Mohon tunggu...
Rifki Ferdiansyah
Rifki Ferdiansyah Mohon Tunggu... Guru - bukan umar bakri

Teaching, Cycling, Browsing

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyarankan Berhenti Sekolah

26 Mei 2012   06:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:46 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa semester terakhir ini, aku telah menyarankan (atau lebih tepatnya meminta) beberapa orang siswa/i untuk tidak bersekolah lagi ditempatku ngajar. Yups, kasarnya aku menyarankan anak muridku sendiri untuk pindah sekolah. Penghalusan makna dari 'berhenti sekolah'. Ketika anak-anak itu sudah puas 'bercengkrama' dengan guru BK dan guru BK tersebut angkat tangan; biasanya aku yang bertindak sebagai 'palu' penegas. Bicara dengan orang tua murid dan langsung to de poin bilang kalau anak beliau tidak lagi punya harapan di sekolahnya saat ini, maka dari itu lebih baik cari sekolah lain (baca: berhenti dari sekolahnya saat ini).

Hal yang sama aku lakukan pada anak gadis ini. Semenjak awal semester satu, tingkah polahnya sudah tidak wajar lagi untuk seorang siswi sekolah menengah tingkat pertama. Gaya penampilan, tutur kata, sikap, dan hampir semua yang ada padanya tidak matching dengan teman-teman perempuannya yang lain sesama kelas tujuh; terlalu dewasa untuk anak yang beranjak remaja.

Dalam beberapa bulan, dia telah bermasalah. Lama kelamaan masalah yang dibuatnya semakin menjadi; yang paling sering adalah cabut. Guru BK dan aku, sebagai wali kelasnya, saling bahu membahu menasehatinya. Tak putus dengan anak itu, kami pun berkomunikasi dengan orang tuanya. Sampai orang tuanya bosan ngelayani panggilan dari sekolah; dan bahkan tidak mau angkat telepon dari guru BK.

Usai semester satu, di awal semester dua, anak itu makin gencar saja absennya. Dalam sebulan hanya beberapa kali hadir di sekolah. Dari teman-temannya, dia ada tampak memakai baju seragam dan berkeliaran dijalanan sekitar sekolah. Orang tua tidak mau lagi datang ke sekolah memenuhi panggilan sekolah, telpon pun tak diangkat. Jadilah anak itu tak tentu arah.

Setelah diskusi dengan guru BK, akhirnya aku menelepon orang tua anak itu. Dengan minjam hape kepala TU (beliau lagi kelebihan pulsa hehehe) aku tekan nomor ibu si anak. Siapa tahu diangkat karena nomor baru. Dan yups, setelah dering kesekian, suara si ibu terdengar.

Langsung saja aku jelasin kondisi si anak. Dan si ibu juga tahu situasinya tersebut. Dengan sejelas mungkin, aku tekankan pada si ibu kalau dia harus mengambil sebuah pilihan untuk anaknya; tetap bertahan sebagai muridku dengan konsekuensi besar kemungkinan tinggal kelas atau segera pindah ke sekolah yang bisa membuatnya nyaman dan berminat untuk bersekolah. Sekolah kami, atau lebih tepatnya, aku dan gurunya yang lain gagal membina dia; mungkin ada sekolah dan sosok guru-guru lain yang lebih mampu.

Beberapa waktu berselang, karena tak ada kejelasan, guru BK melakukan kunjungan rumah untuk kali kesekian. Pulang dari situ, beliau memberitahu kalau anak itu telah menyatakan pengunduran diri.

Kemaren, pagi menjelang siang, seorang ibu guru mengajakku berbicara. Beliau bertanya tentang anak itu. Dengan simple aku jelaskan kalau dia sudah bukan lagi siswa di sekolah kami. Dan lalu meluncurlah cerita dari beliau, yang kebetulan tinggal dekat dengan rumah anak itu.

Sekarang anak itu telah seperti tak lagi terkendali. Rambut di cat kuning menyala. Pakaian selalu seksi. Nongkrong dengan teman-teman lelaki yang juga sama-sama tidak mau sekolah. Bergaul dengan wanita malam. Dalam kalimat sederhana, anak itu telah menjurus pada sosok perempuan nakal.

Dalam perjalanan pulang sekolah, aku berpikir, bagaimana bila dia tidak mundur dari sekolah? Mungkinkah saja dia bisa ngerem tingkah lakunya itu kalau masih berstatus anak sekolah? Atau setidaknya, mungkin saja dia masih punya rasa malu untuk bertingkah 'nakal' karena merasa masih anak sekolah?

Tiba-tiba ada rasa bersalah menghantuiku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun