Negara Jepang identik dengan agama Shinto-nya yang menyembah matahari. Namun sebenarnya terdapat kepercayaan lain selain Shinto yaitu, Buddha, Kristen Katolik, dan agama minoritas lainnya.
Berdasarkan Kementerian Pendidikan Jepang, per tahun 2017 penganut agama di Jepang berjumlah total 290 juta orang dengan rincian, agama Shinto dianut 107 juta orang, 89 juta orang merupakan pengikut agama Buddha, 3 juta orang beragama kristen dan katolik, dan ada 10 juta orang yang menganut agama lain (Mulyadi, 2017).
Jumlah penganut agama di Jepang sendiri dua kali lipat lebih banyak dari jumlah total penduduknya. Hal ini dikarenakan setiap orang di Jepang memeluk lebih dari satu kepercayaan dan mereka ikut dalam perayaan berbagai agama.
Sistem kepercayaan di Jepang punya warna tersendiri dengan memberikan kebebasan kepada masyarakatnya melaksanakan suatu kepercayaan yang tidak condong kepada satu kepercayaan saja. Hal itu bisa dilihat dari adanya penggabungan ajaran dua kepercayaan yaitu kepercayaan Shinto dan Buddha (Sasaki, 1995:71 dikutip oleh Mulyadi, 2017). Contohnya di rumah mereka terdapat kamidana yang merupakan tempat pemujaan agama Shinto dan butsudan yang bercorak Buddha.
Kepercayaan Shinto
Shinto sendiri sebenarnya terdiri dari dua kata yaitu “Shin” dan “To”. “Shin” bermakna roh dan “To” berarti jalan. Jadi Shinto itu bisa diartikan sebagai “jalannya roh” untuk roh-roh manusia yang telah wafat atau pun juga roh-roh langit dan bumi. Shinto adalah kepercayaan tertua dibanding kepercayaan lain di Jepang dan diyakini sebagai kepercayaan asli masyarakat Jepang.
Awal kemunculan kepercayaan ini masih belum pasti diketahui. Shinto menyebar di Asia lalu menjadi populer di Jepang dan memiliki banyak pengikut disana.
Kepercayaan Shinto menegaskan bahwa semua benda di dunia, baik yang bernyawa atau tidak, wajib untuk dihormati. Hal itu berdasarkan pada konsep Kami, yang dipercaya oleh penganut Shinto sebagai daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka, sehingga bisa diartikan juga sebagai Tuhan atau dewa di kepercayaan Shinto.
Mereka juga meyakini bahwa alam semesta ini adalah tempat bersemayamnya para Kami sehingga muncul sebuah keharusan untuk merawat dan menghormati alam semesta ini. Namun, relasi antara Kami dengan manusia dalam ajaran Shinto justru lebih banyak horizontal dibanding vertikal. Hal itu disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa Kami bersemayam di alam semesta, maka dibangunlah kuil penjaga desa di tempat-tempat seperti di kaki gunung, hutan, laut, dan di tengah pemukiman penduduk.
Kepercayaan Shinto juga dikenal selalu memulai dan mengakhiri setiap upacara keagamaannya dengan pensucian yang disebut Upacara Harae. Upacara Harae ini dilakukan untuk membersihkan manusia dari kejelekan dan keadaan negatif lainnya, karena menurut kepercayaan Shinto setiap manusia itu pada hakikatnya adalah bersih dan baik.