Mohon tunggu...
Rifky AdiDharmawan
Rifky AdiDharmawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

ketika saya kehilangan rumah disitu lah saya berjalan tanpa arah.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Pernikahan Dini dan Solusi untuk Mencegahnya

26 Juli 2022   18:25 Diperbarui: 26 Juli 2022   18:28 1745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tahu kah anda ? Pernikahan merupakan suatu jalan bagi Wanita dan laki-laki untuk menciptakan suatu keluarga. Menurut islam, pernikahan  merupakan salah satu ibadah dan pembuka lapangan rezeki. Makanya menurut islam pernikahan dianggap sakral dan diharapkan dilakukan sekali dalam seumur hidup.

Menurut peraturan tentang ketentuan batas umur pernikahan yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU No 1 pada tahun 1974 tentang perkawinan,Pernikahan Dilakukan oleh Wanita yang usianya cukup dewasa untuk menikah. 

Menurut hukum perkawinan diindonesia juga mengatur perkawinan dapat dilakukan jika mempelai laki-laki sudah berusia 19 tahun, sedangkan mempelai perempuan berusia 16 tahun. Jika salah satu dari mempelai berusia kurang dari ketentuan, maka dinyatakan sebagai pernikahan dini.

Kematangan emosi merupakan aspek yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan pernikahan. Keberhasilan keluarga sangat ditentukan oleh kematangan emosi  suami  istri. Oleh karena itu, batasan usia untuk menikah menjadi penting karena pernikahan membutuhkan kedewasaan biologis.

 Pernikahan dini merupakan fenomena yang lumrah dalam masyarakat Indonesia. Pernikahan dini (di bawah umur) adalah praktik pernikahan di mana salah satu atau keduanya dilakukan oleh pasangan muda. Pernikahan  anak di bawah umur terus bermunculan seperti jamur. Berdasarkan data tahun 2018, pernikahan dini terjadi di seluruh wilayah Indonesia. 

Pada tahun 2018,  1.184.100 wanita berusia 20 hingga 24 tahun  menikah pada usia 18 tahun. Yang paling umum adalah Jawa, dengan 668.900 anak perempuan menikah dengan anak di bawah umur.  

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa angka perkawinan anak di bawah umur di Indonesia sangat tinggi. Jika tren ini terus berlanjut, masalah seperti kurangnya pengetahuan dan wawasan, dan ledakan penduduk akan terjadi. 

Hal ini didukung oleh program UNICEF untuk mengekang perkawinan anak di bawah umur sebelum mereka siap secara fisik, fisiologis dan psikologis  untuk memikul tanggung jawab menjadi seorang istri dan ibu dari seorang anak yang dilahirkan.

Diakui oleh orang tua yang bermasalah dengan kawin paksa anak-anaknya, setelah anak-anaknya menikah, mereka merasa lega terlepas dari beban moral mereka, tidak lagi menjadi bahan gosip tetangga, dan kurangnya tanggung jawab terhadap pengasuhan anaknya. Kehadiran cucu dapat meluluhkan hati dan meruntuhkan perasaan kecewa yang terkadang muncul karena pernikahan anaknya bukan pernikahan yang diinginkan.

 Pendidikan yang buruk juga berarti bahwa orang tua cenderung menyerah dan tidak terlalu memikirkan dampak yang akan terjadi pada anak-anaknya jika mereka harus menikah di usia dini. Selain itu, faktor media massa yang menjadi pendorong pemuda untuk menikah. 

Kecenderungan ini dilatarbelakangi oleh akses internet yang sederhana sehingga masyarakat sebenarnya dapat dengan mudah mengakses situs-situs porno yang  dilarang oleh pemerintah. Kurangnya  pengetahuan dan suplai emosional pada remaja pada akhirnya dapat membangkitkan rasa ingin tahu dan  akhirnya melakukan hubungan seks di luar nikah.

 Pernikahan  dini dapat memiliki banyak konsekuensi kesehatan yang negatif. Angka pernikahan  dini yang tinggi dapat meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi, menurut Laporan Survei Perkawinan Anak Indonesia. Selain itu, juga berdampak buruk bagi kesehatan anak nantinya. 

Selain itu, wanita di bawah usia 20 tahun memiliki organ reproduksi yang belum matang, sehingga hubungan seksual  berisiko menimbulkan berbagai penyakit, termasuk kanker serviks dan kanker payudara.  

Pernikahan dini antara laki-laki dan perempuan yang belum matang secara emosional rentan terhadap perdebatan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga yang dapat menimbulkan trauma bahkan kematian pada korbannya. 

Selain itu, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga dapat mempengaruhi semangat anak pasangan. Hal ini dikarenakan anak  kurang waspada dan kurang betah di rumah. Oleh karena itu, semua elemen negara harus memiliki kepedulian yang sama untuk mencegah  pernikahan dini. 

Hal ini dapat dimulai sejak usia dini, misalnya melalui pendidikan agama yang baik. Remaja dengan hasrat seksual yang kuat harus menyadari bahwa meningkatkan ibadah dan mengetahui batas usia pernikahan dapat mencegah mereka dari  hubungan seksual dini. 

Orang tua juga harus memprioritaskan masalah pribadi anak-anaknya. Misalnya, seorang gadis mengajar cara memasak di luar sekolah. Sebaliknya, anak laki-laki diberi tugas untuk melakukan berbagai hal  positif dan produktif. Anak-anak juga perlu menjauhi hubungan negatif. 

Karena pergaulan seperti itu sangat salah paham bagi anak-anak, terutama anak di bawah umur.

 Menurut UU Perkawinan, usia minimum untuk menikah adalah 19 tahun untuk pria dan  16 tahun untuk wanita. Namun dari sisi kesehatan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Federal (BKKBN) telah menetapkan batas usia  ideal untuk menikah  fisik dan mental. 

Ini setidaknya 21 untuk wanita dan 25 untuk pria. Oleh karena itu,  setiap pasangan harus bisa menghitung usia  ideal menikah untuk diri mereka sendiri, demi kesehatan mereka dan untuk menghindari dampak buruk lainnya.

Solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pernikahan dini adalah melakukan Pendidikan Anak Karena semakin tinggi pendidikan seorang Anak, semakin kecil kemungkinan ia menikah sebelum usia 18 thn. Dan meningkatkan pendidikan Anak dapat memutus lingkaran setan kemiskinan akibat pernikahan dini. Melakukan Pemberdayaan Anak, Pemberdayaan Anak bisa dilakukan dengan cara memberikan support dan pengetahuan tentang hak-hak Anak. 

Sehingga bisa memperbaiki perspektif negatif tentang Anak. Dan melakukan Pemberdayaan kepada masyarakat untuk membantu hak-hak Anak Salah satu faktor pernikahan dini adalah orang tua dan stigma masyarakat. Sehingga bila dilakukan pemberdayaan terkait dampak pernikahan dini. Maka akan memperbaiki pola pikir masyarakat untuk tidak melakukan pernikahan dini pada anak.

Referensi

FITRIANI, N. (2019). Problematika Pernikahan Dini (Studi Pada Kecamatan Balanipa Kabupaten Polewali Mandar). 1561041016. Mawardi, M. (2012). Problematika Perkawinan Di Bawah Umur. Jurnal Analisa, 19(2), 201.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun