Marhaban Ya Ramadhan, demikianlah kurang lebih ucapan ketika menyambut datangnya bulan Ramadhan. Apabila kita lihat dari segi bahasa kata, marhaban merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan “kata seruan untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)”. Demikian pula dengan ahlan wa sahlan yang sama-sama diucapkan dalam penyambutan.
Untuk menyambut bulan Ramadhan, Para ulama menggunakan kata marhaban ketimbang kata ahlan wa sahlan. Apabila kita telusuri dalam makna leksikal, maka kita akan mendapati adanya perbedaan dalam pengertiannya. Marhaban berasal dari kata rahb yang memiliki arti yang luas atau lapang. Sehingga ucapan marhaban menggambarkan bahwa tamu yang datang disambut dan diterima dengan dada yang lapang, penuh kegembiraan, serta dipersiapkan baginya tempat yang luas untuk melakuka apa saja yang diinginkannya. Oleh karena itu, kata marhaban sering digunakan dalam menyambut tamu yang istimewa.
Bulan Ramadhan tentu memiliki banyak keistimewaan di dalamnya. Sedikit dari sekian keistimewaan tersebut, paling tidak tiga hal dalam bulan Ramadhan ini dapat menjadi booster penyemangat diri, antara lain:
- Bulan diturunkannya Alquran
surah Al-Baqarah/2: 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ
Bulan Ramadhan adalah (bulan)yang diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).
Salah satu kemuliaan bulan Ramadhan itu terletak pada Alquran yang diturunkan pada bulan tersebut. Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa fungsi Alquran itu sebagai Huda (petunjuk). Petunjuk pertama yang dimaksud dalam ayat ini yaitu mengenai aqidah. Sementara petunjuk yang kedua, pada terusan ayat disebutkan "dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan furqan". Huda yang kedua ini berarti hal-hal furu’ dalam agama. Aqidah membutuhkan sebuah rincian dalam melaksanakan kewajiban dari petunjuk itu, dengan kata lain penjelasan itu adalah syariat.
Kemudian dalam artian bahasa furqan berarti pembeda, pembeda di sini adalah pembeda yang benar dan yang batil. Karena sifatnya yang berupa huda (petunjuk), maka pembeda di sini berfungsi untuk membenarkan hidayah yang telah Allah berikan kepada kita berupa hidayah al-gharizah (naluri) untuk membedakan mana sesuatu yang baik dan mana yang buruk.
Maka, merupakan sebuah kemuliaan bagi seorang hamba untuk lebih dekat dengan Tuhan melalui ayat-ayatNya. Sebab pada bulan inilah, Allah mengisyaratkan bahwa sangat dianjurkan untuk membaca dan mempelajari Alquran selama bulan Ramadhan. Dan diharapkan pula orang yang mempelajarinya dapat memperoleh petunjuk serta memahami dan bahkan menerapkan penjelasan-penjelasan dari petunjuk itu. Dengan membaca Alquran seseorang laksana menyiapkan hati untuk menerima petunjuk ilahi berkat makanan ruhani. Sehingga jiwanya berangsur cerah, pikirannya berangsur jernih, dan niscaya ia akan memperoleh kemampuan untuk membedakan yang haq dan yang batil.
- Bulan diwajibkannya berpuasa
Surah Al-Baqarah/2: 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan ats orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Dalam ayat ini Allah memanggil mesra hambanya dengan yaa ayyuhalladzina aamanu. Ketika Allah ketika memanggil hambaNya dengan seruan tersebut, hal ini mengindikasikan bahwa hamba yang beriman itu belum sempurna keimanannya. Maka selanjutnya Allah sampaikan pada lanjutan ayat kutiba ‘alaikumu al-shiyam (diwajibkan atas kalian berpuasa). Shiyam/shaum atau berpuasa secara bahasa diartikan sebagai al-imsak yaitu menahan diri dari segala bentuk larangan puasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Bentuk menahan diri yang diperintahkan ini bertujuan untuk melatih diri dalam mengendalikan hawa nafsu. Karena pada dasarnya sifat manusia itu memiliki kecenderungan kepada hal-hal yang negatif. Salah satunya seperti yang Allah terangkan dalam surah Ibrahim/14: 34 sesungguhnya manusia itu sangat zhalim lagi ingkar.
Allah menjadikan ibadah puasa bagi hamba-Nya sebagai sebuah kekhususan untuk mendekat dan bermunajat kepadaNya. Oleh karena itu, bulan Ramadhan juga dinamakan syahr Allah, bulan Allah. Sebab hanya Allah yang mengetahui siapa saja yang berpuasa dan siapa pula yang tidak. Dan Dialah yang memberikan pahala dengan sekehendakNya.
Dalam sebuah hadits qudsi diriwayatkan:
قَالَ اللَّهُ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Allah berfirman: Seluruh amal yang manusia kerjakan adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan balasan kepadanya. (HR. Bukhari).
Allah mengkhususkan ibadah puasa ini untuk diriNya. Dia pula yang membedakan ibadah ini dengan ibadah lainnya. Terutama dari segi kebaikan yang Dia berikan kepada siapa saja yang berpuasa dengan tanpa batas perhitungan, sebagaimana hal ini terdapat pada ibadah lainnya. Boleh jadi hal ini dikarenakan ibadah puasa ini menuntut adanya pembentengan diri dari berbagai syahwat yang tidak ada pada ibadah lainnya, dan juga ibadah puasa tidak dapat diketahui pelaksanaannya kecuali oleh Allah dan hamba itu sendiri. Dan daripada itu hasil yang diharapkan dari ibadah puasa tersebut adalah takwa.
- Mendekatkan diri kepada Allah
Surah Al-Baqarah/2: 186
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Dalam ayat ini Allah menyeru hamba-hambaNya dengan panggilan ‘ibad yang merupakan bentuk jamak dari ‘abdun yang artinya adalah hamba-hamba yang taat dan dia menyadari segala kesalahannya. Atau dengan kata lain walaupun banyak dosa tetapi sadar akan dosanya dan mengharap ampunan dari-Nya. Berbeda dengan kebalikannya, yaitu kata ‘abid yang berarti hamba yang bergelimang dosa, walaupun sama-sama bentuk jamak dari kata ‘abdun.
Yang menarik lagi pada ayat ini Alquran tidak menggunakan kata qul (jawablah), yang mana biasa dipakai dalam setiap kalimat yang bersifat pertanyaan. Seperti pada ayat yas’alunaka ‘anil khamri wal maysir, qul fihima itsmun kabirun wa manafi’u linnas (Al-Baqarah 219). Oleh karena itu, tidak terdapatnya kata qul di sini menurut para ulama Al-Quran mengindikasikan bahwa setiap orang walaupun dia bergelimang dengan dosa dapat memohonkan ampunan kepada Allah. Dan Allah pun Maha Pemurah bagi hambaNya. Dengan demikian, seyogyanya hamba yang meminta itu memerhatikan pula dua hal berikut:
- Hendaknya orang yang berdoa itu falyastajibu; memenuhi segala perintah Allah.
- Wal yu’minuu; dan yakin bahwa Allah akan memilih yang terbaik bagi dirinya.
Namun demikian, perlu diyakini bahwa terkabul atau tidaknya doa seseorang, itu merupakan kehendak Allah. Kalaupun memang doa kita tidak diterima, bukan berarti Allah tidak mampu memberi sesuai permintaannya. Tapi Allah memberi segala sesuatu yang dibutuhkan orang tersebut, atau bahkan lebih baik daripada sesuatu yang dimintanya.
Pustaka:
Marah Labid li Kasyfi Ma’na Al-Quran Al-Majid
Al-Nukat wa Al-‘Uyun
Tafsir Al-Misbah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H