Sesaat mudik membawa kita untuk menggapai kehangatan keluarga yang lama kita rindukan. Bertemu sanak-saudara yang lama tak berjumpa maupun sekedar menemani lebih lama kedua orang tua yang lanjut usia adalah momen-momen yang sangat dinantikan.
Apalagi yang sudah berkeluarga, dengan adanya momen lebaran ini, keintiman keluarga diharapkan semakin terjaga. Hubungan silaturahim yang terputus diharapkan dapat terjalin kembali, dan bahkan yang sudah kuat menjadi semakin erat seperti keluarga.
Namun setelah lebaran selesai apakah makna yang dapat diambil dari segala upaya menahan nafsu selama sebulan? Apakah bulan Ramadan yang diakhiri dengan Idul Fitri menjadi sarana memupuk diri lebih baik lagi?
Sebenarnya sangat beruntung untuk tinggal di negara Indonesia dalam merayakan Idul Fitri ini. Mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) dan juga cuti bersama yang cukup lama, mengisyaratkan bahwa berada di negara yang mayoritas muslim, segala kebutuhan peribadatan sangat terpenuhi.
Bukan hanya untuk warga muslim, masyarakat non muslim pastinya mendapatkan perlakukan yang sama. Setiap hak-hak warga negara dijamin dengan baik, dengan batasan-batasan tertentu yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan.
Sesaat kita harusnya bisa paham, bahwa kurang lebih sebulan menahan diri dari rasa ego, emosi diri, serta hawa nafsu yang lain, mengajarkan manusia untuk bisa lebih bersabar dan bertindak seperti manusia sesuai kodratnya. Tatkala emosi kita dikekang bukan berarti kita terpencara melainkan dibatasi agar tidak bertindak yang melampaui batas.
QS Al-A'raf ayat 179 yang berbunyi;
{:179}
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
Terkadang kita lalai dan mudah lupa, itulah sifat dasar manusia namun bagi yang bisa menjadi manusia yang sesuai perintah-Nya, mengartikan manusia tersebut sudah menjadi sosok makhluk yang mulia.
Tak ada yang menganggap dirinya diistimewakan di dalam bermasyarakat selain akhlaq dan perilakunya yang akan mengantarkan dirinya kembali dengan bahagia di sisi Sang Pencipta.
Sehingga, di saat masih berada di dunia selayaknya manusia bisa memaknai momen setelah lebaran ialah waktu yang tepat untuk selalu memperbaiki diri. Segala ibadah yang dilakukan saat Ramadan seyogyanya tidak ditinggalkan. Makna menjadi makhluk hidup sejatinya juga kan lebih tinggi, bahwa di dunia ini manusia hanyalah ciptaan yang mencari segala kebaikan dan membaginya sebagai bekal bertemu Sang Khaliq nantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H