Sebagian besar manusia mengetahui jikalau otak manusia itu sangat kompleks. Sebagian besar lagi juga berpendapat bahwa otak manusia terdiri dari kubikel-kubikel sistem pengolah informasi. Terlebih juga diketahui persepsi yang mengandaikan bahwa otak manusia seperti sebuah lemari wardrobe yang banyak terdiri dari laci-laci yang tersusun rapi, dengan ukuran yang berbeda-beda.
Permasalahan sekarang bagaimana manusia dapat mengisi laci-laci kosong itu dengan informasi yang diperlukan? Manusia sepertinya tidak perlu mengumpulkan informasi untuk dimasukkan dalam kubikel otak. Sebenarnya kita mudah sekali terpapar informasi, melalu apapun yang kita lihat, rasa, maupun sentuhan tubuh kita.
Belum lagi, revolusi industri 4.0. membuka segala wawasan dunia hanya dalam genggaman tangan. Tak ada lagi keterbatasan informasi, melainkan manusia perlu memilah-pilah informasi mana yang benar ataupun benar-benar diperlukan.
Manakah informasi yang diperlukan, hanya kita sendiri yang mengetahuinya. Oleh karena itu, kemampuan mind mapping sangat dibutuhkan. Memiliki kemampuan mind mapping membantu kita menempatkan informasi yang berupa kenangan ataupun ilmu pengetahuan sesuai dengan tempatnya.
Sangat tidak bijak jika, kita tidak mengklasifikasikan informasi tanpa mengaturnya. Penempatan yang salah, akan membuat manusia terbebani hal-hal yang sebenarnya tak perlu diprioritaskan dan mengabaikan sesuatu hal yang semestinya penting bagi diri kita.
Beberapa jenis penempatan memori dalam otak manusia antara lain;
1. Laci perkembangan diri
Kita wajib menempatkan informasi yang menjadi fokus dalam tujuan hidup kita. Tiap-tiap periode umur mempunyai tujuan hidup yang progresif. Contohnya saat kita masih berada pada jenjang sekolah dasar, fokus utama kita adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi sekolah lanjutan.
Bukan berarti kita harus berpikiran semata-mata mengejar nilai teoritis. Kita harus mengubah cara pandang bahwa saat kita mendapatkan sekolah yang berkualitas maka kita berkesempatan mendapat peluang mengembangkan potensi diri serta dukungan agar kita berproses lebih baik lagi.
Berlanjut pula, saat kita telah bersiap untuk menuju jenjang sebagai pencari kerja. Kita harus fokus terhadap potensi apa yang kita miliki, kita kembangkan, dan kita gunakan sebagai daya tarik mendapatkan pekerjaan yang diinginkan;
2. Laci untuk hal-hal yang sangat dipedulikan
Manusia termasuk makhluk sosial yang fitrahnya untuk peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Namun, kita tidak perlu memperdulikan semua hal, karena memikirkan semua hal akan membuat diri kita kelelahan, dan tidak fokus terhadap tujuan hidup kita. Keluarga dekat, seperti ayah, ibu, suami atau isteri serta saudara kandung harus ditempatkan dalam laci prioritas untuk dipedulikan. Mereka akan menjadi satu-satunya bantuan yang kita harapkan seumur hidup.
Mereka adalah bagian tubuh dan jiwa kita yang terkait berdasarkan pertalian darah dan rasa. Oleh karena itu, menempatkan mereka sebagai bagian terpenting hidup dalam laci tersebut, membuat kita akan selalu teringat untuk tetap bangkit di saat kita menemui kesulitan maupun kegagalan;
3. Laci untuk hobi dan kegemaran
Hidup kita perlu sesuatu yang berwarna namun tidak berlebihan. Kita dapat mengisinya dengan kegemaran yang bermanfaat. Kegemaran yang dapat pula memberi manfaat bagi diri kita maupun lingkungan sekitar. Terkadang suatu kegemaran akan menjadi sesuatu potensi baru kita jika kita fokus mengembangkannya. Sehingga, menempatkan kegemaran dalam laci ketiga memberikan pengaruh yang baik bagi hidup kita;
4. Laci pembelajaran atas kegagalan
Terkadang kita sangat benci dengan kegagalan, kita merasa tidak berdaya dan selalu menyesalinya. Padahal dari kegagalan tersebut, manusia berproses untuk lebih baik lagi. Menghargai proses, berarti menghargai diri kita telah berupaya melakukan perbaikan. Mempercayai bahwa kita bisa memecahkan permasalahan yang menurut kita rumit, tanpa perlu kita melarikan diri tanpa menemukan solusinya.
Selain laci-laci di atas berarti kita tak perlu menyimpan informasi tak bermanfaat tersebut di dalam hidup kita. Seperti halnya, kritikan yang tidak membangun, hinaan mengenai penampilan yang mengisyaratkan suatu kasta tertentu, ataupun tindakan yang terlihat mengucilkan diri kita.
Oleh karena itu, buatlah hidup kita berharga dengan menempatkan informasi dan hal-hal bermanfaat ataupun tidak bermanfaat sesuai dengan tempatnya. Jika pengaruh buruk kita abaikan maka kita tidak perlu merasa sakit hati atas peristiwa-peristiwa yang menimpa diri kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H