Mohon tunggu...
Rifky Bagas Nugrahanto
Rifky Bagas Nugrahanto Mohon Tunggu... Penulis - Pegawai Negeri Sipil

Mengawali penulisan artikel di situs pajak.go.id, serta merambah pada publikasi di media cetak. Beberapa artikel telah terbit di antaranya di Harian Ekonomi Neraca dan Investor Daily Indonesia. Perjalanan menulis ini pun mengantarkan saya dapat ikut tercatat dalam buku dokumentasi “Voyage Indonesia 2018 : Kala Dunia Memandang Indonesia” dalam momen Annual Meetings WBG-IMF tahun 2018, Bali. Menjadi salah satu dari 100 artikel opini dan feature yang menyuarakan tentang momen berharga itu dan manfaatnya untuk Indonesia. Beberapa dokumentasi tulisan saya dapat dilihat juga pada https://rifkyjournals.blogspot.com/.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Komoditas Pangan, Kebijakan Pertanian, dan Pembangunan Infrastruktur

19 Mei 2019   00:34 Diperbarui: 19 Mei 2019   00:56 3146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://goldenholidaytravel.com

Pangan merupakan suatu kebutuhan dasar utama bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup. Oleh karena itu, kecukupan pangan bagi setiap orang pada setiap waktu merupakan hak asasi yang harus dipenuhi (Ismet, 2007, Suryana, 2008). Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi suatu negara. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat terjadi jika ketahanan pangan terganggu, yang pada akhirnya dapat membahayakan stabilitas nasional.

Laju pertumbuhan penduduk menjadi tantangan karena produksi pangan stagnan, bahkan cenderung turun. Pada tingkat global dan nasional, produksi pangan dihadapkan pada berbagai persoalan besar. Di antaranya semakin terbatasnya lahan dan air untuk pertanian erosi dan intrusi air laut, serta perubahan iklim yang memicu ledakan hama dan mengacaukan budidaya.

Food and Agriculture Organization (FAO) mengiyakan bahwa produksi pangan dunia harus meningkat 60 persen pada tahun 2050. Saat itu, jumlah penduduk diperkirakan 9.3 miliar orang dibandingkan saat ini 7,7 miliar (FAO, 2015).

Komoditas Pangan Indonesia

Tahun 2050 penduduk Indonesia diperkirakan 366 juta jiwa, bandingkan dengan populasi pada tahun 2019 sebesar 267 juta jiwa. Jumlah penduduk kelompok 15-64 tahun (usia produktif) mencapai 183,36 juta jiwa atau sebesar 68,7 % dari total populasi (katadata, 2019).

Sebuah lonjakan yang cukup besar atas jumlah kepadatan penduduk di Indonesia yang menegaskan diperlukannya strategi-strategi pangan yang responsif. Kebijakan-kebijakan pemerintah diharapkan pula proaktif mendukung produktivitas komoditas pangan yang dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia.

Namun, sebuah fakta miris terangkat ketika ada upaya dari pemerintah untuk melakukan keseragaman pangan. Sebuah resiko yang dapat mengakibatkan bencana jika hal ini dilakukan, mengingat bahwa budaya-budaya Indonesialah yang menciptakan bervariasinya jenis pangan.  Hanya 30 jenis tanaman pangan yang dibudidayakan untuk memenuhi 95 % kebutuhan pangan global. Empat di antaranya beras, gandum, jagung, dan kentang.

Contohnya jenis pangan yang terlihat tidak populer seperti sagu? Di manakah posisi sagu yang menjadi sumber makanan pokok terutama di wilayah timur Indonesia? Keberadaan sagu khususnya di Papua pun memerlukan perhatian yang serius. Sebagian besar tanaman sagu di Papua, siap panen namun dibiarkan di alam sehingga terancam mati sia-sia. Ironisnya sebagian besar sagu berada di kabupaten Asmat yang rentan terkena bencana kesehatan dan gizi buruk.

Sebagai salah satu sumber pangan potensial, sagu harus dipertahankan di masyarakat yang masih mengkonsumsinya. Keunggulan sagu sebagai sumber pangan masa depan yang dirangkum dalam buku Sago Palm : Multiple Contributions to Food Security and Sustainanble Livelihood (Springer, 2018).

Sagu mampu tumbuh di rawa-rawa dan lahan gambut. Ketika tanaman lain tidak bisa tumbuh. Sagu juga memiliki produktivitas sangat tinggi, 150-300 kg tepung sagu per tanaman. Sebagai perbandingan, untuk menghasilkan 30 juta ton padi, dibutuhkan 1 juta hejktar lahan sagu. Sagu juga bisa diolah menjadi gula cair.

Tantangan Ketahanan Pangan

Lebih lanjut, kasus kelaparan dan kurang gizi menjadi ancaman terbesar di berbagai belahan dunia. Ada banyak studi dan laporan yang mengarah pada kurang tersedianya suplai pangan, mahalnya harga pangan, dan adanya beragam tantangan ketahanan pangan (Henk Breman dan Stringer Kofi Debrah, 2003).

Temuan dari Randy Stringer di Australia patut membawa perhatian. Ditemukan bahwa sesungguhnya ada cukup pasokan pangan untuk memberi makan dunia. Data tersebut, mungkin terlalu tua sebagai referensi kondisi sekarang ini.

Terdapat pendapat lain dari Robert Bastes (1981) yang cukup bertentangan yang menyatakan bahwa bukan kekurangan pangan sebagai penyebab tinggi harga pangan melainkan politik pertanian. Sejumlah data menarik contohnya di beberapa negara afrika menunjukkan adanya kebijakan dan politik sistematis untuk menempatkan petani dalam posisi yang kurang menguntungkan dibanding konsumen di perkotaan besar.

Sejarah juga telah mendokumentasikan bahwa umumnya pemerintah kolonial mewarisi jenis lembaga pengatur harga pangan yang mirip, yakni badan negara urusan logistic (state marketing board). Lembaga ini berfungsi membeli seluruh produk pangan yang laku dipasaran global (cash crops), menentukan harga beli dan jualnya. Selain itu mengekspornya serta mendistribusikan ke pelosok negeri.

Sudut pandang lainnya, pada saat yang sama para petani di pedesaan hidup secara terbatas pada tingkat subsisten. Apalagi karena sejumlah komoditas pangan dibeli dengan harga sangat rendah oleh pemerintah. Akibatnya petani enggan untuk menanam komoditas tersebut dan beralih ke produk pertanian yang harga jualnya lebih tinggi dan disubsidi penanamannya oleh pemerintah.

Wilayah Asia Tenggara pun mengungkap bukti-bukti yang menjelaskan bahwa permasalahan bukan terletak pada kekurangan suplai pangan. Model kebijakan pangan yang merugikan petani dan pendekatan politik yang tidak tepat sasaran untuk memecahkan kasus kelaparan.

Ketahanan pangan sendiri bukan berarti swasembada (self sufficiency). Menurut Simon Maxwell (1996) dan Robert Stinger (2000), ada banyak komunitas yang tidak bisa (tidak mampu) memproduksi cukup pangan bagi dirinya karena berkurangnya air, orang yang mau bercocok tanam.

Pembangunan Infrastruktur Pertanian

Dalam konteks global, pembangunan pertanian Indonesia memiliki keterkaitan dengan pembangunan pertanian negara tetangga seperti ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations) dan Asia bahkan dunia (ASEAN Sectretariat, 2008; Plummer, 2009). Kebijakan yang diimplementasikan di negara lain akan memengaruhi dan berkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan pertanian di Indonesia, dan sebaliknya.

Bahkan belakangan ini, fenomena daya saing akibat kebijakan (policy-induced competitiveness) sudah semakin diperhatikan, sehingga kebijakan yang tepat (right policy) harus menjadi perhatian serius juga. Oleh karena itu, analisis pembelajaran atas pengalaman terbaik dari negara lain merupakan salah satu langkah strategis dalam membahas dan menganalisis serta merumuskan arah dan kebijakan pembangunan pertanian Indonesia.

Jepang salah satunya, negara dengan pertumbuhan nilai tambah pendapatan petani tertinggi jika dibandingkan dengan negara di India, Thailand, dan Indonesia (World Bank 2013 dan FAO 2014). Walaupun memiliki pangsa pasarnya relatif rendah namun pendapatan nominal petani di Jepang jauh lebih tinggi dan lebih riil. Peningkatan pendapatan petani secara riil harus menjadi sasaran dan target utama bagi seluruh upaya pembangunan pertanian, di samping harus diikuti dengan peningkatan produksi dan harga riil komoditas pertanian.

Kelebihan lainnya, ialah secara mendasar arah dan sasaran  kebijakan pertanian Jepang meliputi; pengembangan strategi ekspor sesuai dengan spesifikasi khusus dan negara tujuan, pengembangan budaya dan industri pangan, dan aliansi strategis berbagai industri. Selain itu, pengembangan dan promosi teknologi baru dan varietas, pengembangan strategi regional untuk reformasi strukturisasi pertanian, dan konsolidasi serta optimalisasi pemanfaatan lahan pertanian (peningkatan skala usaha) (Frans B.M. Dabukke dan Muhammad Iqbal, 2014).

Salah satu implementasi kebijakan operasional pemerintahan Jepang yang menjadi kunci dalam pembangunan pertanian adalah dukungan pembayaran langsung untuk pendapatan petani (direct payment for income support for farmers). Kebijakan tersebut memberi pembayaran langsung baik pembayaran tetap maupun pembayaran variable kepada setiap petani yang bersedia bergabung secara sukarela dalam sistem penyesuaian penawaran dan permintaan Kementerian Pertanian Jepang.

Besaran pembayaran langsung tersebut disesuaikan berdasarkan beda harga antara harga jual standar yang ditetapkan oleh pemerintah dengan harga jual panen petani. Besaran pembayaran ditetapkan untuk menutupi biaya pokok atau standar komoditas petani. Sedangkan untuk besaran pembayaran variabel ditetapkan untuk menjamin keuntungan normal petani.

Kebijakan operasional lainnya adalah pembayaran langsung untuk mendukung pendapatan petani perkebunan di dataran tinggi. Mekanisme dan implementasinya mirip dengan tanaman pangan. Perbedaannya hanya pada besaran pembayaran langsung didasarkan pada perbedaan mutu jual (bukan beda harga seperti tanaman pangan). Mekanisme dan implementasi kebijakan tersebut dialokasikan untuk komoditas dataran tinggi seperti gandum, kedelai, gula, bit, dan kentang.

Negara Indonesia seharusnya bisa menerapkan kebijakan yang sama dengan negara Jepang. Walaupun saat ini masih terkendala rendahnya kepemilikan lahan pertanian. Terlebih juga bagaimana terbatasnya akses ke lahan pertanian kritis dan kehutanan yang sebenarnya dapat menjadi potensi lahan yang produktif untuk dikembangkan, tanpa mengabaikan ekosistem lingkungan.

Tahun 2019 ini, pemerintah melalui Kementerian Pertanian mulai meningkatkan infrastruktur irigasi pertanian yang dilaksanakan dengan cara memberdayakan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Kelompok Tani. Program padat karya infrastruktur pertanian ini diharapkan dapat menyentuh langsung kebutuhan publik sehingga dapat memberikan kontribusi selain peningkatan pertanian, yaitu pengentasan kemiskinan. Selain itu juga, penyediaan layanan asuransi pertanian yang difungsikan untuk menggenjot potensi lahan dan optimalisasi lahan rawa di beberapa wilayah.

Lebih lanjut, pengelolaan pertanian di Indonesia harus mulai tersistem dengan baik. Infrastruktur dalam bidang kelembagaan pertanian harus terus diperkuat sebagai tempat bernaung para petani. Sudah saatnya pula, komoditas pangan menjadi sisi keunggulan utama yang dimiliki Indonesia. Pendekatan secara teknologi juga menjadi perhatian yang tidak boleh terabaikan. Peningkatan kualitas benih dan bibit harus juga dikembangkan dan ditingkatkan, dengan bantuan kontribusi dari tenaga ahli pertanian yang khususnya berasal dari dalam negeri, sehingga terjadi regenerasi Sumber Daya Manusia yang mumpuni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun