Pada tulisan ini, aku akan menyampaikan kisah kepada para pembaca, sebuah kisah masa silam, yang terjadi sekitar 40 tahun yang lalu, atau bahkan lebih dari itu.
Sejak ayahku masih sekolah, Bu Rukinah telah menjalankan tugasnya sebagai guru SD. Perjalanan dari rumah menuju ke sekolah beliau tempuh dengan berjalan kaki. Kurang lebih 6 kilometer setiap hari beliau mengayungkan langkah mengabdi untuk anak-anak bangsa.
Guruku yang satu ini memiliki sosok penyabar dalam setiap langkahnya. Tanpa kesabaran tidaklah mungkin beliau dapat menunaikan tugasnya sebagai guru sampai puluhan tahun dengan gaji yang sangat pas-pasan, atau bahkan kurang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.
Kesabarannya dalam membimbing para siswa memosisikan Bu Rukinah selalu ditempatkan sebagai guru kelas 1 dan kelas 2 oleh kepala sekolahnya. Posisi ini dijabat Bu Rukinah hampir seumur beliau menjadi guru, kurang lebih 40 tahun.
Bu Rukinah bergeming untuk menjadi Kepala Sekolah atau mengharapkan posisi dalam menunaikan tugasnya. Beliau lakukan tugas dengan penuh kesabaran, semangat, tanggung jawab, dan kedisiplinan.
Dari hari ke hari, siswa diajarinya membaca, menulis, dan menghitung. Meskipun kemampuan mereka bervariasi, tetapi beliau berusaha membimbingnya sampai semua bisa. Secara kodrati, ada siswa yang cepat dalam menyerap pelajaran, ada pula yang sangat lamban. Bagi mereka yang lamban, Bu Rukinah berupaya menyediakan waktu di luar jam sekolah untuk mendalaminya. Beliau tidak memungut upah tambahan dari pekerjaan membimbing siswa di luar jam belajar itu. Yang beliau harapkan hanyalah satu, semua semua siswa dapat membaca, menulis, dan menghitung (calistung). Ya, target dan harapan beliau sangat sederhana, karena beliau hanyalah seorang guru kelas 1 dan kelas 2 SD.
Dalam masalah membaca, Bu Rukinah juga memasang standar yang ketat. Jangan harap siswa yang belum bisa membaca di kelas 1 dapat naik ke kelas 2. Akan tetapi, lagi-lagi beliau tidak hanya sekadar memasang standar saja, tetapi beliau terjun langsung di luar jam sekolah untuk membimbing siswa yang masih belum bisa membaca itu, tanpa memungut upah dari orang tua siswa.
Dalam memnulis, hal yang masih aku ingat adalah bahwa beliau sangat menekankan pada kejelasan dan kerapian tulisan. Siswa yang tulisannya tidak jelas dan tidak rapi terus dibina dan diusahakan agar memiliki tulisan yang jelas dan rapi sehingga mudah dibaca. Aturan menuliskan huruf juga termasuk salah satu yang menjadi pusat perhatian Bu Rukinah.Â
Beliau selalu memerhatikan bagaimana menulis huruf menurut aturan penulisan yang diajarkan oleh gurunya dahulu. Bu Rukinah sangat berdisiplin dalam masalah tulisan ini.Â
Bila tulisan siswa masih belum jelas dan rapi, beliau tidak membiarkannya. Beliau terus membimbingnya sampai benar-benar memenuhi standar tulisan yang diterapkannya, jelas dan rapi.Â
Wajar apabila siswa dari sekolah itu tulisannya relatif lebih jelas dan rapi serta mudah dibaca oleh siapa pun. Hal ini karena ada sosok Bu Rukinah yang memasang standar realistis dan ketat terhadap tulisan siswa.
Saat mengajarkan hitung-menghitung, Bu Rukinah juga memasang standar. Siswa yang belum bisa penambahan dan pengurangan di kelas, beliau bimbing di luar jam belajar, sehingga ketika naik ke kelas 2, semua siswa sudah memiliki kemampuan penambahan dan pengurangan sederhana.
Bila ada siswa yang belum menguasainya, jangan harapkan dapat naik kelas. Di kelas 2 beliau meningkatkan kemampuan hitung-menghitung para siswa ke perkalian dan pembagian sederhana.
Demikianlah standar yang ditetapkan Bu Rukinah terhadap para siswanya. Penetapan standar cukup realistis dan ketat serta diwujudkan dengan penuh rasa tanggung jawab. Inilah salah satu yang menyebabkan Bu Rukinah dirindukan dan dicintai oleh siswa-siswinya setelah mereka meninggalkan sekolah.
Menjadi guru desa pada tahun 1950-an sampai dengan 1980-an adalah pekerjaan yang sangat terhormat. Guru betul-betul mulia dan menduduki tempat yang tinggi di hati masyarakat.Â
Demikian pula dengan Bu Rukinah. Beliau sangat dihormati, bukan hanya oleh para siswanya, tetapi masyarakat pun menghormati beliau. Penghormatan itu hanyalah sebatas moril, secara material keadaannya cukup memprihatinkan. Paling-paling Bu Rukinah mendapat kiriman makanan atau hasil panenan yang diberikan orang tua siswa sebagai ucapan terima kasih atas pengorbanannya. Itu pun hanya ala kadarnya, karena memang ekonomi saat itu masih sangat sulit.
Namun, apakah dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan, lalu Bu Rukinah bermals-malasan menunaikan tugasnya? Ternyata tidak. Beliau terus menjalankan tugasnya.Â
Hampir tidak ada yang berubah sejak beliau menjadi guru desa sampai beliau mengakhiri tugasnya. Yang saya maksud tidak berubah adalah semangatnya tetap menyala, kedisiplinanya tetap tinggi, tanggung jawabnya penuh, dan kesabarannya tidak pernah habis. Kepeduliannya kepada siswa tidak pernah surut.
Hal yang tak kalah menarik dari sosok guruku yang satu ini adalah bahwa beliau tidak suka mengeluh. Ya, kalau suka marah sedikit-sedikit kepada siswa yang agak bandel saya anggap suatu hal yang wajar.Â
Beliau terus melakukan tugasnya, tidak mengenal hujan atau panas. Kalau bukan hari libur, setiap hari beliau menjalankan tugasnya sebagai guru. Yang saya herankan, beliau jarang terdengar sakit, izin atau datang terlambat ke sekolah. Dapat dibayangkan, bila beliau sering sakit atau izin, maka ada 2 kelas siswa yang akan liar seperti ayam tak punya induk. Bu Rukinah pun diberkati Allah Swt. selalu sehat wal afiyat.
PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK
Kisah Bu Rukinah tersebut mudah-mudahan menjadi spirit bagi para guru yang hidup di masa kini. Keadaan guru di masa kini jauh lebih sejahtera dibandingkan dengan era tahun 1950-an sampai 1980-an.
Kita mestinya malu bila mangkir mengajar karena alasan yang tidak masuk akal. Kita juga harus malu bila mengajar tidak punya standar yang jelas, atau punya standar tapi tidak ada tekad untuk mewujudkannya. Zaman ini zaman teknologi, zaman informasi. Tak ada kesulitan untuk melakukan apapun. Malu rasanya bila kita kalah dengan Bu Rukinah, guru desa yang tetap tegar dan semangat menjalankan tugasnya meskipun penuh dengan keterbatasan.
Ya, tampaknya kita harus belajar dari kisah Bu Rukinah, bagaimana beliau menetapkan standar belajar untuk siswa-siswinya, dan bagaimana Bu Rukinah mengikatkan diri dalam komitmen untuk mewujudkan standar yang telah ditetapkannya itu.
Semoga kita dapat mereset kembali sikap, kepribadian, dan kompetensi kita sebagai guru dengan belajar dari kisah guru kita yang patut kita teladani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H