“Aku hanya ingin bermain denganmu di kamar setiap malam, tapi jangan sampai kamu hamil. Jika keinginanku ini kau tolak, maka kamu akan jadi istri yang durhaka, akan masuk neraka,” suaminya selalu berkata demikian setiap ia mengutarakan keinginannya untuk punya anak.
Dari kutipan cerpen tersebut menunjukan bahwa suami seolah mengancam istri yang tidak taat dengan hukuman masuk neraka. Padahal tidak seharusnya suami bersikap emosional seperti itu meskipun suami berlabel “suami yang ahli agama”. Pada kenyataannya seorang suami yang memiliki ilmu agama yang kuat tidak akan memperlakukan istrinya dengan cara yang menyulitkan. Bila masih seperti itu, lantas apa gunanya suami untuk istri jika tidak ada satupun yang dapat diberikan kepada istri selain tekanan, ancaman dan makian yang membuat istri menjadi ketakutan dan terpaksa menuruti perintah suami. Tentunya hal tersebut sangat menyentuh hati perempuan di luar sana begitu tahu bahwa masih ada laki-laki yang tega membiarkan perempuannya berjuang sendiri menghidupi keluarga. Laki-laki disini seolah hanya numpang hidup dengan istri.
Seorang istri tidak harus selalu menuruti perkataan suami apabila suami telah menyimpang ke jalan yang salah. Istri berhak mempunyai pandangan dan pendapat tentang kehidupannya sendiri. Meskipun suami adalah tiang dalam sebuah keluarga tetapi bukan berarti istri harus selalu menjadi kabel yang bergantung pada tiangnya. Istri juga diperbolehkan mengungkapkan keinginannya walaupun itu berbeda dengan prinsip suami. Hal tersebut tergambarkan dalam kutipan cerpen di bawah ini.
“Jika suami menafkahi istri secara baik, barulah istri berdosa jika ia tidak mau ketika diajak ke kamar oleh suaminya. Tapi jika suami tidak menafkahi, aku rasa istri berhak menolak,” kedua telapak tangan Husna mengelus pipi Duya. Husna berusaha menembakkan senyum. Tapi Duya merespons senyum itu dengan cucuran air mata.
Kutipan cerpen tersebut menunjukan bahwa istri berhak mengeluarkan aspirasi karena terdapat kekeliruan perilaku suami atas dirinya. Dengan begitu, istri yang merasa tidak terima dan bertolak belakang dengan perbuatan suami dapat menolak dan melawan hal tersebut. Dikarenakan istri tidak selalu kuat dalam menghadapi segala yang terjadi di dalam kehidupannya. Inipun berlaku bagi seluruh manusia di muka bumi karena tentunya tidak akan mampu mengatasi permasalahan hidup seorang diri. Hal pertama yang menjadi alternatif untuk dilakukan adalah meratapi dan menangis sejadi-jadinya tentunya dibantu dengan mencurahkan perasaan kepada orang-orang terdekat baik keluarga atau bahkan sahabat.
Seseorang yang memiliki masalah tentu sangat membutuhkan jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahannya. Begitupun dengan seorang istri yang merasa terjerat dengan perlakuan suami yang semena-mena. Permasalahan tersebut pasti sangat meresahkan hati. Hal itu dapat dilihat dari kutipan cerpen di bawah ini.
Kesehariannya ia gunakan untuk menyelamatkan diri dari dosa, agar tidak terjerumus ke dalam api neraka—sebagaimana yang sering dijadikan bahan ancaman oleh suaminya dengan dalil-dalil berbahasa Arab—ia rela memanggang tubuhnya di bawah matahari demi mengais rezeki untuk suami, sedang di malam hari harus melayani suaminya dalam kamar tidur meski kadang dalam puncak lelah yang mencekik. Begitulah siklus hidup yang ia jalani setiap hari; siang di ladang, malam di ranjang. Sedang suaminya hanya di rumah, makan, minum kopi, dan merokok seraya terus mencari dalil-dalil agama yang bisa menjerat dia supaya takluk dalam kekangannya atas nama ketaatan.
Kutipan cerpen tersebut menunjukan bahwa tidak selamanya suami selalu menjadi panutan yang baik. Namun, bukan berarti seorang suami selalu mengajarkan hal-hal yang salah dalam konsep berumah tangga. Hanya saja dalam kasus seperti ini, perempuan dapat membuka mata lebar-lebar bahwa tidak semua yang diperintahkan suami harus dituruti. Adakalanya seorang istri dapat menolak dan memberikan pandangan mengenai bagaimana baiknya. Meskipun suami merupakan pilihan kedua orang tua, semua akan balik lagi kepada yang menjalankan. Apabila sudah sangat tidak baik untuk dilanjutkan seorang istri berhak memperbaikinya terlebih dahulu untuk mengembalikan keutuhan rumah tangganya.
Istri yang bekerja tidak bisa dianggap bahwa “semua keperluan hidup ditanggung oleh dirinya” karena istri yang bekerja tidak semata-mata hanya untuk kebutuhan keluarga tetapi hanya sebatas untuk menambah penghasilan keluarga. Hal ini berbeda dengan suami yang tidak memiliki daya kerja atau sakit-sakitan, sehingga mengharuskan istri bekerja untuk menafkahi keluarga. Dalam konteks seperti itu, hal tersebut diwajarkan. Hal yang sangat disayangkan apabila suami yang mampu tetapi tidak mau membantu. Dengan begitu, cerpen “Dosa Seorang Istri yang Tidur pada Pukul 19.00” sangat merepresentasikan kehidupan perempuan di saat ini yang memiliki tanggungan lebih besar dibandingkan seorang laki-laki terlebih bagi perempuan yang telah menikah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI