Di Laguboti. Tatkala sohib bekpekeran, Denny Oey, dan Bang Sihite, yang membawa taksi kami ke Bandara Silangit, mampir di restoran untuk makan siang dengan menu Naniura dan Sangsang, makanan yang sebagai seorang muslim tidak bisa saya makan. Saya menyebrang jalan ke warung di depannya. Iya, saya berbeda dengan mereka dari sisi apa yang dimakan saat itu.
Tapi, bukankah itu tidak perlu dipermasalahkan, bukan? Perbedaan yang muncul hanya di saat itu saja, karena di lain waktu kita makan makanan yang sama.
Lagipula, di seberang ada menu bubur kacang, makanan yang saya sukai. Jika ada yang kusuka, lalu kenapa saya harus menggerutui yang tidak saya bisa. Lagian, menyebrang jalan itu berujung bercakap dengan Bang Yosep, pemilik kedai.
Mulai dari obrolan tentang menu-menu yang dia jual yang semuanya halal, perjuangan mendapatkan label halal dan bagaimana agamanya – Kristen Advent – menggolongkan makanan yang boleh dan tidak boleh ummatnya makan.
Awalnya dari perbedaan apa yang dimakan, berujung kepada komunikasi. Lalu, ilmu saya bertambah. Pertemanan menyambung di medsos. Bukan karena alasan kita berbeda, justru karena kita merasa sama-sama sebagai anak sebangsa.
Yap. Anak sebangsa. BANGSA INDONESIA.
Lalu saya coba diam sejenak. Dan resapi cerita perjalanan di atas. Begitu banyak perbedaan. Tapi kok saya bisa “menyatu” dengan mereka? Bukankah saya bisa menjalin “komunikasi” dengan mereka yang berbeda? Bagaimana bisa?
Karena kita memiliki satu Bahasa perekat. BAHASA INDONESIA.