Aek Natonang ternyata tidak terlalu luas. Saya sih lebih senang menyebutnya sebagai “Situ”. Lokasinya sudah lumayan tertata, dengan beberapa area dijadikan fasilitas rumah makan dan spot foto.
Sementara saya justru melipir di sisi lain yang lebih menarik: bersebelahan dengan gerombolan kerbau besar yang sedang makan rumput. Ditambah pemandangan danau yang adem serta semilir angin yang saat itu dingin, dengan santai saya rebahkan punggung di rerumputan. Bebas. Lepas.
6. Danau Sidihoni
Ini danau kedua yang dijuluki “Danau di atas Danau” itu. Lokasinya sebenarnya lebih dekat ke Pangururan. Artinya kalau diukur dari Pasar Tomok, posisinya berada di sisi berlawanan Pulau Samosir.
Tapi, saya bersama rekan seperjalanan putuskan untuk meneruskan perjalanan dari Danau Aek Natonang. Jarak yang ditempuh dari Aek Natonang sekitar 30km, ditempuh sekitar 40 menitan dengan sepeda motor.
Perjalanan ke Danau Sidihoni itu menarik sekali karena kita berjalan menembus hutan atau bukit. Ya, istilahnya kita membelah Pulau Samosir. Dan dengan kondisi jalan yang mulus, kita malah diuntungkan dengan menikmati hutan kiri kanan yang kadang menarik sekali ketika tanamannya berbeda.
Danau Sidihoni sendiri tidak seperti diduga. Kecil sekali ukurannya. Rasanya gak jauh lah dengan Situ Pamulang di Tangerang Selatan. Bedanya Danau ini berada dikelilingi hutan dan udara yang sejuk. DI satu sisi, danau ini dibatasi dengan bukit tinggi berumput. Ah, menarik sekali.
Sementara hal lain yang tak kalah menarik muncul dari danau itu sendiri. Warnanya merah darah. Tapi, ketika air danau itu diambil menggunakan ember, tidak terlihat warna merahnya.
Itu juga yang menjadi pintu percakapan saya dengan ibu setempat yang sedang mencuci baju ditemani anak dan ponakannya yang sama-sama ceria. Ramah-ramah mereka.