Anak yang bertubuh besar, tinggi, ataupun dewasa dari yang lain karena tinggal kelas (kemampuan akademisnya kurang), lebih condong menjadi ketua geng dan menguasai. Dia lebih menonjol secara fisik yang lebih kepala dan suka menindas orang yang lemah dari dirinya.
Sebuah pertanyaan pasti terlontarkan, bagaimana dengan dengan posisi anak yang berhati lembut itu? Dirinya sering menjadi bualan dan ejekan, ditempatkan pada posisi yang rendah di mata lainnya. Saat dirinya mencoba lebih pintar dan dekat dengan sosok yang lebih yaitu gurunya, dia malahan tambah tidak disukai.
Dicela seperti perempuan lah karena tidak mengikuti kebiasaan jelek yang harus diikuti, pilihannya hanya tidak perlu mencari lingkaran pertemanan baru. Kebahagiaannya lebih kepada kesendiriannya, ataupun berada dekat dengan sosok yang sama-sama direndahkan untuk dapat saling berupaya membangun diri dan menunjukkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Namun, hati yang terluka tidak terhindarkan di saat mempercayai dan meyakini sosok orang yang dia cintai malahan membuat dirinya dipermalukan di depan kelasnya.
Sepucuk surat yang dia yakini untuk disampaikan ke sosok pertama yang membuatnya jatuh cinta, malahan menjadi momen di mana dirinya menjadi tertawaan yang lainnya. Saat itulah dirinya menjadi benci dan tidak akan mengulang kesalahan yang sama serta berharap tidak akan pernah bertemu kembali.
Kehidupannya harus berlanjut, saat dirinya tidak mendapatkan posisi pendidikan yang lanjutan yang dicitakan, dia tahu untuk tidak boleh berhenti berjuang. Beasiswa akan menjadi andalannya untuk dapat berpijak dalam meraih pendidikan.
Fase lanjutan pun harus dilalui dengan sosok orang "brengsek" lainnya yang mengklaim berkuasa dan seolah menjadi sosok populer yang patut dicontoh. Namun selama sosok populer itu bukan mengenai akademis, dia tidak pernah menghiraukan dan memendam sakitnya untuk menjadi tenaga, meraih keberhasilannya. Memendam adalah apa yang diajarkan ibunya, dan berkeyakinan bahwa semua perbuatan pasti ada balasannya.
Kehidupannya pun berlanjut kembali, bukan percintaan yang menjadi tujuannya namun adalah keberhasilan dalam pendidikan. Mungkin hanya perlu memendam, dan menjadi sedikit motivasi namun tidak sebesar makna keluarga yang menjadi sumber tenaganya.
Fase ketiga yang dia harus lalui sepertinya menjadi waktu di mana bakat dan kemampuannya terlihat dan juga terasah. Kegiatan ekstrakulikuler bukan hanya melatih fisiknya lebih baik lagi namun bagaimana mengutarakan pendapat dan bersikap. Apalagi saat itu menjadi waktu yang bersinar bagi dirinya, di samping memahami lagi apa itu rasa egois maupun ekslusivitas sebuah perkumpulan.
Saat itu dia memiliki sosok baru yang disukainya, namun dia hanya dijadikan sebuah sahabat untuk disuruh-suruh. Mungkin juga bukan sahabat, lebih ke arah teman yang kadang-kadang saja dianggap. Dirinya memang terbentuk untuk terbiasa dengan kesendiriannya ataupun membatasi lingkaran pertemanan dalam hidupnya.
Sebuah peristiwa pun terjadi, di saat dia harus berpapasan dengan jalur yang salah karena jiwa mudanya, sifat asli lingkungannya semakin berubah. Hingga dia tak memahami mana yang benar dan mana yang salah, semua menghakimi dirinya. Namun semua hal di luar itu, keluarga lah yang berjuang menyadarkannya, membawa dirinya lebih baik.