Mohon tunggu...
Rifky Julio
Rifky Julio Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate (Baca: Penggangguran)

Sekedar menulis apa yang ingin ditulis. Antropologi | Anime | Daily Life | Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Aspek Folklor Cerita Asal-usul Gunung Merapi

1 September 2021   12:30 Diperbarui: 1 September 2021   12:40 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Merapi (www.wartajogja.id)

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung vulkanik aktif di Indonesia yang berlokasi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Gunung yang tidak hanya dikenal sebagai gunung berapi teraktif di Indonesia, tetapi juga dikenal memiliki cerita-cerita yang beredar di kehidupan masyarakat lereng gunung tersebut.

Salah satu yang saya ingin bahas disini adalah cerita mengenai asal usul terbentuknya Gunung Merapi. Tentu saja ceritanya bukanlah seperti pembentukan gunung secara geologis, melainkan berkaitan dengan kepercayaan dan mitos tentang Empu Rama dan Empu Pamadi yang tinggal di lereng Gunung Merapi. Dari cerita tersebut mungkin kita bisa menyelami dan lebih memahami sebagian kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat lokal di sana.

Kisah Empu Rama dan Empu Pamadi

Dilansir dari laman histori.id, pada masa lampau, konon letak Pulau Jawa itu tidaklah rata atau dalam keadaan miring. Kemudian, para dewa di Kahyangan pun berinisiatif untuk memperbaiki kondisi Pulau Jawa dengan cara meletakkan gunung yang tinggi di tengah pulau agar kembali seimbang.

Dipilihlah Gunung Jamurdipa yang berada di Laut Selatan untuk dipindahkan ke daerah tanah datar yang kini ditempati oleh Gunung Merapi. Kebetulan di daerah tanah datar tersebut ada dua orang pembuat keris sakti yang tinggal disana yakni Empu Rama dan Empu Pamadi. 

Ilustrasi Empu Rama dan Empu Pamadi (jogja.tribunnews.com)
Ilustrasi Empu Rama dan Empu Pamadi (jogja.tribunnews.com)

Para dewa di Kahyangan pun memutuskan untuk meminta kedua empu tersebut untuk pergi sebelum memindahkan Gunung Jamurdipa agar tidak tertindih oleh gunung tersebut nantinya. Lalu, Batara Guru (pemimpin para dewa) mengutus Batara Narada dan Dewa Penyarikan beserta pengawalnya untuk bertemu dengan Empu Rama dan Empu Pamadi.

Sesampainya disana, kedua utusan Batara Guru dibuat terkejut oleh cara Empu Rama dan Empu Pamadi dalam membuat keris. Mereka tidak menempa besi panas menggunakan palu dan landasan logam, melainkan dengan kepalan tangan dan paha yang bahkan sampai memancarkan percikan cahaya saat kepalan tangan itu memukul besi. 

Dengan gugup, Dewa Penyarikan pun menyapa kedua empu untuk mengajaknya berbicara. Mendengar sapaannya, kedua empu tersebut langsung menghentikan pekerjaannya dan mempersilahkan kedua utusan untuk duduk.

Setelah itu, Batara Narada menjelaskan maksud kedatangannya dan juga permintaan para dewa mengenai pemindahan Gunung Jamurdipa kepada kedua empu. Dengan berat hati kedua empu itu merasa tidak bisa memenuhi permintaan para dewa. Mereka beralasan bahwa dalam pembuatan keris sakti tidak boleh semena-mena, salah satunya adalah berpindah-pindah tempat pembuatan. 

Kedua empu pun tetap teguh pada pendiriannya meski sudah dijanjikan tempat yang lebih baik oleh Batara Narada dan Dewa Penyarikan. Akibatnya, kedua utusan Batara Guru itu mulai kehilangan kesabaran dan mulai mengancam kedua empu agar mau pindah dari tempat itu. Namun, Empu Rama dan Empu Pamadi sama sekali tidak takut dan siap menghadapi ancaman demi mempertahankan tempat mereka.

Pertempuran diantara kedua belah pihak pun meletus. Batara Narada dan Dewa Penyarikan langsung menyerbu kedua empu dengan balatentara dari Kahyangan. Meski dikeroyok habis-habisan, ternyata kedua empu mampu mengimbangi kekuatan balatentara dewa dengan kesaktiannya. 

Pertarungan pun akhirnya dimenangi oleh kedua empu. Merasa gagal, Batara Narada dan Dewa Penyarikan langsung kembali ke Kahyangan untuk melapor kepada Batara Guru.

Mendapat laporan kegagalan dari utusannya, Batara Guru murka. Ia tidak habis pikir dengan tindakan dari Empu Rama dan Empu Pamadi. Tanpa pikir panjang, akhirnya Batara Guru memerintahkan Dewa Bayu untuk segera memindahkan Gunung Jamurdipa ke lokasi kedua empu tadi. 

Dewa Bayu pun menuruti perintah Batara Guru dan langsung meniup Gunung Jamurdipa dengan kesaktiannya. Gunung besar itu tertiup dengan kencang di angkasa hingga sampai tepat diatas tempat perapian Empu Rama dan Empu Pamadi. Jatuhlah gunung tersebut yang akhirnya membuat kedua empu itu mati terkubur.

Perapian untuk pembuatan keris sakti kedua empu itu berubah menjad kawah. Hal itulah yang membuat nama Gunung Jamurdipa berubah menjadi Gunung Merapi. Konon roh Empu Rama dan Empu Pamadi menjadi roh penunggu di Gunung Merapi. Masyarakat lokal biasa menyebutnya Eyang Merapi. 

Masyarakat meyakini bahwa ada keraton makhluk halus di Gunung Merapi yang dipimpin oleh Eyang Merapi sebagai rajanya. Mitos mengenai hal tersebut berkembang dari waktu ke waktu dengan variasinya di masing-masing sudut lereng Gunung Merapi.

Nilai Kearifan Lokal Asal Usul Gunung Merapi

Cerita mengenai asal usul Gunung Merapi yang berakhir dengan tewasnya Empu Rama dan Empu Pamadi telah membentuk suatu kepercayaan tersendiri di masyarakat lokal lereng Merapi. Kedua empu tersebut dipercaya menjadi roh penunggu merapi dengan sebutan Eyang Merapi oleh penduduk lokal. Kepercayaan akan adanya makhluk-makhluk halus yang hidup berdampingan bersama masyarakat pun muncul seiring berjalannya waktu.

Masyarakat lokal lereng Gunung Merapi meyakini bahwa dunia alam semesta tidak hanya dihuni oleh manusia, tetapi juga ada makhluk lain yang mereka sebut sebagai bangsa halus atau makhluk halus. Makhluk halus tersebut mereka proyeksikan sebagai roh-roh penjaga desa dengan istilah sebutannya yakni danyang pepundhen (Casuarina, 2003). 

Danyang pepundhen diyakini menjaga desa-desa lokal di lereng Gunung Merapi dan memberikan keamanan dari gangguan makhluk halus jahat. Meski begitu, hanya orang-orang tertentu yang memiliki kekuatan batin yang dapat melihat roh-roh tersebut seperti “orang pintar” dan dukun. 

Namun dalam beberapa kejadian, orang tanpa kekuatan batin pun dapat melihat wujud roh atau makhluk halus tersebut yang memang berniat untuk bersahabat atau mencelakai orang yang melihatnya.

Demi membina hubungan yang baik dengan danyang pepundhen, masyarakat lokal pun diharuskan melestarikan tradisi warisan nenek moyang mereka. Walaupun mayoritas warga menganut agama Islam, kepercayaan terhadap roh halus masih tetap ada karena adanya jaminan keselamatan yang akan didapatkan. 

Salah satu tradisi yang dilakukan adalah upacara atau selamatan lengkap dengan sesaji makanan, bunga dan kemenyan. Hal itu dilakukan dengan harapan makhluk halus mau membalas jasa dengan tidak mengganggu kehidupan dan memberi keselamatan lahir batin bagi penduduk. Tradisi seperti itu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat lokal lereng Gunung Merapi saja, karena secara umum hal ini masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa.

Oleh sebab itu, kehidupan masyarakat lokal Jawa khususnya di lereng Gunung Merapi tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur roh dan makhluk halus. Hal itu diperkuat karena kepercayaan, adat-istiadat dan tradisi warisan nenek moyang masih menjadi hal yang diperhatikan. 

Selama mereka masih menjaga dan melaksanakan tradisi turun temurun tersebut sesuai tata cara yang telah ada sebelumnya, masyarakat merasa lebih aman dan terjamin keselamatannya oleh roh dan makhluk halus. Walaupun sebenarnya kepercayaan itu hanya dianut oleh golongan orang tua saja dibanding oleh golongan yang lebih muda.

Peran dan Fungsi Folklor Asal Usul Gunung Merapi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, folklor asal usul Gunung Merapi telah menciptakan kepercayaan terhadap makhluk halus pada masyarakat lokal sekitar Gunung Merapi. Kepercayaan tersebut juga menghasilkan adanya tradisi seperti upacara dan selametan yang sifatnya komunal sehingga dapat meningkatkan rasa solidaritas kolektif.

Mengkutip dari Casuarina (2003), kepercayaan tersebut juga berperan menjadi pendorong para warga untuk selalu melakukan tindakan dan berpikir positif agar tidak mendapat musibah. Misalnya adalah dengan tidak merusak lingkungan di sekitar Gunung Merapi, bertingkah laku sopan kepada siapapun, melibatkan diri dengan kegiatan dan kelompok masyarakat, serta giat bekerja untuk mengisi waktu. 

Hal-hal positif coba dibangun oleh penduduk lokal di sekitar Gunung Merapi berkat adanya rasa nyaman dan ketentraman batin yang diberikan oleh roh-roh penjaga desa yang mereka sebut danyang pepundhen.

Selain itu, folklor ini juga mempunyai fungsi-fungsi seperti yang diklasifikasikan oleh W. R. Bascom seperti berikut:

  • Sebagai proyeksi atau pencermin angan-angan suatu kolektif.

Cerita asal usul Gunung Merapi telah menjadi cerminan dari tingkah laku masyarakat lokal lereng gunung tersebut.  Hal itu dapat dilihat dari suatu kejadian saat Merapi sedang dalam status siaga dan kemungkinan meletus, warga sekitar menganggapnya sebagai ‘kemarahan’ para roh penjaga Merapi. 

Kemudian mereka pun membuat sesaji sebagai permintaan maaf dan secara kebetulan Gunung Merapi kembali tenang dan para warga selamat. Dari kejadian itu warga pun semakin percaya bahwa memberikan sesaji dan melakukan tradisi nenek moyang mereka benar-benar dapat membina hubungan yang baik dengan roh penjaga desa.

  • Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dalam lembaga-lembaga kebudayaan.

Cerita asal usul Gunung Merapi menjadi dasar para warga sekitar untuk melaksanakan salah satu tradisi turun temurun yaitu tradisi labuhan. Mereka percaya jika melaksanakan dan ikut serta dalam tradisi tersebut maka akan mendapat keberkahan dan keselamatan.

  • Sebagai alat pendidikan.

Amanat dari cerita Empu Rama dan Empu Pamadi bisa dijadikan sebagai nilai pendidikan bahwa kita harus mau mendengarkan dan menerima nasehat yang bermaksud baik serta tidak keras kepala. Jika tidak maka akan mendapatkan celaka seperti yang terjadi pada kedua empu itu.

  • Sebagai pengawas norma-norma yang harus dipatuhi oleh kolektifnya.

Kepercayaan terhadap roh halus telah mempengaruhi pikiran para warga di desa sekitar Gunung Merapi. Meski tidak semua mempercayainya saat ini, setidaknya kepercayaan itu telah membentuk norma-norma lokal yang harus ditaati oleh setiap warganya.

Demikian sedikit analisis aspek folklor dari cerita asal usul Gunung Merapi. Tentu saja butuh kajian lebih lanjut agar dapat memahami lebih menyeluruh terkait topik ini. Meski begitu, dapat dilihat bahwa beragam folklor yang menghiasi kehidupan Nusantara sangatlah menarik dan mengandung makna sosial budaya jika ditelusuri lebih lanjut. 

Folklor dan pengetahuan tradisional bukan sekedar cerita dan hiburan, tetapi lebih merupakan bagian kehidupan masyarakat itu sendiri.

Referensi

Casuarina, Yan. 2003. Cerita Rakyat Gunung Merapi di Kelurahan Hargobinangun Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Tidak diterbitkan.

Endraswara, Suwardi (Ed.). 2013. Folklor Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Histori.id. Legenda Asal Usul Gunung Merapi, diambil dari https://histori.id/legenda-asal-usul-gunung-merapi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun