Nah kembali ke pertanyaan menggelitik, siapakah anak-anak muda yang sedang latihan mengibarkan bendera di Tugu Proklamasi yang ditemui saat kami berkunjung ke sana?
Apakah mereka adalah pelajar-pelajar pilihan dari beberapa sekolah?
Itu juga yang saya tanyakan kepada tiga orang ibu-ibu yang berada di sana. Saya tanya karena gestur mereka sepertinya mengabarkan bahwa mereka adalah "pembina atau pelatih anak-anak itu".
Ternyata jawabannya mengharukan.
Mereka - anak-anak itu - adalah keturunan langsung dari para pejuang-pejuang yang terlibat di peristiwa pengibaran bendera di tahun 1945 itu. Para pejuang yang bisa jadi tidak mentereng membawa simbol sebagai pahlawan.
Para pejuang yang bisa jadi namanya pun asing di telinga. Para pejuang yang bisa jadi saat itu hanya ikutan hadir saat pengibaran, tetapi sebenarnya di belakang itu mereka adalah tetap pejuang.
Mereka - atau kakak sodara dan kerabat, ternyata tiap tahun sudah terlibat dalam upacara bendera di tempat itu. Tugu Proklamasi. Hanya saat awal pandemi saja, upacara itu hanya dihadiri tiga orang (?), dan tahun kedua pandemi dihadiri sangat terbatas.
Alhamdulillah, sekarang mereka bisa melakukan kegiatan rutin itu lagi secara hampir penuh, meski dibatasi hanya 75% dari kapasitas biasanya.
Duh, ada rasa haru dan bangga melihat anak-anak itu berbahagia saat berkemas pulang dengan membawa paket baju-baju pakaian formal putih yang akan mereka pakai saat upacara besok.