Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Merese Rasa Rinjani sebagai Eco-Sustainable Tourism

18 November 2021   05:06 Diperbarui: 18 November 2021   05:10 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fog trap, sumber air skala kecil | wipo.int

Jika saya ditanya, gunung apa yang akan didaki kedua kalinya, saya akan langsung menjawab: Rinjani. Alasannya ada dua. Pertama, saya begitu ingin merasakan jalur baru yang sangat keren dengan rasa alam Jurassic Park: Jalur Torean. Kedua, karena di Gunung RInjani lah saya pertama kali seumur hidup melihat bintang.

Rinjani, saat itu.

dokpri
dokpri

Pengalaman mendaki Gunung RInjani itu tidak terlupakan. Setelah berhasil mendaki gunung pertama kali di usia yang tidak muda, 46 tahun di Gunung Semeru, tahun 2017 alhamdulillah saya bisa juga menggapai atap Nusa Tenggara. Gunung RInjani dengan sabana luas nan indah dengan eksotisme pemandangan Segara Anaknya itu begitu lama tertanam di benak. Dan saat itu, malam setelah siangnya turun dari Puncak Anjani 3726mdpl, saya terbangun. Keluar tenda di Plawangan Sembalun. Ketika mendongak itulah, kulihat pemandangan yang begitu indah. Dalam gelapnya malam tanpa bulan, langit begitu ceria bertabur bintang. Masya Allah, seolah tidak ada satu jengkal pun langit yang tidak berbinar. Ufuk Barat ke Ufuk Timur. Di atas sejadah, lalu saya rebahkan badan. Takjub memandang ke atas. Bintang-bintang mengumpul memadat. Galaksi. Bima Sakti. Ditingkahi melesatnya bintang berekor atau bintang jatuh dengan kecepatan aduhai. Pengalaman pertama dan tak terlupakan seumur hidup.

Merese, saat itu

dokpri
dokpri

Lalu, putar balik memori ke setahun sebelumnya. 2016. Tanpa ada bayangan akan bisa mendaki Gunung RInjani, Lombok dikunjungi untuk wisata keluarga selepas Lebaran. Dan satu destinasi yang tak terlupakan adalah bukit hijau dengan pemandangan lepas ke lautan. Merese. Indahnya pemandangan terasa lain. Hembusan angin dan terpaan sinar mentari sore membuat suasana begitu eksotis. Tanpa sadar sampai bergumam: "kayak bukan di Indonesia". Dan diamini komentar di medsos. "Kayak di Inggris", komentar satu teman. "Seperti Selandia Baru", kata teman lain. Lalu, fix saya cuman mau bilang "Merese itu wajib dikunjungi".

DSP Mandalika, saat ini

kompas.com
kompas.com

Dan sekarang, saya pun melayang ke Mandalika. Yang mewujud menjadi tempat wisata yang begitu lengkap. Lansekap alam, wisata bukit, pantai dan lautan ada di sana. Wisata adat? Dusun Sade, Suku Sasak, Hikayat Puteri Raja Mandalika. Olahraga? Malah menjadi sentral dengan diresmikannya Sirkuit Mandalika oleh Presiden Jokowi. Sirkuit bertaraf internasional dengan desain jalan yang terkini amat melengkapi wisata olahraga dan adventure yang sudah ada: menyelam, snorkling, bersepeda atau lari. Ah. Ajib. Tapi, rasanya semuanya akan lebih lengkap dengan satu objek baru. Sebuah "Eco-sustainable Tourism: Merese Rasa RInjani".

Merese Rasa RInjani: Kenapa tidak?

Photo: al mhd rudzie
Photo: al mhd rudzie

Apa sih itu?

Ya, namanya saja ide liar yang datang begitu saja. Dari imajinasi atas kerinduan mendapatkan momen di  Rinjani itu. Lalu, digabung dengan pikiran sederhana manusia ekonomis: "Bisa gak ya mendapat momen itu tanpa mendaki Gunung, tidak mengeluarkan duit dan waktu banyak, dan dekat dengan "dunia"?". Juga dilanjut dengan keegoisan seorang manusia: "Terjangkau transportasi darat tapi dapat rasa gunung, gitu". Dan tidak lupa dilapisi idealisme sok-sokan ngerti: "Tapi yang ramah lingkungan". Bisa gak ya?

Itulah saatnya ketika saya tarik pengalaman mendaki Gunung RInjani itu lebih membumi ke Bukit Merese. Dengan ide membuat sebuah tempat wisata baru, camping ground atau lodge-villa yang disetting seperti di Plawangan Sembalun, tapi dengan pemandangan lautan hijau indah menggantikan Segara Anak. Tempat yang mengambil sebagian kecil saja dari luasnya tanah di Bukit Merese tanpa mengurangi akses publik secara signifikan. Namun, tempat ini harus didesain cukup terpencil.

Kenapa?

Back to nature, eco-friendly

kaltimtoday
kaltimtoday

Karena tema tempat ini adalah back to nature. Kembali ke alam. Ramah lingkungan. Dimulai dari apapun bangunan yang perlu didirikan adalah ramah lingkungan. Pake eco-brick. Iya sih eco-brick itu dari plastik yang tidak ramah lingkungan, tapi kan kita justru menyelamatkan lingkungan dengan menggunakan sampah plastik yang didaur ulang menjadi bata. Ya kan? Keren gak? Belum lagi kita bisa mengajak masyarakat setempat dalam memproduksi eco-bric. Artiya secara langsung kita pun berpartisipasi dalam mengedukasi masyarakat mulai dari memilah sampah sampai dengan mendaur ulangnya.

Fog trap, sumber air skala kecil | wipo.int
Fog trap, sumber air skala kecil | wipo.int

Dalam masalah sampah ini pula, setiap pengunjung yang datang akan tidak diperbolehkan membawa air minum botol plastik. Air minum disediakan oleh pengelola dalam bentuk "mata air". Iya, mata air buatan yang harus diambil oleh para pengunjung seperti halnya para pendaki mengambilnya dari mata air. Bedanya, sumber airnya tidak menggunakan air tanah. Tapi menggunakan sustainable water. Kita gunakan teknologi berkelanjutan, yang artinya tidak melulu mengandalkan air tanah. Apa itu? Air tadah hujan -- teknologi jadul tapi logis untuk area tempat terbatas loh. Juga air laut yang disuling atau air hasil panen embun dari fog trap. Kebayang serunya para pengunjung yang datang melihat-lihat model kain kassa dipasang dan lalu menangkap embun dan airnya ditampung. Hal sederhana tapi baru. Pengunjung akan mendapatkan pengetahuan dan experience baru, kan? 

"Aku pernah minum dari embun yang dipanen loh".

Lalu bagaimana dengan lampu penerang dan listrik?

Sustainability approach

energi gelombang | researchgate
energi gelombang | researchgate

Kan ada energi alternatif. Kita kenalkan saja energi berkelanjutan. Energi surya dengan menggunakan solar cell. Atau energi angin dengan membuat mini turbin angin. Atau bahkan kita coba energi terbarukan yang jarang disentuh: energi ombak. Seru kali ya kalo kita menginap di sini, lalu mendapatkan berbagai pengalaman pertama yang sebelumnya tidak pernah kita alami. Atau bahkan pengunjung sendiri bisa dilibatkan atau berperan serta membuat energi alternatif lain: biomass -- dari sampah dan berbagai kotoran buangan.

Energi yang dihasilkan itu akan digunakan secara efisien. Seperti bisa saja kita desain lodge-villa tanpa penyejuk udara, melainkan didesain tropis dengan teknologi sederhana cross ventilation memanfaatkan angin dan segarnya keteduhan pepohonan. Penerangan pun ditantang harus efektif, dengan menggunakan lampu yang padam sendiri kalo sudah terang dan otomatis mati saat malam di jam tertentu. Misalnya, tiap jam 10 malam lampu -- bukan listrik -- mati. Dalam keadaan darurat, pencahayaan menggunakan lampu senter, atau lilin dari bahan daur ulang.

Memang kenapa tiap jam 10 malam lampu dimatikan?

Karena itulah yang dijual kan. Gelapnya malam. Gelap segelap-gelapnya. Demi apa? Ya demi mendapatkan sensasi di Puncak Rinjani itu: melihat bertaburannya bintang, terpukau memandang gugusan Bima Sakti dan bintang berekor atau bintang jatuh. Dan itu hanya bisa didapatkan dalam gelap segelapnya malam, bukan? Bukankah experience seperti itu yang jarang didapatkan "orang kota" yang selalu diliputi oleh polusi cahaya? Saya tuh suka terbayang suatu saat seorang anak kecil bercerita kepada temannya di kota: "eh aku beneran melihat bintang berkerlap-kerlip. Buanyak banget. Kamu pernah lihat gak? Dan aku diajari juga nyanyi Bintang Kecil. Keren tahu".

Keterlibatan masyarakat untuk keberlanjutan wisata

"Diajari lagu Bintang Kecil" mungkin aneh-aneh ya. Tapi, anak kecil sekarang mana kenal lagu itu. Dan lagu itu bisa diajari pada saat mereka menginap atau berkemah di lokasi ini. Oleh siapa? Oleh penduduk setempat. Bagus kan kalau penduduk setempat diberdayakan untuk terlibat di lokasi wisata itu. Mengajari anak bernyanyi adalah satu hal. Tapi yang lebih menarik lagi adalah jika para penduduk itu mengajak para pengunjung untuk .....BERMAIN.

Lenjang | gadizalombok
Lenjang | gadizalombok

Iya, dengan permainan tradisional. Permainan apa saja yang membutuhkan gerak, di luar ruang dan bermain bersama-sama. Saya kebayang kalo para penduduk mengajak permainan asli daerah Lombok. Membaca buku "Permainan Rakyat Nusa Tenggara Barat" terbitan Depdikbud 1984, saya temui ternyata provinsi ini memiliki cukup banyak permainan tradisional. Sebut saja Belompongan, Panji atau permainan Bawi Ketik.  Atau kalaupun permainan-permainan tradisional itu sudah sangat jarang dimainkan, ya munculkan saja permainan anak luar ruang yang lebih global seperti permainan dampu, egrang dan sejenisnya.

Dalam bayangan saya, wisata dengan permainan seperti ini -- yang bisa "menyibukkan" namun mengasyikan, akan memberi kesan mendalam kepada para pengunjung. Jika ini yang muncul, bisa saja tempat wisata itu menawarkan sesuatu yang sangat berbeda: Wisata Tanpa Gadget, Disconnect to Connect. Dan ketika pengunjung kemudian bahagia, tibalah saatnya berpose dengan kain khas Suku Sasak atau Dusun Sade di ujung bukit atau tebing dengan latar belakang biru-hijaunya laut di mana Puteri Mandalika dicari. Ide menggabungkan pengalaman berpose di Gunung RInjani dengan pakaian adat Betawi dan foto di Bukit Merese.

dokpri
dokpri

Wisata premium dengan target spesifik

Gimana, menarik kan? Kombinasi semua hal baik: culture, leisure, nature, experience, people involvement, environment dan sustainability.

"Hmm... Iya sih. Tapi tentunya biaya yang harus dikeluarkan untuk mewujudkan tempat wisata seperti itu mahal". Mungkin begitu jawabannya. Dan bisa jadi memang akan seperti itu. Sesuatu yang baik dan fenomenal serta menarik tentunya butuh modal besar. Tapi kan kita bisa menyiasatinya. Bukankah kita bisa persempit segmen pengunjungnya dengan menjadikannya sebagai wisata premium. Iya, dengan target wisatawan yang baru saja menikmati Superbike atau MotoGP dan wisata lainnya di DSP Mandalika dan butuh sesuatu yang baru. Mereka-mereka yang mengapresiasi sesuatu yang unique yang dikombinasikan dengan teknologi ramah lingkungan dan berkelanjutan. Atau utamanya, wisatawan asing yang sedang menikmati Wonderful Indonesia dan ingin melihat destinasi kelas dunia yang eco-friendly dan sustainable tapi kental dengan nuansa alam  dan adat Mandalika dengan interaksi dan keterlibatan masyarakat setempat.

Ah, semoga saja khayalan liar yang berasal dari pengalaman wisata trekking menjejak Puncak Anjani Gunung RInjani dan wisata alam bersama keluarga ke Bukit Merese menjadi kenyataan.

Eco-sustainable Tourism? Di Indonesia aja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun