Sebelumnya, saya sudah membahas tentang salah satu sub-disiplin antropologi, yakni antropologi kesehatan. Setelah mengenalinya, kali ini saya akan membahas "peralatan" yang dapat dipakai para peneliti di bidang ini.Â
Dalam mengamati suatu fenomena kesehatan, dapat digunakan tiga pendekatan atau analisis teoretikal yang berakar dari ilmu sosiologi seperti berikut.
Analisis Struktural-Fungsional
Pada analisis ini, kesehatan dan pengobatan dikaitkan dengan struktur sosial yang ada di masyarakat. Menurut Talcott Parsons, akan ditemukan dua peran (role) dalam masyarakat terhadap suatu fenomena kesehatan, yakni sick role atau peran sakit, dan physician's role atau peran pengobat yang biasanya disandang oleh dokter dan tabib.
Peran sakit merupakan pola perilaku individu yang mengidap sebuah penyakit. Menurut Parsons, setidaknya ada tiga karakteristik dari peran tersebut, yaitu:
- Penyakit 'membebaskan' orang-orang dari kewajiban rutinnya.
Mengidap suatu penyakit dapat menjadi alasan bagi orang yang sakit untuk tidak melakukan aktivitas rutinnya, seperti bekerja atau pergi ke sekolah. Namun, orang yang sakit tidak dapat langsung mengakui dirinya sedang sakit. Perlu sebuah keterangan dari ahli kesehatan agar orang yang sakit bisa menganggap dirinya benar-benar sakit supaya mendapat izin untuk tidak bekerja atau tidak menghadiri kelas di sekolah.
- Orang yang sakit pasti ingin sehat kembali.
Tidak ada satu orang pun yang ingin sakit, kecuali pada orang-orang yang berpura-pura sakit. Peran sakit bermanfaat bagi mereka demi menghindar dari tanggung jawab atau hanya sekedar mencari perhatian.
- Orang yang sakit harus meminta tolong kepada yang berkompeten.
Orang yang sakit sudah seharusnya pergi ke praktisi kesehatan yang berkompeten untuk berobat atau berkonsultasi mengenai kesehatannya. Jika tidak, kemungkinan besar manfaat dari peran sakit tidak akan didapatkan.
Sementara peran pengobat atau physician's role merupakan suatu peran yang berfungsi memeriksa orang benar-benar sakit atau tidak dan berusaha untuk menyembuhkannya. Untuk melakukannya, menurut Parsons, pengobat menggunakan pengetahuan khusus masing-masing. Mereka menggunakan informasi personal dari pasien dalam proses penyembuhan dan mengikuti saran dokter yang berguna dalam proses perawatan.
Seringkali hubungan antara dokter dan pasien bersifat hierarkis, meski berbeda-beda di tiap masyarakat. Seperti contohnya di Jepang, dokter mempunyai kewenangan yang besar terhadap pasiennya. Mereka memiliki kewenangan dalam memutuskan seberapa banyak informasi mengenai penyakit yang akan diberitahukan kepada pasien. 30 tahun yang lalu, para dokter di Amerika Serikat juga melakukan hal yang sama. Hingga muncullah sebuah gerakan membela hak para pasien dengan meminta dokter untuk memberitahukan informasi medis pasiennya secara lengkap. Selanjutnya, hubungan antara dokter dan pasien pun menjadi lebih setara, baik di Eropa atau bahkan di Jepang.
![Talcott Parsons (asanet.org)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/04/17/parsons-607a5a9b8ede483840559d52.jpg?t=o&v=770)
Pada akhirnya, kemampuan orang sakit untuk sembuh tergantung pada sumber daya. Hal itulah yang menyebabkan orang-orang miskin tidak mudah dalam mendapatkan perawatan kesehatan. Kritik pun dilayangkan kepada analisis Parson yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa dokter memikul tanggung jawab utama dalam masalah kesehatan. Padahal dengan pendekatan yang berorientasi pada pencegahan akan membuat kedudukan dokter dan pasien menjadi sama dalam menangani masalah kesehatan.
Â
Analisis Interaksi-Simbolik
Kesehatan dan pengobatan dalam analisis ini dianggap terkonstruksi secara sosial oleh interaksi orang-orang. Kesehatan yang terkonstruksi secara sosial dapat dilihat pada masyarakat miskin yang menganggap kelaparan dan malnutrisi merupakan hal yang wajar. Sama halnya dengan masyarakat kelas atas yang tidak terlalu memikirkan efek samping dari pola makannya.
Respon terhadap suatu penyakit juga merupakan konstruksi sosial, seperti pengidap AIDS yang punya rasa takut dan kefanatikan tak logis, siswa yang tidak peduli dengan penyakit saat masa liburan tetapi merasa sakit di masa menjelang ujian tengah semester. Oleh karena itu, bagaimana seseorang merasakan sebuah penyakit pastinya akan berpengaruh pula pada perasaannya. Keadaan itu sering disebut gangguan psychosomatic.
![Erving Goffman (nl.pinterest.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/04/17/erving-goffman-and-sociology-607a5c548ede48673f481ad6.jpeg?t=o&v=770)
Sosiolog Joan Emerson (1970) juga memberi gambaran mengenai cara seorang dokter pria yang melakukan tes ginekologi. Seorang pria yang menyentuh alat genital wanita bisa saja dianggap sebagai tindakan seksual atau bahkan pelecehan. Maka dari itu, demi menjaga profesionalitas dan meyakinkan pasien, dokter pria itu menghias ruangan tesnya penuh dengan peralatan medis.
Ia juga mengenakan seragam dan bersikap profesional, menganggap menyentuh genital wanita sama seperti menyentuh bagian tubuh lainnya. Seorang perawat wanita juga biasanya menemani dokter tersebut dalam tes ginekologi. Selain untuk membantu dokter, kehadiran perawat juga berfungsi menghilangkan kesan negatif "pria dan wanita berduaan di satu ruangan".
Sehingga dapat disimpulkan, analisis interaksi-simbolik memiliki kelebihan untuk mengungkap apa yang orang-orang pandang sebagai sesuatu yang sehat atau berbahaya, tergantung faktor-faktor lain baik medis atau non-medis. Analisis ini juga menunjukkan bahwa dalam prosedur kesehatan, secara tidak langsung staf medis dan pasiennya saling terlibat satu sama lain. Sayangnya, analisis ini belum bisa memberikan jawaban yang obyektif tentang standar dari keadaan yang baik dan sehat.
Â
Analisis Konflik Sosial
Analisis Konflik Sosial ini menjelaskan sebuah fenomena kesehatan yang berhubungan erat dengan isu kesenjangan sosial. Analisis ini dilatarbelakangi dari pemikiran Karl Marx, berusaha mengaitkan pengobatan dengan kapitalisme.
![Karl Marx (welt.de)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/04/17/karl-marx-revolutionaer-und-theoretiker-der-arbeiterklasse-607a5da48ede483c29003f52.jpg?t=o&v=770)
- Akses ke Perawatan Medis
Pada masyarakat kapitalis, kesehatan dijadikan sebuah komoditas yang akhirnya membuat faktor kekayaan berpengaruh pada kesehatan. Hal tersebut menjadi masalah karena tidak semua masyarakat bisa mendapatkan perawatan medis yang sama, khususnya masyarakat miskin. Masalah seperti ini terjadi di masyarakat negara industri, seperti Amerika Serikat contohnya, yang mana sulitnya akses bagi orang miskin terjadi karena tidak ada sistem perawatan medis yang universal. Para ahli teori konflik pun mengakui bahwa dalam masyarakat kapitalis, orang-orang kaya mendapatkan perawatan medis yang lebih memadai ketimbang orang-orang miskin.
- Efek dari Motif Keuntungan
Beberapa ahli teori konflik sosial justru berpendapat bahwa karakteristik pengobatan kapitalis adalah masalah sesungguhnya. Karakteristik itu ditunjukkan dari adanya motif mencari keuntungan. Motif tersebut telah merubah para dokter, rumah sakit, dan industri farmasi menjadi sebuah perusahaan bermilyar dollar. Tugas utamanya pun bergeser untuk mencari keuntungan setinggi-tingginya dibanding menyembuhkan orang sakit. Imbasnya adalah seringkali dilakukan tes-tes dan operasi bedah yang sebenarnya tidak perlu. Namun, pada akhirnya masyarakat tetap menerima keadaan seperti itu. Biaya yang mahal dalam perawatan medis sudah dianggap normal apalagi jika menyangkut penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan.
- Politik dalam Pengobatan
Pengobatan medis yang sejatinya merupakan hal yang ilmiah mengklaim bahwa dirinya netral dalam hal politik. Meski begitu, terkadang pengobatan yang ilmiah itu memilih salah satu pihak dalam suatu isu sosial. Contohnya seperti yayasan kesehatan yang selalu menentang aturan kesehatan yang berbayar dari pemerintah, serta menolak segala rencana program kesehatan dari pemerintah. Bahkan jika diulik lebih dalam lagi, secara ilmiah perawatan medis telah mendepolitisasi gejala kesehatan dengan mengecualikan isu sosial di dalamnya agar menjadi gejala biologis yang lebih sederhana. Hal itu dapat dilihat dari penjelasan penyakit secara ilmiah, bahwa penyakit hanya berhubungan dengan bakteri dan virus dan tidak ada hubungannya dengan kesenjangan sosial. Dengan kata lain, buruknya sanitasi dan pola makan yang tidak sehat telah menyebabkan orang menjadi sakit. Lalu bagaimana jika sejak awal orang yang sakit itu memang sudah miskin? Itu artinya isu kesenjangan sosial juga berpengaruh pada kesehatan masyarakat.
Jadi singkatnya, analisis konflik sosial ini menitikberatkan fenomena kesehatan dengan isu kesenjangan sosial. Adanya isu tersebut menyebabkan perbedaan kualitas kesehatan antara golongan kaya dan golongan miskin. Kritik paling umum diterima oleh analisis ini adalah turunnya keuntungan di pelayanan kesehatan Amerika Serikat yang dilatarbelakangi standar hidup yang lebih tinggi dibanding masyarakat lainnya.
Dari ketiga analisis teoretik diatas dapat disimpulkan bahwa fenomena kesehatan memiliki keterkaitan juga dengan isu sosial. Bahkan, ilmuwan Perancis Louis Pasteur (1822 - 1895) yang semasa hidupnya meneliti bakteri yang menyebabkan penyakit, memberikan sebuah pernyataan bahwa faktor lingkungan sosial dimana bakteri berada lebih berpengaruh pada penyakit dibanding bakteri itu sendiri.