Mohon tunggu...
Rifki Ferdiansyah
Rifki Ferdiansyah Mohon Tunggu... Guru - bukan umar bakri

Teaching, Cycling, Browsing

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bahasa Ibu Guru dan Pak Guru

23 April 2012   14:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:14 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kadang, atau banyak kali malah, aku tidak merasa sebagai guru yang baik. Tidak pandai mengajar, kadang hang sendiri di depan kelas, atau lebih parah lupa jadwal ngajar sendiri! Dan salah satu ketidakpandaianku adalah bersosialisasi dengan anak muridku sendiri.

Waktu ngobrol dan baca-baca kesan teman-teman guru, rata-rata mereka menemukan 'ikatan' emosional dengan muridnya. Sementara aku? Aaah...sudahlah tak usah dibahas tentang hubunganku yang menyedihkan dengan anak-anak muridku sendiri yang namanya saja aku tak begitu ingat.

Layaknya seorang pelajar; aku pun mulai menganalisis. Kenapa bisa seperti ini? Aku memperhatikan sekitar. Teman-temanku yang sama ngajar; yang kebanyakan cewek. Mereka mudah sekali akrab dengan murid. Ada ibu guru yang menjadi tempat curhat muridnya karena saking akrab. Ada seorang ibu guru yang tiap bertemu sampai dipeluk-peluk sama anak murid perempuannya. Yaa aku ga pengen sampai dipeluk juga lho hehehe

Aku menganalisa mereka. Dan kesimpulanku; cara kami berkomunikasi beda.

Yaa, aku cendrung selalu menggunakan kalimat instruksi dalam berkomunikasi dengan murid. "Ayo, baris di lapangan!" "Kenapa telat!" "Sakit apa!" "Tolong,ambil spidol di kantor!" dan sejenis itu; yang rata-rata berakhiran tanda seru meski kalimat tanya. Sementara, hasil observasi ala kadarku terhadap ibu guru - ibu guru itu mereka tidak selalu menggunakan kalimat instruksi. Kadang, meski kalimat perintah mereka sempat-sempatnya memberi 'pelembut' apakah itu dengan intonasi atau pun menyisipkan kata-kata manis. "Ayo nak, baris di lapangan!" "Kenapa telat sayang?" "Aduuuuh, kamu sakit apa?" (intonasi: mendayu-dayu) "Tolong, ambilkan ibu spidol yaaa" (intonasi: memohon)

Lalu, saat duduk bersama seorang guru BK, aku bercerita tentang perbedaan itu. Jawabnya, "Itulah bedanya cara bicara bapak-bapak dan ibu-ibu." Jawaban itu buat aku penasaran dan bertanya ama mbah google. Dan ternyata iyaa, bahasa wanita dan pria itu berbeda....itu termasuk dalam kajian sosiolinguistik; yaaang padahal sudah aku pelajari. Haaah...tampaknya nilai-nilai kuliahku tak bisa dipertanggungjawabkan. Kenapa ga ngeh ama hal ini, kanl aku pernah nulis paper tentang bahasa dan gender!!

Pria cendrung memakai bahasa yang lebih tegas, matang, dan suka berbicara blak-blakan menggunakan kosakata langsung to the point. Sementara, perempuan cendrung menggunakan bahasa yang tidak tegas, suka menggunakan bahasa kiasan atau tidak secara terang-terangan, dan berhati-hati ketika mengungkapkan sesuatu, serta kerap menggunakan kata yang lebih halus dan sopan atau melalui isyarat. (hasil googling)

Hmmm...dan efeknya, murid-murid akrab dengan gaya bahasa perempuan.

Untuk menjadi guru yang baik dan benar, serta akrab dengan murid, aku coba ganti gaya bahasa. Sesi uji coba awal, aku menyisipkan kata 'nak' dan 'sayang' serta mengubah intonasi.

Kasus 1: "Belum juga selesai, naak?" (intonasi: lembut mendayu)

Kasus 2: "Ga model gitu, sayaang" (intonasi: halus penuh perasaan)

Efeknya: Kok aku jadi ngerasa kayak pedopil lagi ngerayu anak-anak kelas 1 SMP, yak!

Huaaah....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun