merasaka perasaan dan kondisi yang terjadi seperti pada puisi tersebut.

Dalam penelusuran terhadap berbagai aspek puisi di atas, semakin terasa bahwa puisi ini membawa perasaan pembaca terhanyut dalam setiap baitnya. Dengan memberikan penegasan mengenai kejadian atau peristiwa yang terjadi, sehingga secara keseluruhan puisi tersebut merupakan kesatuan yang menggambarkan kondisi yang berlangsung secara terus-menerus dan belum ditemukan solusinya. Maka, penyair mencoba menerka-nerka penyebab dan akibat yang akan dihadapin setelahnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun