Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketapels Berbagi Inspirasi: Proses Kreatif Novel Cintaku Setengah Agama

27 Februari 2023   17:02 Diperbarui: 27 Februari 2023   17:02 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Acara santai tapi bermakna | dok. Ketapels

Bulan Februari ini, Ketapels kembali mengadakan ketemuan yang dibuat rutin bulanan. Ketemuan yang tentunya mempererat silaturahim dan ada inspirasi yang dipetik. Pertemuan bulan ini diadakan di rumah kediaman salah satu anggotanya, Mas Iswadi atau kita biasa panggil Mas Didi. Mas Didi pula yang menjadi nara sumber acara.  Beliau akan bicara tentang proses kreatif di balik penulisan novel  Cintaku Setengah Agama.

Kenapa buku novel itu yang dikupas?

Ya tentu saja alasan utamanya adalah karena Mas Didi lah yang menjadi penulis novel itu. Jadi kan pertemuan kekeluargaan ini akan lebih enak, mengalir dan menginspirasi, sekaligus Mas Didi sebagai penulisnya bisa ditanya segala hal terkait banyak hal.

Acara santai tapi bermakna | dok. Ketapels
Acara santai tapi bermakna | dok. Ketapels

*Motivasi pembakar cita-cita*

Mas Didi sebenarya sudah menelorkan satu buku, yaitu buku motivasi bertema menghasilkan uang dari menulis opini. Jadi sebenarnya sudah pecah telor. Tapi sebagai penulis, Mas Didi tercambuk dan tertantang ketika suatu ketika mendapatkan motivasi dari penulis kahot, Asma Nadia. Menulis Satu Buku Sebelum Mati. Dia terbakar dengan lalu membuat sebuah target sendiri: satu NOVEL sebelum mati.

Ah, sebuah target yang setinggi langit. Apalagi buat penulis yang bukan novelis. Tapi, Mas Didi seolah mengejewantahkan apa yang dikatakan Bung Karno: Gantungkan cita-cita mu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.

Keren.

Kayak keluarga ya kita | dok. Ketapels
Kayak keluarga ya kita | dok. Ketapels


*Demotivasi dan moitivator*

Setelah menemukan ide - awalnya dari sebuah hadits, dan sumber cerita, yang kemudian diramu dari kisah nyata difiksikan dan tentu saja cerita fiksi, dia kemudian fokus menulis. Istilahnya menulis dan menulis. Di mana saja. Kapan saja. Di kala ada waktu. Namun, ternyata ada sebuah kendala yang muncul yang Mas Didi rasakan: tidak ada motivasi.

Ketika ditanyakan apakah yang dimaksud itu adalah writer block, Mas DIdi bilang bukan. Karena dari sisi penulisan, dia sebenarnya sudah mengikuti kaidah normal dengan menuliskan poin-poin cerita. Tapi ini lebih ke kehilangan semangat menulis. Sampai proyek menulis ini tertunda sekian lama.

Ketika cita-cita awal muncul lagi tetapi dia demotivasi, Mas Didi bahkan menyewa seorang motivator. Ya, seseorang yang dibayar untuk memberikan semangat tiap hari, tiap pagi dan menjadi sparing partner untuk menanyakan sudah sejauh mana progressnya. Secara bercanda, kita yang hadir langsung mengajukan diri jadi motivator untuk proyek selanjutnya. Hahahaha.

Berhasilkah itu?

Berhasil sih, tapi dalam intensitas yang tidak semestinya. Ya artinya ada pergerakan menulis meski sendiri. Sampai akhirnya Mas Didi memompa semangat sendiri: Novelku mesti selesai. Yah kalau terjemahan penulis sih, bisa jadi ada hati kecil Mas Didi lirih berbisik.

"Didi. Tak peduli seberapa lambat kamu pergi, asal kamu tidak berhenti".

Uhuk.

Buku pertama Mas Didi | dok. Ketapels
Buku pertama Mas Didi | dok. Ketapels


*Nampang di rak Gramedia? Penting gak? Penting gak?*

Tapi Mas Didi itu sepertinya kalau lagi niatnya kuat, dia tuh "keukeuhan". Dia kemudian singkirkan segala hal yang mungkin akan menghalangi jalannya. Bahkan istilahnya mengorbankan pendidikan setingkat doktoral yang sedang dia jalani. Eh bukan istilah deng. Itu yang dikatakan beliau, yang akhirnya memutuskan berhenti dari studi doktoral bidang human resouces untuk fokus nulis novel. (Gak tahu sih cerita sebenarnya mah ya Mas Di. Biar jadi rahasia dirimu saja. Ting :) )

Salah satu motivasi selanjutnya dari penulisan novel itu adalah: nampang di rak Gramedia. Itu hal yang keren gila. Bayangin, novel kita muncul di toko buku terbesar di Indonesia. Bersebelahan dengan buku-buku penulis keren. Dan benera ini menjadi cambuk selanjutnya.

Namun......

"Tidak semudah itu, Ferguso".

Seolah demikian dia akan berkata. Jangankan untuk langsung nampang di toko buku terbesar itu, bahkan untuk mencari penerbit pun tidak segampang membalikkan telapak tangan. Jangan itu dulu deh, mendapatkan endorser dari beberapa penulis terkenal pun mentah eh mental.  Beberapa pendekatan pun dilakukan, tapi hasilnya tidak memuaskan.

Akhirnya, bukunya pun terbit. Melalui penerbit Eduquer Publising. Dan kesampaian juga nampang di rak.

Secara berseloroh penulis - yang kadang suka ceplas-ceplos - bertanya.

"Kok bisa? Apa the power of Wani Piro?".

Ah, gak perlu dibahas di sini.

Guyub, inspirasi dari siapa saja | dok. Ketapels
Guyub, inspirasi dari siapa saja | dok. Ketapels


*The Power of JANISI*

Ini mah slogan penulis sendiri. JANISI - jalani, nikmati, syukuri. Dan sepertinya, itu juga yang dilakoni Mas Didi. Dan ada satu tambahan dari penulis. Jalani, nikmati, syukuri dan MAKNAI. Termasuk di sini siapa tahu kita memberi makna terhadap sesuatu atau karya kita bermakna bagi orang lain.

Itu juga yang memberi semangat besar Mas Didi. Ternyata, novelnya itu menjadi obyek skripsi beberapa mahasiswa Sastra Indonesia dari berbagai Universitas. Sebuah kenyataaan yang mengagetkan sekaligus membahagiakan. Mas Didi gak nyangka jika novelnya itu menjadi topik skripsi.

Dan salah satu achievement Mas Didi adalah ketika dia menghibahkan seribu eksemplar bukunya kepada Taman Bacaan Masyarakat seluruh Indonesia.

Keren sekaleee.....

Kebuli wuenak, nyesel yang ga datang | dok. Ketapels
Kebuli wuenak, nyesel yang ga datang | dok. Ketapels


Sesi berbagi Mas Didi selesai tidak lama setelah adzan Dhuhur. Acara dilanjut secara santai, sambil menikmati hidangan yang disediakan tuan rumah. Nasi Kebuli. Wuenak. Ditambah penganan-penganan bawaan peserta secara potluck, dari mulai jajanan pasar sampai buah-buahan pisang semangka, acara berlangsung akrab sekali. Meski penulis didapuk sebagai moderator, tetapi acara dibiarkan mengalir saja. Celetukan atau pertanyaan bebas dikemukakan saat acara maupun selepas acara. Bahkan kalaupun ada peserta yang mengomentari atau menambahkan informasi ya kita dengarkan. Dengan seksama, meski selalu diselipi candaan dan celetukan.

Makasih Mas Didi. Makasih Ketapels. Makasih Ladiesiana yang sudah hadir.

Uhuyyyyy Ketapels keren 😎

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun