Di era modern ini, teknologi digital sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, penggunaan media sosial terus meningkat, aplikasi seperti Instagram, Facebook, dan TikTok bukan lagi sekadar platform hiburan, tetapi menjadi pusat dari banyak aktivitas sosial.Â
Hampir setiap orang memiliki ponsel cerdas, terhubung dengan media sosial, dan bergantung pada internet untuk menyelesaikan pekerjaan, mencari hiburan, bahkan membangun relasi. Namun, di balik semua manfaatnya, dunia digital ini juga membawa tantangan: bagaimana kita menemukan keseimbangan antara dunia digital yang cepat dan dunia nyata yang sering kali terlupakan?
Salah satu masalah terbesar dalam interaksi kita dengan teknologi adalah kehilangan kontak dengan diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Saat menghabiskan terlalu banyak waktu menatap layar, kita sering kali menjadi "terputus" dari momen yang sebenarnya terjadi di sekitar kita.Â
Sebagai contoh, tidak jarang kita melihat orang-orang di tempat makan yang duduk bersama teman atau keluarga, tetapi justru lebih sibuk dengan ponselnya, mengunggah "insta-story" atau memeriksa komentar pada unggahan terbaru mereka. Alih-alih berkomunikasi dan berinteraksi langsung, mereka tenggelam dalam dunia maya. Situasi ini mencerminkan bagaimana dunia digital dapat memisahkan kita dari pengalaman hidup yang sebenarnya.
Saya sendiri pernah merasakan hal ini. Ada suatu masa ketika saya terlalu sering memeriksa media sosial, terpaku pada setiap notifikasi yang masuk. Tidak ingin ketinggalan apa pun, saya merasa perlu untuk terus aktif agar tetap "terlihat."Â
Ketika melihat teman-teman atau rekan kerja saya mengunggah pencapaian, perjalanan, atau kegiatan menarik lainnya, saya mulai merasa tertinggal dan cemas. Semakin sering saya melakukannya, semakin saya merasa lelah dan kehilangan makna dari hubungan yang nyata. Saat itulah saya menyadari pentingnya melepaskan diri dari ponsel dan kembali hadir dalam dunia nyata.
Keseimbangan antara dunia digital dan nyata bukanlah sesuatu yang mustahil. Kuncinya adalah kesadaran dan disiplin dalam penggunaan teknologi.Â
Saya memutuskan untuk menetapkan waktu tertentu untuk membuka media sosial dan menyediakan waktu khusus untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekitar tanpa gangguan layar.
 Di luar jam tersebut, saya mencoba untuk fokus pada kegiatan yang benar-benar terjadi di dunia nyata, seperti berbincang dengan teman tanpa gangguan notifikasi, membaca buku fisik, atau menikmati pemandangan di sekitar tanpa perlu memotret atau merekam.
Saya juga percaya kita bisa mengubah cara pandang terhadap media sosial.Â
Alih-alih melihatnya sebagai tempat "berkompetisi" untuk popularitas atau perhatian, saya mulai menggunakannya sebagai sarana terhubung secara positif, berbagi hal-hal bermanfaat, dan tidak merasa terbebani untuk selalu "hadir." Cara ini membuat interaksi digital saya menjadi lebih sehat dan mengurangi kecemasan atau tekanan yang sering muncul dari dunia maya.